Eksklusif Ahmad Mahendra: Pameran Repatriasi 2024 Suguhkan Koleksi Lebih Lengkap
10 August 2024 |
06:00 WIB
Di ruangan kerjanya di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Ahmad Mahendra menyambut Hypeabis.id dengan senyuman ramah. Sore itu, Direktur Perfilman, Musik & Media Baru di Kemendikbud, yang merangkap pelaksana tugas (Plt) Indonesian Heritage Agency tersebut mengenakan setelan rapi berupa batik berwarna dasar biru.
Roman semringah tampak menyelimuti wajahnya ketika obrolan mulai mengarah pada topik repatriasi. Dalam beberapa tahun terakhir, repatriasi atau upaya pemulangan benda-benda bersejarah milik Indonesia yang berada di luar negeri memang tengah gencar dilakukan.
Kurang dari setahun yang lalu, empat arca peninggalan Kerajaan Singasari dan 472 artefak berharga lainnya berhasil dipulangkan. Benda-benda purbakala tersebut juga sempat dipamerkan di Galeri Nasional.
Baca juga: Indonesia Perlu Lebih Aktif Menggencarkan Repatriasi Benda Bersejarah
Namun, misi pemulangan benda bersejarah milik Indonesia dari Belanda belumlah tuntas. Masih ada beberapa artefak purbakala asal Indonesia yang masih berada di luar negeri. Berbagai langkah lanjutan terus dilakukan agar benda-benda milik nenek moyang tersebut kembali ke tempatnya berasal.
Berbarengan dengan itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersama Indonesian Heritage Agency (IHA) juga kembali berencana menggelar pameran repatriasi. Akan tetapi, skalanya akan jauh lebih besar.
Pameran repatriasi kali ini bakal digelar di Museum Nasional Indonesia (MNI) pada Oktober 2024. Bersamaan hal tersebut, akan digelar pula pameran pasca kebakaran MNI. Dua pameran ini sekaligus akan menandai dibukanya kembali tempat yang juga dikenal sebagai Museum Gajah setelah mengalami kebakaran.
Kepada Hypabis.id, Mahendra membeberkan panjang lebar mengenai rencana pameran repatriasi skala besar dan pameran pasca kebakaran MNI. Berikut petikan obrolan kami:
Setelah diadakan pada November 2023 lalu, pameran repatriasi bakal kembali digelar Oktober 2024 di Museum Nasional. Apakah ini akan menjadi suatu program rutin dari IHA?
Kalau akan digelar secara rutin, tentu tidak. Karena ini kan koleksi yang luar biasa, ya. Jadi, dalam pameran-pameran sebelumnya, itu setiap kali berhasil dalam merepatriasi, kami ingin segera untuk memamerkannya, termasuk yang kemarin dari Lombok dan lainnya. Namun, pameran repatriasi yang tahun ini akan berbeda, jauh lebih lengkap.
Dalam pameran ini, benda bersejarah hasil repatriasi yang akan dipamerkan tidak hanya yang baru datang. Di pameran nanti, kami akan memamerkan koleksi hasil repatriasi secara utuh, dari zaman dahulu, termasuk Keris Diponegoro dan benda repatriasi lain yang sudah kembali sejak era 1970-an.
Apakah pameran repatriasi ini akan menjadi yang pertama digelar setelah Museum Nasional dibuka pascakebakaran setahun lalu?
Ya, betul. Kami ingin membuka kembali Museum Nasional sekaligus melakukan penataan secara keseluruhan, terutama setelah kejadian kebakaran. Ada penataan dengan konsep Reimajinasi sehingga ada semacam journey atau experience tambahan bagi pengunjung.
Lalu, ini kan juga menjadi tanggung jawab kami untuk juga menyampaikan data terkait koleksi kebakaran. Ini akan dipamerkan juga. Jadi, total akan ada dua pameran. Pertama adalah pameran repatriasi besar. Kedua adalah pameran koleksi pasca kebakaran.
Sampai sekarang progres dua pameran tersebut seperti apa? Apakah akan ada benda repatriasi baru yang juga dipamerkan?
Ya, saat ini tim repatriasi akan pergi lagi ke Belanda. Dari repatriasi sebelumnya, itu ada janji minimal enam arca. Namun, kemarin baru empat arca yang sudah dikembalikan. Jadi, masih ada dua lagi yang sedang dicoba dipulangkan sesuai dengan kesepakatan tersebut. Selain itu, ada empat arca lagi yang juga sedang diupayakan untuk dipulangkan, disamping beberapa koleksi lainnya juga.
Ini, yang akan dipastikan. Jadi, kita memang harus proaktif. Namun, hasilnya mana yang akhirnya bisa direpatriasi, itu baru akan ketahuan setelah sampai di sana. Dalam melakukan repatriasi ini, ada tim khususnya, itu sudah ada SK Presiden. Ada pak Dirjen [Hilmar Farid], mas Bonnie [sejarawan dan tim repatriasi], Pak Puja [ketua tim repatriasi]. Mereka yang melakukan negosiasi tersebut.
Tim masih bekerja. Tim ini yang kemarin luar biasa ya, dalam sejarah banyak sekali berhasil dengan membawa 472 koleksi yang bisa kembali. Selama ini kan hanya satu begitu.
Untuk koleksi repatriasi tambahan yang akan datang, apakah Java Man termasuk di dalamnya?
Oh, belum. Itu kan selalu dianggap masterpiece. Katanya kalau itu dikembalikan, mending museumnya tutup saja. Jadi, yang saya dengar, itu menjadi koleksi masterpiece di sana juga.
Memang, Java Man ini menjadi perjuangan yang masih sangat perlu diperjuangkan. Dari awal memang diisukan, tetapi sangat susah. Itu masih belum mau, bahkan kapan maunya kita juga belum tahu.
Baca juga: Eksklusif Butet Kartaredjasa: Saat Seni Menjelma Laku Spiritual & Kritik Sosial Politik
Jadi, pameran repatriasi ini akan menjadi yang terbesar ya. Konsep pamerannya akan semenarik apa?
Konsepnya kami ingin menggambarkan proses repatriasinya. Repatriasi itu kan sesuatu yang sepertinya baru gempar sekarang-sekarang ini. Padahal, itu sudah dilakukan sejak lama, sejak 1950-an. Perjalanan ini nanti juga akan diceritakan di dalam pameran tersebut.
Jadi, pameran akan terasa lebih utuh. Tidak hanya memamerkan benda koleksi saja, tetapi juga cerita perjalanannya, sampai akhirnya nendangnya kan baru kemarin, ya. Konsep repatriasi itu kan sebenarnya dekolonial ya. Maksudnya, yang milik kita itu ya harus dikembalikan. Narasinya jadi begitu.
Dan lebih soal rampasan ya. Jadi, ada yang bukan rampasan, tetapi dikembalikan. Sebenarnya ini tidak cocok dengan kata repatriasi. Karena repatriasi itu hasil rampasan, misalnya koleksi Lombok itu kan dirampas oleh Belanda, dibawa ke sana. Akan tetapi, ada juga koleksi yang bukan rampasan, karena ada pameran di sana, tetapi ditinggal di sana karena susah dan enggak dibawa. Nah, yang begitu sebenarnya bukan repatriasi namanya.
Untuk benda repatriasi yang baru, kalau bisa dipulangkan, ya tentu akan dipamerkan. Namun, kalau belum bisa dipulangkan sampai Oktober, tentu kita tidak bisa memaksakan diri. Cuma kan kita juga punya target, jadi ini tim mau berangkat ke Belanda pekan ini. Komunikasi terus berjalan.
Yang pasti, pameran repatriasi ini menjadi bagian dari rangkaian besar pembukaan Museum Nasional Indonesia. Dalam artian, aset repatriasi ini kan bertempat di Museum Nasional. Sejak kebakaran, sebagian orang mungkin bertanya sebenarnya aman tidak koleksi ini di museum tersebut.
Jadi, berbarengan dengan pembukaan Museum Nasional, kita sekalian ingin menunjukkan bahwa koleksi repatriasi ini aman-aman saja.
Untuk pameran pasca kebakaran, konsep apa yang akan diusung?
Ya, dalam pameran pasca kebakaran nanti, akan ada banyak koleksi juga yang akan ditampilkan. Selama ini kan setelah kebakaran itu belum ada fotonya sama sekali kan, terutama pada benda-benda koleksinya. Nah, dalam pameran ini, akan diperlihatkan wujud dari koleksi-koleksi tersebut.
Akan tetapi, khusus yang koleksi pasca kebakaran ini akan terbatas. Kalau teman-teman tidak melihat saat pameran berlangsung sekitar Oktober-Desember, itu akan susah. Karena nanti akan langsung kita simpan. Akan ada storage khusus untuk koleksi bekas kebakaran. Itu pun tidak sembarang orang bisa masuk, hanya yang telah diberi akses saja.
Kalau pun nanti ada benda koleksi pasca kebakaran akan dipajang kembali, itu hanya replikanya. Jadi, kesempatan melihat benda sejarah yang terkena kebakaran kemarin, itu hanya saat pameran.
Apakah koleksi pameran pasca kebakaran ini yang sudah direstorasi?
Yang dipamerkan ini koleksi yang belum direstorasi. Jadi, benda tersebut setelah kebakaran kan ditangani, tetapi belum sampai tahap restorasi. Dalam penanganan ini kan ada tahapannya ya, dari rusak ringan, sedang, dan berat. Ada juga benda yang selamat, tetapi butuh remediasi.
Koleksi-koleksi tersebutlah yang akan dipamerkan. Bahkan, ada beberapa workshop juga yang sedang direstorasi. Tujuan kami adalah untuk menyampaikan data dan bentuk transparansi setelah insiden. Selain itu, ini juga bisa jadi pembelajaran, ya, kalau bisa jangan sampai terjadi lagi, tapi kita perlu untuk antisipasi.
Dalam pameran nanti, akan diperlihatkan benda-benda koleksi setelah kebakaran secara utuh. Contoh di koleksi pasca kebakaran itu ada nekara (semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup) yang terdampak dan jadi gepeng. Itu akan diperlihatkan, tetapi kita menyajikan visualisasi versi utuhnya di hologram.
Kita juga akan sampaikan mana benda yang rusak ringan, sedang, dan berat. Biar menggambarkan kenapa ini bisa dianggap rusak berat, sedangkan yang lain rusak ringan. Jadi, ada datanya sehingga ini bisa jadi pengetahuan kepada banyak orang.
Tidak hanya tingkatan kerusakan, kita juga sampaikan tentang bahan benda sejarah. Kan ada bahan dari perunggu, kayu, dan semacamnya. Kalau dari kayu, itu hangus, nah abunya dan sisa-sisa kayu kecil itu kita sampaikan juga. Beruntungnya, kami sudah punya pendataan lengkap. Jadi, itu semua akan dibarengi dengan hologram versi utuhnya.
Kita juga sedang menyiapkan buku, dari proses terjadinya kebakaran dan lainnya. Kita juga sampaikan proses kerja sama dengan ahli internasional. Namun, ada yang menarik juga, ternyata ada statement dari ahli luar negeri, seperti Jepang hingga Prancis, bahwa ahli-ahli kita di dalam negeri itu ketika menangani masalah ini sudah layak, benar, dan standar internasional.
Ketika awalnya kita mau meminta pendapat ke mereka, tetapi justru mereka malah mengapresiasi penanganan yang kita lakukan pada benda pasca kebakaran.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Jacob Gatot Surarjo: Menghidupkan Bangunan, Komunitas & Kreativitas
Dalam sebuah pameran, apa sih hal yang paling penting, terutama untuk menerjemahkan kembali ke konteks Indonesia sekarang?
Menerjemahkan narasi kembali. Ini bukan hanya tentang benda hasil repatriasi saja ya, tetapi keseluruhan. Misalnya, dalam cerita Museum Nasional, sebelumnya ini dianggap sebagai perjuangan melawan kolonial. Namun, sekarang adalah melawan tanpa gentar. Jadi, narasinya lebih keindonesiaan, bukan malah kolonialnya.
Hal-hal seperti ini yang akan membedakan. Narasinya lebih menonjolkan peran aktif kita dalam berjuang, bahwa kita-lah yang melawan kekejaman.
Dalam konteks lain, ini secara lebih luas lagi, cara memperlakukan benda koleksi juga akan berubah. Misalnya, ada sebuah koleksi dari suku tertentu. Suku tersebut rupanya memiliki budaya sendiri dalam memperlakukan koleksi tersebut. Nantinya, kalau suku tersebut datang ke Museum Nasional, mereka boleh melakukan budaya itu ke benda koleksi tersebut.
Jadi, mereka bisa tetap terhubung sesuai dengan budayanya. Ya, bagaimana pun, mereka kan dahulu yang memiliki, tentu ada ikatan batin. Ya, dalam tanda kutip, memberi nyawa pada koleksi-koleksi tersebut.
Penguatan narasi dan interpretasi menjadi hal penting. Fungsi benda bersejarah di masyarakat itu apa? Jadi, tidak hanya sekadar benda ini ditemukan di mana, tetapi lebih luas lagi perihal konteks benda tersebut dan relevansinya dengan kehidupan masa lalu. Itu kan jadi hal yang tak terpisahkan.
Di luar dari pameran koleksi, ketika nanti Museum Nasional dibuka, secara sistem pengamanan gedungnya akan ada upgrade apa saja?
Ada tiga hal besar yang kami lakukan pasca kebakaran. Pertama adalah penanganan koleksi. Kami identifikasi, ditangani, hingga restorasi. Kedua adalah penanganan gedungnya yang terdampak, yang juga cagar budaya ini. Kami berdiskusi dengan para ahli MACB, terutama untuk menentukan apakah perlu dibangun sama seperti kemarin atau justru tidak perlu.
Ketiga adalah mitigasi. Ini tidak hanya berlaku bagi Museum Nasional, tetapi juga gedung-gedung museum lainnya. Makanya kan sekarang pembangunannya lebih detail, dari penggantian panel listrik secara total. Karena kan sejak zaman dahulu gedung A itu belum diganti listriknya.
Kami melakukan upgrade untuk penanganan gedung dari bencana, seperti gempa bumi, banjir, dan juga kebakaran itu sendiri. Selain itu, tentu saja juga keamanan dari pencurian dengan adanya brankas khusus. Kemarin kita beli tiga, untuk koleksi sangat super.
Baca juga: Eksklusif Slamet Rahardjo: Memaknai Hidup Sebagai Panggung Sandiwara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Roman semringah tampak menyelimuti wajahnya ketika obrolan mulai mengarah pada topik repatriasi. Dalam beberapa tahun terakhir, repatriasi atau upaya pemulangan benda-benda bersejarah milik Indonesia yang berada di luar negeri memang tengah gencar dilakukan.
Kurang dari setahun yang lalu, empat arca peninggalan Kerajaan Singasari dan 472 artefak berharga lainnya berhasil dipulangkan. Benda-benda purbakala tersebut juga sempat dipamerkan di Galeri Nasional.
Baca juga: Indonesia Perlu Lebih Aktif Menggencarkan Repatriasi Benda Bersejarah
Namun, misi pemulangan benda bersejarah milik Indonesia dari Belanda belumlah tuntas. Masih ada beberapa artefak purbakala asal Indonesia yang masih berada di luar negeri. Berbagai langkah lanjutan terus dilakukan agar benda-benda milik nenek moyang tersebut kembali ke tempatnya berasal.
Berbarengan dengan itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersama Indonesian Heritage Agency (IHA) juga kembali berencana menggelar pameran repatriasi. Akan tetapi, skalanya akan jauh lebih besar.
Pameran repatriasi kali ini bakal digelar di Museum Nasional Indonesia (MNI) pada Oktober 2024. Bersamaan hal tersebut, akan digelar pula pameran pasca kebakaran MNI. Dua pameran ini sekaligus akan menandai dibukanya kembali tempat yang juga dikenal sebagai Museum Gajah setelah mengalami kebakaran.
Kepada Hypabis.id, Mahendra membeberkan panjang lebar mengenai rencana pameran repatriasi skala besar dan pameran pasca kebakaran MNI. Berikut petikan obrolan kami:
Setelah diadakan pada November 2023 lalu, pameran repatriasi bakal kembali digelar Oktober 2024 di Museum Nasional. Apakah ini akan menjadi suatu program rutin dari IHA?
Kalau akan digelar secara rutin, tentu tidak. Karena ini kan koleksi yang luar biasa, ya. Jadi, dalam pameran-pameran sebelumnya, itu setiap kali berhasil dalam merepatriasi, kami ingin segera untuk memamerkannya, termasuk yang kemarin dari Lombok dan lainnya. Namun, pameran repatriasi yang tahun ini akan berbeda, jauh lebih lengkap.
Dalam pameran ini, benda bersejarah hasil repatriasi yang akan dipamerkan tidak hanya yang baru datang. Di pameran nanti, kami akan memamerkan koleksi hasil repatriasi secara utuh, dari zaman dahulu, termasuk Keris Diponegoro dan benda repatriasi lain yang sudah kembali sejak era 1970-an.
Apakah pameran repatriasi ini akan menjadi yang pertama digelar setelah Museum Nasional dibuka pascakebakaran setahun lalu?
Ya, betul. Kami ingin membuka kembali Museum Nasional sekaligus melakukan penataan secara keseluruhan, terutama setelah kejadian kebakaran. Ada penataan dengan konsep Reimajinasi sehingga ada semacam journey atau experience tambahan bagi pengunjung.
Lalu, ini kan juga menjadi tanggung jawab kami untuk juga menyampaikan data terkait koleksi kebakaran. Ini akan dipamerkan juga. Jadi, total akan ada dua pameran. Pertama adalah pameran repatriasi besar. Kedua adalah pameran koleksi pasca kebakaran.
Sampai sekarang progres dua pameran tersebut seperti apa? Apakah akan ada benda repatriasi baru yang juga dipamerkan?
Ya, saat ini tim repatriasi akan pergi lagi ke Belanda. Dari repatriasi sebelumnya, itu ada janji minimal enam arca. Namun, kemarin baru empat arca yang sudah dikembalikan. Jadi, masih ada dua lagi yang sedang dicoba dipulangkan sesuai dengan kesepakatan tersebut. Selain itu, ada empat arca lagi yang juga sedang diupayakan untuk dipulangkan, disamping beberapa koleksi lainnya juga.
Ini, yang akan dipastikan. Jadi, kita memang harus proaktif. Namun, hasilnya mana yang akhirnya bisa direpatriasi, itu baru akan ketahuan setelah sampai di sana. Dalam melakukan repatriasi ini, ada tim khususnya, itu sudah ada SK Presiden. Ada pak Dirjen [Hilmar Farid], mas Bonnie [sejarawan dan tim repatriasi], Pak Puja [ketua tim repatriasi]. Mereka yang melakukan negosiasi tersebut.
Tim masih bekerja. Tim ini yang kemarin luar biasa ya, dalam sejarah banyak sekali berhasil dengan membawa 472 koleksi yang bisa kembali. Selama ini kan hanya satu begitu.
Untuk koleksi repatriasi tambahan yang akan datang, apakah Java Man termasuk di dalamnya?
Oh, belum. Itu kan selalu dianggap masterpiece. Katanya kalau itu dikembalikan, mending museumnya tutup saja. Jadi, yang saya dengar, itu menjadi koleksi masterpiece di sana juga.
Memang, Java Man ini menjadi perjuangan yang masih sangat perlu diperjuangkan. Dari awal memang diisukan, tetapi sangat susah. Itu masih belum mau, bahkan kapan maunya kita juga belum tahu.
Baca juga: Eksklusif Butet Kartaredjasa: Saat Seni Menjelma Laku Spiritual & Kritik Sosial Politik
pelaksana tugas (Plt) Indonesian Heritage Agency Ahmad Mahendra (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)
Konsepnya kami ingin menggambarkan proses repatriasinya. Repatriasi itu kan sesuatu yang sepertinya baru gempar sekarang-sekarang ini. Padahal, itu sudah dilakukan sejak lama, sejak 1950-an. Perjalanan ini nanti juga akan diceritakan di dalam pameran tersebut.
Jadi, pameran akan terasa lebih utuh. Tidak hanya memamerkan benda koleksi saja, tetapi juga cerita perjalanannya, sampai akhirnya nendangnya kan baru kemarin, ya. Konsep repatriasi itu kan sebenarnya dekolonial ya. Maksudnya, yang milik kita itu ya harus dikembalikan. Narasinya jadi begitu.
Dan lebih soal rampasan ya. Jadi, ada yang bukan rampasan, tetapi dikembalikan. Sebenarnya ini tidak cocok dengan kata repatriasi. Karena repatriasi itu hasil rampasan, misalnya koleksi Lombok itu kan dirampas oleh Belanda, dibawa ke sana. Akan tetapi, ada juga koleksi yang bukan rampasan, karena ada pameran di sana, tetapi ditinggal di sana karena susah dan enggak dibawa. Nah, yang begitu sebenarnya bukan repatriasi namanya.
Untuk benda repatriasi yang baru, kalau bisa dipulangkan, ya tentu akan dipamerkan. Namun, kalau belum bisa dipulangkan sampai Oktober, tentu kita tidak bisa memaksakan diri. Cuma kan kita juga punya target, jadi ini tim mau berangkat ke Belanda pekan ini. Komunikasi terus berjalan.
Yang pasti, pameran repatriasi ini menjadi bagian dari rangkaian besar pembukaan Museum Nasional Indonesia. Dalam artian, aset repatriasi ini kan bertempat di Museum Nasional. Sejak kebakaran, sebagian orang mungkin bertanya sebenarnya aman tidak koleksi ini di museum tersebut.
Jadi, berbarengan dengan pembukaan Museum Nasional, kita sekalian ingin menunjukkan bahwa koleksi repatriasi ini aman-aman saja.
Untuk pameran pasca kebakaran, konsep apa yang akan diusung?
Ya, dalam pameran pasca kebakaran nanti, akan ada banyak koleksi juga yang akan ditampilkan. Selama ini kan setelah kebakaran itu belum ada fotonya sama sekali kan, terutama pada benda-benda koleksinya. Nah, dalam pameran ini, akan diperlihatkan wujud dari koleksi-koleksi tersebut.
Akan tetapi, khusus yang koleksi pasca kebakaran ini akan terbatas. Kalau teman-teman tidak melihat saat pameran berlangsung sekitar Oktober-Desember, itu akan susah. Karena nanti akan langsung kita simpan. Akan ada storage khusus untuk koleksi bekas kebakaran. Itu pun tidak sembarang orang bisa masuk, hanya yang telah diberi akses saja.
Kalau pun nanti ada benda koleksi pasca kebakaran akan dipajang kembali, itu hanya replikanya. Jadi, kesempatan melihat benda sejarah yang terkena kebakaran kemarin, itu hanya saat pameran.
Apakah koleksi pameran pasca kebakaran ini yang sudah direstorasi?
Yang dipamerkan ini koleksi yang belum direstorasi. Jadi, benda tersebut setelah kebakaran kan ditangani, tetapi belum sampai tahap restorasi. Dalam penanganan ini kan ada tahapannya ya, dari rusak ringan, sedang, dan berat. Ada juga benda yang selamat, tetapi butuh remediasi.
Koleksi-koleksi tersebutlah yang akan dipamerkan. Bahkan, ada beberapa workshop juga yang sedang direstorasi. Tujuan kami adalah untuk menyampaikan data dan bentuk transparansi setelah insiden. Selain itu, ini juga bisa jadi pembelajaran, ya, kalau bisa jangan sampai terjadi lagi, tapi kita perlu untuk antisipasi.
Dalam pameran nanti, akan diperlihatkan benda-benda koleksi setelah kebakaran secara utuh. Contoh di koleksi pasca kebakaran itu ada nekara (semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup) yang terdampak dan jadi gepeng. Itu akan diperlihatkan, tetapi kita menyajikan visualisasi versi utuhnya di hologram.
Kita juga akan sampaikan mana benda yang rusak ringan, sedang, dan berat. Biar menggambarkan kenapa ini bisa dianggap rusak berat, sedangkan yang lain rusak ringan. Jadi, ada datanya sehingga ini bisa jadi pengetahuan kepada banyak orang.
Tidak hanya tingkatan kerusakan, kita juga sampaikan tentang bahan benda sejarah. Kan ada bahan dari perunggu, kayu, dan semacamnya. Kalau dari kayu, itu hangus, nah abunya dan sisa-sisa kayu kecil itu kita sampaikan juga. Beruntungnya, kami sudah punya pendataan lengkap. Jadi, itu semua akan dibarengi dengan hologram versi utuhnya.
Kita juga sedang menyiapkan buku, dari proses terjadinya kebakaran dan lainnya. Kita juga sampaikan proses kerja sama dengan ahli internasional. Namun, ada yang menarik juga, ternyata ada statement dari ahli luar negeri, seperti Jepang hingga Prancis, bahwa ahli-ahli kita di dalam negeri itu ketika menangani masalah ini sudah layak, benar, dan standar internasional.
Ketika awalnya kita mau meminta pendapat ke mereka, tetapi justru mereka malah mengapresiasi penanganan yang kita lakukan pada benda pasca kebakaran.
Baca juga: Eksklusif Arsitek Jacob Gatot Surarjo: Menghidupkan Bangunan, Komunitas & Kreativitas
pelaksana tugas (Plt) Indonesian Heritage Agency Ahmad Mahendra (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)
Menerjemahkan narasi kembali. Ini bukan hanya tentang benda hasil repatriasi saja ya, tetapi keseluruhan. Misalnya, dalam cerita Museum Nasional, sebelumnya ini dianggap sebagai perjuangan melawan kolonial. Namun, sekarang adalah melawan tanpa gentar. Jadi, narasinya lebih keindonesiaan, bukan malah kolonialnya.
Hal-hal seperti ini yang akan membedakan. Narasinya lebih menonjolkan peran aktif kita dalam berjuang, bahwa kita-lah yang melawan kekejaman.
Dalam konteks lain, ini secara lebih luas lagi, cara memperlakukan benda koleksi juga akan berubah. Misalnya, ada sebuah koleksi dari suku tertentu. Suku tersebut rupanya memiliki budaya sendiri dalam memperlakukan koleksi tersebut. Nantinya, kalau suku tersebut datang ke Museum Nasional, mereka boleh melakukan budaya itu ke benda koleksi tersebut.
Jadi, mereka bisa tetap terhubung sesuai dengan budayanya. Ya, bagaimana pun, mereka kan dahulu yang memiliki, tentu ada ikatan batin. Ya, dalam tanda kutip, memberi nyawa pada koleksi-koleksi tersebut.
Penguatan narasi dan interpretasi menjadi hal penting. Fungsi benda bersejarah di masyarakat itu apa? Jadi, tidak hanya sekadar benda ini ditemukan di mana, tetapi lebih luas lagi perihal konteks benda tersebut dan relevansinya dengan kehidupan masa lalu. Itu kan jadi hal yang tak terpisahkan.
Di luar dari pameran koleksi, ketika nanti Museum Nasional dibuka, secara sistem pengamanan gedungnya akan ada upgrade apa saja?
Ada tiga hal besar yang kami lakukan pasca kebakaran. Pertama adalah penanganan koleksi. Kami identifikasi, ditangani, hingga restorasi. Kedua adalah penanganan gedungnya yang terdampak, yang juga cagar budaya ini. Kami berdiskusi dengan para ahli MACB, terutama untuk menentukan apakah perlu dibangun sama seperti kemarin atau justru tidak perlu.
Ketiga adalah mitigasi. Ini tidak hanya berlaku bagi Museum Nasional, tetapi juga gedung-gedung museum lainnya. Makanya kan sekarang pembangunannya lebih detail, dari penggantian panel listrik secara total. Karena kan sejak zaman dahulu gedung A itu belum diganti listriknya.
Kami melakukan upgrade untuk penanganan gedung dari bencana, seperti gempa bumi, banjir, dan juga kebakaran itu sendiri. Selain itu, tentu saja juga keamanan dari pencurian dengan adanya brankas khusus. Kemarin kita beli tiga, untuk koleksi sangat super.
Baca juga: Eksklusif Slamet Rahardjo: Memaknai Hidup Sebagai Panggung Sandiwara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.