Hypeprofil Sastrawan Felix K Nesi: Budaya Bertutur Melahirkan Keberanian Imajinasi
02 September 2024 |
06:00 WIB
Imajinasi telah memberi gairah, menciptakan mimpi, sekaligus menjadi sumber daya kreativitas bagi sastrawan muda Felix K Nesi. Imajinasi itu pula yang mengantarkannya menjadi salah satu sastrawan muda yang karyanya banyak dibicarakan saat ini.
Bagi Felix, imajinasi bisa datang dari mana saja. Beberapa orang menemukannya dari buku, yang lain seperti yang dialami olehnya, justru dari budaya bertutur yang masih sangat mengakar di kampungnya, di Nusa Tenggara Timur.
Felix menghabiskan masa kecil hingga remaja di sebuah kampung di Timor Tengah Utara, NTT. Kala masih kanak-kanak, beberapa peralatan penghibur diri, seperti televisi ataupun handphone, memang belum banyak.
Baca juga: Hypeprofil Komikus Is Yuniarto: Setia Menghidupkan Komik Wayang dengan Sentuhan Kekinian
Salah satu hiburan yang tercipta kala itu, ialah dengan mendengar seseorang bercerita. Felix mengatakan cerita-cerita yang disampaikan oleh pemuda desa maupun orang tua di sana selalu membuat otaknya melayang, menelusuri apa-apa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Jadi, di sana kalau duduk-duduk, sudah itu pasti bercerita. Entah itu benar atau bohong, tapi tetap menyenangkan didengar. Kadang ada kisah yang ditambah-tambahkan, tetapi itu tetap menghibur,” ucap Felix, sembari mengernyitkan dahi mencoba mengingat-ingat kejadian berpuluh-puluh tahun itu.
Pada periode yang sama, cerita yang seru itu juga ditemukannya di sekolah. Dari bahan ajar guru yang ada di sekolahnya maupun buku-buku yang ditemukan di sana.
Felix sedari awal tak membatasi diri untuk membaca buku genre tertentu. Baginya, asal ia punya cerita yang mengalir dan seru, itu akan selalu dibacanya. Sebab, yang menarik dari membaca ialah membangkitkan imajinasi itu tadi.
Namun, dia masih mengingat, sebenarnya salah satu yang cukup disukainya memang adalah cerita tentang sejarah. Walaupun, kata Felix, buku sejarah kadang membosankan karena berfokus dengan timeline saja. Akan tetapi, lain soal ketika itu disampaikan oleh gurunya, bentuknya berubah menjadi bercerita.
Pelan-pelan, setelah banyak membaca kisah-kisah dari buku maupun omongan orang, Felix remaja mulai terbesit pikiran membuat ceritanya sendiri. Menurutnya, saat itu mulai muncul kegelisahaan untuk bercerita tentang daerahnya sendiri.
Felix mengatakan ketika remaja ada banyak buku yang bagus. Namun, buku-buku itu mayoritas membicarakan hal-hal yang jauh darinya. Terkadang, kata dia, ceritanya berpusat pada Jawa atau hal-hal seputar Jakarta.
Menurutnya, sangat minim buku yang membahas tentang daerah tempat tinggalnya. Padahal, menurutnya, tempat tinggalnya juga punya cerita atau hal-hal seru yang juga patut diceritakan.
Di sisi lain, dirinya dan teman-temannya yang suka membaca, juga mulai tumbuh keinginan untuk menceritakan apa yang kita tahu. Dirinya kala itu ingin berbagi cerita yang konteks, sudut pandang, dan pola penceritaannya benar-benar dekat dengan keseharian hidupnya.
“Jadi, kalau sekarang orang sibuk tentang lokalitas, saya pikir itu semua terlalu berat di kepala, omong kosong. Dia sebenarnya bisa disederhanakan dengan itu, yakni ketika orang membaca dia mengerti konteksnya karena ceritanya dekat,” imbuhnya.
Ketika itu, keberanian untuk menulis pun muncul. Felix merasa hal-hal pertama yang dilakukan itu adalah masa-masa yang paling menyenangkan. Sebab, dirinya masih menulis tanpa beban karena untuk teman-teman.
Ketika menulis, semua masih murni karena keinginan bercerita dan berbagi sudut pandang, tanpa tedeng aling-aling dari kritikus sastra, komentar netizen, atau sebagainya.
Menurut Felix, pola menulis seperti ini memang sangat menyenangkan. Prosesnya kala itu lancar karena tanpa ada beban apa pun. Yang penting, kata dia, semua senang.
Kebiasaan ini terus mengakar hingga dirinya dewasa. Bahkan, ketika buku pertamanya terbit, Felix merasa dirinya tak pernah itu adalah produk sastra. Buku, baginya hanyalah sarana berbagi kisah, yang tentu dibungkus menyenangkan.
“Ketika saya menulis, yang ada di kepala saya adalah ini untuk teman-teman dan akan lucu ketika dibaca. Saya pun tak menyangka ketika akhirnya dikirim ke DKJ, kemudian juri senang,” jelasnya.
Felix mengatakan, dirinya tak membayangkan ketika dirinya saat itu sudah berpikir menulis untuk sebuah sastra, apakah hasilnya akan sama atau tidak. Pasalnya, kata dia, bebannya sungguhlah berat.
Dirinya pun merasa beruntung karena waktu itu fokusnya bukanlah itu. “Mungkin sekarang, novel yang sedang saya susun tidak jadi-jadi, karena saya mikir terlalu banyak. Dalam arti, sudah ada konsep-konsep sastra di kepala atau pikiran aduh ini orang nanti bacanya gimana, teorinya gimana dan lainnya,” tuturnya.
Untuk itulah, Felix merasa sepertinya dirinya mesti menjauhkan diri terlebih dahulu dari buku. Dia ingin merehatkan diri dan menemukan imajinasi serta semangat awalnya dahulu.
Sebagai gantinya, dirinya sekarang banyak bergelut ke penulisan naskah. Felix beberapa kali tergabung ke dalam penulisan skenario naskah teater Titimangsa Production. Dalam edisi terakhirnya, dirinya menulis naskah seri monolog Di Tepi Sejarah untuk tokoh Francisca Casparina.
Di sisi lain, Felix juga tengah merencanakan sesuatu yang juga tak kalah besar. Dia tengah terlibat dalam proses pembuatan film panjang. Naskah skenarionya tengah disusun.
Namun, belum ada banyak hal yang bisa diceritakan. Intinya, kata dia, film ini bermula dari keterlibatannya menulis naskah teater tokoh Francisca Casparina. Di sana, dia bertemu aktor Reza Rahadian.
Namun, film ini bukan tentang Fransisca, tetapi masih ada hubungan dengan semangat-semangat beliau terutama orang Timur. “Film ini riset pribadi, ya doakan semoga lancar dan tahun depan bisa di bioskop,” katanya.
Sepanjang kariernya, Felix telah menerbitkan sejumlah karya bertema sejarah dan kolonialisme. Novelnya yang bertajuk Orang- Orang Oetimu meraih penghargaan Manuskrip Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta 2018 dan penghargaan sastra dari Kemendikbudristek pada 2021. Pada 2022, dirinya terpilih mengikuti International Writing Program (IWP) di Amerika Serikat.
Tak hanya itu, film dokumenternya berjudul Sailum: Song of The Rustling Leaves terpilih menjadi official selection dalam Festival Film Bulanan Kemenparekraf 2023 dan Taiwan International Ethnographic Film Festival (TIEFF) 2023.
Baca juga: Hypeprofil Erisca Febriani: Menulis Untuk Berbagi Kebahagiaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Bagi Felix, imajinasi bisa datang dari mana saja. Beberapa orang menemukannya dari buku, yang lain seperti yang dialami olehnya, justru dari budaya bertutur yang masih sangat mengakar di kampungnya, di Nusa Tenggara Timur.
Felix menghabiskan masa kecil hingga remaja di sebuah kampung di Timor Tengah Utara, NTT. Kala masih kanak-kanak, beberapa peralatan penghibur diri, seperti televisi ataupun handphone, memang belum banyak.
Baca juga: Hypeprofil Komikus Is Yuniarto: Setia Menghidupkan Komik Wayang dengan Sentuhan Kekinian
Salah satu hiburan yang tercipta kala itu, ialah dengan mendengar seseorang bercerita. Felix mengatakan cerita-cerita yang disampaikan oleh pemuda desa maupun orang tua di sana selalu membuat otaknya melayang, menelusuri apa-apa yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Jadi, di sana kalau duduk-duduk, sudah itu pasti bercerita. Entah itu benar atau bohong, tapi tetap menyenangkan didengar. Kadang ada kisah yang ditambah-tambahkan, tetapi itu tetap menghibur,” ucap Felix, sembari mengernyitkan dahi mencoba mengingat-ingat kejadian berpuluh-puluh tahun itu.
Pada periode yang sama, cerita yang seru itu juga ditemukannya di sekolah. Dari bahan ajar guru yang ada di sekolahnya maupun buku-buku yang ditemukan di sana.
Felix sedari awal tak membatasi diri untuk membaca buku genre tertentu. Baginya, asal ia punya cerita yang mengalir dan seru, itu akan selalu dibacanya. Sebab, yang menarik dari membaca ialah membangkitkan imajinasi itu tadi.
Namun, dia masih mengingat, sebenarnya salah satu yang cukup disukainya memang adalah cerita tentang sejarah. Walaupun, kata Felix, buku sejarah kadang membosankan karena berfokus dengan timeline saja. Akan tetapi, lain soal ketika itu disampaikan oleh gurunya, bentuknya berubah menjadi bercerita.
Pelan-pelan, setelah banyak membaca kisah-kisah dari buku maupun omongan orang, Felix remaja mulai terbesit pikiran membuat ceritanya sendiri. Menurutnya, saat itu mulai muncul kegelisahaan untuk bercerita tentang daerahnya sendiri.
Felix mengatakan ketika remaja ada banyak buku yang bagus. Namun, buku-buku itu mayoritas membicarakan hal-hal yang jauh darinya. Terkadang, kata dia, ceritanya berpusat pada Jawa atau hal-hal seputar Jakarta.
Menurutnya, sangat minim buku yang membahas tentang daerah tempat tinggalnya. Padahal, menurutnya, tempat tinggalnya juga punya cerita atau hal-hal seru yang juga patut diceritakan.
Di sisi lain, dirinya dan teman-temannya yang suka membaca, juga mulai tumbuh keinginan untuk menceritakan apa yang kita tahu. Dirinya kala itu ingin berbagi cerita yang konteks, sudut pandang, dan pola penceritaannya benar-benar dekat dengan keseharian hidupnya.
“Jadi, kalau sekarang orang sibuk tentang lokalitas, saya pikir itu semua terlalu berat di kepala, omong kosong. Dia sebenarnya bisa disederhanakan dengan itu, yakni ketika orang membaca dia mengerti konteksnya karena ceritanya dekat,” imbuhnya.
Ketika itu, keberanian untuk menulis pun muncul. Felix merasa hal-hal pertama yang dilakukan itu adalah masa-masa yang paling menyenangkan. Sebab, dirinya masih menulis tanpa beban karena untuk teman-teman.
Ketika menulis, semua masih murni karena keinginan bercerita dan berbagi sudut pandang, tanpa tedeng aling-aling dari kritikus sastra, komentar netizen, atau sebagainya.
Menurut Felix, pola menulis seperti ini memang sangat menyenangkan. Prosesnya kala itu lancar karena tanpa ada beban apa pun. Yang penting, kata dia, semua senang.
Kebiasaan ini terus mengakar hingga dirinya dewasa. Bahkan, ketika buku pertamanya terbit, Felix merasa dirinya tak pernah itu adalah produk sastra. Buku, baginya hanyalah sarana berbagi kisah, yang tentu dibungkus menyenangkan.
“Ketika saya menulis, yang ada di kepala saya adalah ini untuk teman-teman dan akan lucu ketika dibaca. Saya pun tak menyangka ketika akhirnya dikirim ke DKJ, kemudian juri senang,” jelasnya.
Felix mengatakan, dirinya tak membayangkan ketika dirinya saat itu sudah berpikir menulis untuk sebuah sastra, apakah hasilnya akan sama atau tidak. Pasalnya, kata dia, bebannya sungguhlah berat.
Dirinya pun merasa beruntung karena waktu itu fokusnya bukanlah itu. “Mungkin sekarang, novel yang sedang saya susun tidak jadi-jadi, karena saya mikir terlalu banyak. Dalam arti, sudah ada konsep-konsep sastra di kepala atau pikiran aduh ini orang nanti bacanya gimana, teorinya gimana dan lainnya,” tuturnya.
Untuk itulah, Felix merasa sepertinya dirinya mesti menjauhkan diri terlebih dahulu dari buku. Dia ingin merehatkan diri dan menemukan imajinasi serta semangat awalnya dahulu.
Sebagai gantinya, dirinya sekarang banyak bergelut ke penulisan naskah. Felix beberapa kali tergabung ke dalam penulisan skenario naskah teater Titimangsa Production. Dalam edisi terakhirnya, dirinya menulis naskah seri monolog Di Tepi Sejarah untuk tokoh Francisca Casparina.
Di sisi lain, Felix juga tengah merencanakan sesuatu yang juga tak kalah besar. Dia tengah terlibat dalam proses pembuatan film panjang. Naskah skenarionya tengah disusun.
Namun, belum ada banyak hal yang bisa diceritakan. Intinya, kata dia, film ini bermula dari keterlibatannya menulis naskah teater tokoh Francisca Casparina. Di sana, dia bertemu aktor Reza Rahadian.
Namun, film ini bukan tentang Fransisca, tetapi masih ada hubungan dengan semangat-semangat beliau terutama orang Timur. “Film ini riset pribadi, ya doakan semoga lancar dan tahun depan bisa di bioskop,” katanya.
Sepanjang kariernya, Felix telah menerbitkan sejumlah karya bertema sejarah dan kolonialisme. Novelnya yang bertajuk Orang- Orang Oetimu meraih penghargaan Manuskrip Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta 2018 dan penghargaan sastra dari Kemendikbudristek pada 2021. Pada 2022, dirinya terpilih mengikuti International Writing Program (IWP) di Amerika Serikat.
Tak hanya itu, film dokumenternya berjudul Sailum: Song of The Rustling Leaves terpilih menjadi official selection dalam Festival Film Bulanan Kemenparekraf 2023 dan Taiwan International Ethnographic Film Festival (TIEFF) 2023.
Baca juga: Hypeprofil Erisca Febriani: Menulis Untuk Berbagi Kebahagiaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.