Terbaru, Landung juga membintangi film Tulang Belulang Tulang, yang dijadwalkan tayang 26 September 2024. (sumber gambar: Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)

Kiprah Landung Simatupang, Seniman Gaek yang Setia Menekuni Teater

12 September 2024   |   19:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Di dunia seni peran dan teater Landung Simatupang bukanlah kaleng-kaleng. Seniman berambut perak ini, telah lama malang melintang di belantika seni pertunjukan Indonesia dan luar negeri. Belum lama ini, aktingnya di video klip Gala Bunga Matahari juga banyak menuai pujian.

Populer sebagai aktor yang piawai dalam melisankan bahasa, kiprah Landung juga merembet ke dunia perfilman. Film pertamanya, Daun di Atas Bantal (1998) karya Garin Nugroho, juga menjadi salah satu film Indonesia. Terbaru, Landung juga membintangi film Tulang Belulang Tulang, yang dijadwalkan tayang 26 September 2024.

Lahir dari pasangan guru dan bidan di Yogyakarta pada 25 November 1951, sejak kecil Landung sudah menggandrungi kesenian. Bakatnya mulai terasah saat membacakan nukilan cerita tentang Pangeran Diponegoro yang ditulis oleh pendeta asal Belanda bernama Brumund, yang berkunjung ke Tegalrejo, Yogyakarta pada 1850-an.

Baca Juga: Eksklusif Seniman Landung Simatupang: Menekuni Teater Sebagai Hobi Ketimbang Gila

Namun, tulisan dalam buku Bianglala Sastra (1985) terjemahan Dick Hartoko itu menurutnya lebih banyak meledek sang pahlawan alih-alih menyanjungnya."Menurut saya, buku itu ditulis sangat menarik sebagai sebuah ejekan dari orang Belanda. Namun, publik waktu itu tertawa saat saya bacakan,"kenangnya.
 
 

Momen itulah yang membuat Landung menggali sisi lain Diponegoro. Yaitu dengan mengungkai buku Kuasa Ramalan (2007) karya Peter Carey dan Babad Diponegoro (1831-1832) sebuah gagrak, atau genre puisi Jawa untuk ditembangkan, yang ditulis oleh Diponegoro saat diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Hasilnya, adalah pementasan dramatik cerlang berjudul Aku Diponegoro. Tentang kisah kontemplatif, serta persiapan sang pangeran untuk menggembleng diri di awal mula Perang Jawa (1825-1830). Kisah ini ditutup dengan masa akhir pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam, Manado (1830-1833) dan Fort Rotterdam, Makassar (11 Juli 1833-8 Januari 1855).

Syahdan, Landung juga sempat bergabung bersama Teater Mandiri yang didirikan oleh Putu Wijaya. Taka hanya itu, dia juga, bergabung ke Teater STEMKA, Teater Gajah Mada, dan Black Swan Theater Company di Perth, Australia pada 1999.  Dari pengalaman inilah, seniman gaek itu mulai mengerti,  bahwa publik merupakan bagian tak terpisahkan dari teater, atau pementasan drama.

Belum lama ini, pemilik nama lengkap Yohanes Rusyanto Landung Laksono Simatupang itu juga berbagi pengalamannya dalam berteater lewat pentas 50  Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan  di Komunitas Salihara. Lewat lecture performance, Landung mengibaratkan seni peran dan pementasan teater sebagai hobi alih-alih potensi mata pencarian atau karier. 

 

Refleksi Landung


Setengah abad merupakan waktu yang tidak sebentar. Asam garam kehidupan telah Landung tandaskan dalam memaknai sangkan paran, atau dari dan ke mana hidup berakhir. Laku kesenian juga telah mendarah daging dalam tubuh dan gurat darah Landung, meski dengan rendah hati selalu mengatakan bahwa dia masih terus belajar.

Kendati begitu, laiknya pandita yang menjadi sumber bertanya, Landung juga memiliki pandangan dalam mengadicitakan gagasan dan pengalamannya sebagai anak wayang. Termasuk mengenai perubahan, serta sejauh apa teater telah menemukan geraknya dalam lanskap kesenian termutakhir.

Berbeda dengan masa-masa mudanya yang penuh warna-warni pertunjukan, teater Indonesia menurutnya telah berubah signifikan. Baik dari sudut pandang estetika, penggarapan naskah, serta bagaimana aktor memaknai peran, di tengah banyaknya pilihan-pilihan praktis untuk bisa eksis di media sosial.

"Ketika saya masih muda dulu memang nggak banyak pilihan untuk rekreasi. Jadinya ya main teater. Kalau sekarang kan banyak sekali pilihannya. Jadi itu tantangan untuk kami juga, orang-orang teater," katanya.
 
 

Pada dekade 70-an misalnya, Landung mencontohkan ada tiga pendekar teater yang selalu menjadi bahan acuan para teaterawan. Mereka adalah Rendra (Bengkel Teater), Arifin C. Noer (Teater Kecil), dan Teguh Karya (Teater Populer) yang menjadikan latihan sebagai kesinambungan proses hingga akhirnya dikenang sebagai pelopor.

Lantas, seperti apa refleksi Landung di tengah keinstanan pengalaman generasi muda yang mencoba untuk menapaki jalan sunyi seni? Penulis buku puisi Asap dan Angin (1986) itu hanya menjawab dalam satu tarikan napas. Yaitu terus menekuni proses sebagai sebuah laku, serta menjaga posisi di mana seseorang berada di ekspresi kesenian.

"Aktor Stanislavski bilang, kalau pianis itu tiap hari sekian jam melatih jarinya, melatih jangkauannya di klip piano. Orang Jepang, pelukis tradisional Jepang, setiap hari walaupun dia sudah pelukis besar, selalu  menghabiskan waktu menggambar lingkaran sesempurna mungkin. Hanya itu!" katanya.

Baca Juga: Landung Simatupang Refleksikan 50 Tahun Berkarya lewat Lecture Performance di SIPFest 2024

Editor: M. Taufikul Basari

SEBELUMNYA

Kenalan dengan Para Pemain Film Laura, Ada Amanda Rawles & Kevin Ardilova

BERIKUTNYA

Ternyata Ini Masalah Gigi Paling Umum di Indonesia dan Cara Menjaganya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: