Resensi Novel Sebelum Hancur Lebur: Olok-olok & Kiamat Sastra Indonesia di Mata Martin Suryajaya
15 August 2024 |
19:09 WIB
Kemajuan teknologi telah mendobrak banyak perubahan dalam satu dekade terakhir. Munculnya kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI), juga telah mengubah lanskap kita dalam berpikir, bertindak, bahkan berkarya di bidang kesenian.
Lantas, seperti apakah dunia ketika sastra, seni, dan aktivitas pemikiran digantikan oleh teknologi? Terutama saat teknologi buatan manusia menghasilkan berbagai jenis produk budaya, mulai dari puisi, novel, lukisan, bahkan makalah filsafat?
Momen inilah sekiranya yang menjadi benang merah dari novel terbaru Martin Suryajaya berjudul Sebelum Hancur Lebur, yang belum lama ini diterbitkan oleh baNANA. Novel dengan ketebalan 300 halaman ini merupakan prekuel dari novel Kiat Sukses Hancur Lebur, yang ditulis oleh Martin pada 2016.
Baca juga: Buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises Soroti Kebutuhan UMKM Indonesia
Menjadi karya terbaru dari Martin, novel ini secara umum menarasikan, bahwa sudah sejauh ini sastra Indonesia berlari. Di dalamnya, kita bisa melihat nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, atau nama-nama lain yang diplesetkan oleh penulis, seperti WC Rendra, Ariel Budiman, Maman S. Mahakarya dan, sebagainya.
Alih-alih menempatkan para peletak sastra Indonesia itu sebagai barang antik yang perlu dilap-lap agar semakin kinclong, Martin justru keluar lebih jauh. Dia mengopyok khasanah sastra sebagai realitas baru, yang bahkan sesekali juga menghasilkan ironi bagi sastrawan pengunyah obat maag.
Terdiri dari sepuluh bab, novel ini akan mengajak pembaca berulang-alik antara sejarah, fiksi, atau hal-hal kabur yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Dalam bab Swargaparwa: Penglihatan Tentang Orang-orang Sukses dalam Sastra Indonesia misalnya, Martin mengajak Genhype untuk memasuki alam pikir Durnawijaya alias Rustandyo Kartokusumo, yang kehilangan kepercayaan pada Sastra Indonesia pasca kemerdekaan.
Ia tak akan bisa lupa, tulis Martin, bahwa Sastra Indonesia dibangun di atas pembantaian-pembantaian sastra-sastra daerah. Sejak saat itulah Durnawijaya menabalkan diri sebagai titisan cita-cita pembalasan dendam sastra daerah pada sastra Indonesia (hlm:62)
Lain dari itu, kisah di novel ini juga mengikuti sosok bernama Risdianto alias Anto Labil, seorang penyair asal Semarang yang mengikuti acara Temu Sastra di Ternate, pada 2011. Namun, alih-alih ikut urun rembug dalam 'kekacauan' yang dihadiri ratusan sastrawan dan kritikus itu, Anto Labil justru membuat tragedinya sendiri.
Syahdan, pada hari ke sekian dia mencuri kapal penduduk. Lalu sengaja menghilangkan diri dengan melabang hingga akhirnya terdampar ke sebuah pulau tak berpenghuni, bernama Pulau Sastra. Laiknya karya fiksi yang kadang mengabaikan sebab-akibat, Anto Labil kemudian mendapat 'wangsit' mengenai nasib sastra Indonesia di masa depan.
Selepas momen inilah, Genhype akan diajak untuk merenungi lagi apa yang sudah dan akan terjadi pada sastra Indonesia di masa lalu dan masa depan. Dengan mangkus, Martin mengopyok tragedi, komedi, spekulasi, dan nasib para pegiat di dalamnya dengan narasi yang apik, meski sesekali satiristik.
Dengan jeli, Martin juga memberikan lemparan-lemparan pertanyaan, dengan penuh kritis pada pembaca. Misalnya, lewat kata 'duduk dan berpikir' yang oleh sang penulis proposisinya bisa terus diubah, yang dalam hal ini dinarasikan saat Anto Labil terdampar di Pulau Sastra.
"Seorang pemikir dari kejauhan tampak sedang berpikir. Apakah dia sungguh berpikir? Apakah ia sungguh tidak berpikir? Ataukah ia tidak sungguh berpikir atau malah tidak berpikir sungguh-sungguh?" (hlm-33). Rentetan pertanyaan tersebut akan memicu kita pada beberapa pertanyaan yang mungkin jarang kita sikapi, karena dianggap sebagi sesuatu yang tidak penting.
Keunikan lain dari novel ini adalah bagaimana sang penulis menggabungkan antara yang fakta dan yang fiksi. Momen-momen 'tabrakan' itulah yang sesekali menghasilkan sunggingan senyum hingga umpatan dari pembaca. Atau, barangkali menjadi informasi yang menuntun kita untuk kembali melihat seberapa jauh sastra berjalan?
Ya, setelah hampir dua pekan menekuri buku ini, ada rentetan pertanyaan yang mungkin patut dipertanyakan. Apakah novel ini bisa dinikmati oleh mereka yang baru mengenal sastra Indonesia, di fasenya menuju kehancuran itu? Atau plesetan-plesatan nama yang fiksi dan yang nyata itu justru menjadi pintu awal memasuki 'ning' sastra Indonesia?
Walakin, secara umum novel ini lebih ringan sekaligus lebih bisa dinikmati dibanding pendahulunya, Kiat Sukses Hancur Lebur, di mana kita tidak disuguhi data, catatan kaki, hingga karangan yang dibuat sendiri oleh sang penulis. Adanya ilustrasi yang 'berantakan' dan dibuat sendiri oleh Martin, secara estetik juga memberi warna baru bagi novel ikonik ini.
Refleksi tersebut dapat juga dapat dilihat dari sampul yang dibuat oleh Wulang Sunu, yang memparodikan hasil kebudayaan era sastra kita di masa silam. Misalnya buku Orang-Orang Sukolilo karya Bawdhy Dharma; Burung-burung Ambyar karya Z.B Mardian; Jazz, Parem dan Nogosari, Penembak Tunanetra, Kulup, dan masih banyak lagi. Apakah judul-judul tersebut cukup familiar dengan Genhype?
Data Buku
Judul: Sebelum Hancur Lebur
Penulis: Martin Suryajaya
Penata & Perancang Sampul: Wulang Sunu
Penata Letak: Azka Maula
Tahun Terbit: Mei 2024
Jumlah Halaman: 330 halaman
Penerbit: baNANA
ISBN:978-623-88459-6-5
Baca juga: Resensi Buku Memoar William Soeryadjaya, Kisah Jatuh Bangun Legenda Otomotif Indonesia
Editor: Puput Ady Sukarno
Lantas, seperti apakah dunia ketika sastra, seni, dan aktivitas pemikiran digantikan oleh teknologi? Terutama saat teknologi buatan manusia menghasilkan berbagai jenis produk budaya, mulai dari puisi, novel, lukisan, bahkan makalah filsafat?
Momen inilah sekiranya yang menjadi benang merah dari novel terbaru Martin Suryajaya berjudul Sebelum Hancur Lebur, yang belum lama ini diterbitkan oleh baNANA. Novel dengan ketebalan 300 halaman ini merupakan prekuel dari novel Kiat Sukses Hancur Lebur, yang ditulis oleh Martin pada 2016.
Baca juga: Buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises Soroti Kebutuhan UMKM Indonesia
Menjadi karya terbaru dari Martin, novel ini secara umum menarasikan, bahwa sudah sejauh ini sastra Indonesia berlari. Di dalamnya, kita bisa melihat nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, atau nama-nama lain yang diplesetkan oleh penulis, seperti WC Rendra, Ariel Budiman, Maman S. Mahakarya dan, sebagainya.
Alih-alih menempatkan para peletak sastra Indonesia itu sebagai barang antik yang perlu dilap-lap agar semakin kinclong, Martin justru keluar lebih jauh. Dia mengopyok khasanah sastra sebagai realitas baru, yang bahkan sesekali juga menghasilkan ironi bagi sastrawan pengunyah obat maag.
Terdiri dari sepuluh bab, novel ini akan mengajak pembaca berulang-alik antara sejarah, fiksi, atau hal-hal kabur yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Dalam bab Swargaparwa: Penglihatan Tentang Orang-orang Sukses dalam Sastra Indonesia misalnya, Martin mengajak Genhype untuk memasuki alam pikir Durnawijaya alias Rustandyo Kartokusumo, yang kehilangan kepercayaan pada Sastra Indonesia pasca kemerdekaan.
Ia tak akan bisa lupa, tulis Martin, bahwa Sastra Indonesia dibangun di atas pembantaian-pembantaian sastra-sastra daerah. Sejak saat itulah Durnawijaya menabalkan diri sebagai titisan cita-cita pembalasan dendam sastra daerah pada sastra Indonesia (hlm:62)
Lain dari itu, kisah di novel ini juga mengikuti sosok bernama Risdianto alias Anto Labil, seorang penyair asal Semarang yang mengikuti acara Temu Sastra di Ternate, pada 2011. Namun, alih-alih ikut urun rembug dalam 'kekacauan' yang dihadiri ratusan sastrawan dan kritikus itu, Anto Labil justru membuat tragedinya sendiri.
Syahdan, pada hari ke sekian dia mencuri kapal penduduk. Lalu sengaja menghilangkan diri dengan melabang hingga akhirnya terdampar ke sebuah pulau tak berpenghuni, bernama Pulau Sastra. Laiknya karya fiksi yang kadang mengabaikan sebab-akibat, Anto Labil kemudian mendapat 'wangsit' mengenai nasib sastra Indonesia di masa depan.
Selepas momen inilah, Genhype akan diajak untuk merenungi lagi apa yang sudah dan akan terjadi pada sastra Indonesia di masa lalu dan masa depan. Dengan mangkus, Martin mengopyok tragedi, komedi, spekulasi, dan nasib para pegiat di dalamnya dengan narasi yang apik, meski sesekali satiristik.
Dengan jeli, Martin juga memberikan lemparan-lemparan pertanyaan, dengan penuh kritis pada pembaca. Misalnya, lewat kata 'duduk dan berpikir' yang oleh sang penulis proposisinya bisa terus diubah, yang dalam hal ini dinarasikan saat Anto Labil terdampar di Pulau Sastra.
"Seorang pemikir dari kejauhan tampak sedang berpikir. Apakah dia sungguh berpikir? Apakah ia sungguh tidak berpikir? Ataukah ia tidak sungguh berpikir atau malah tidak berpikir sungguh-sungguh?" (hlm-33). Rentetan pertanyaan tersebut akan memicu kita pada beberapa pertanyaan yang mungkin jarang kita sikapi, karena dianggap sebagi sesuatu yang tidak penting.
Keunikan lain dari novel ini adalah bagaimana sang penulis menggabungkan antara yang fakta dan yang fiksi. Momen-momen 'tabrakan' itulah yang sesekali menghasilkan sunggingan senyum hingga umpatan dari pembaca. Atau, barangkali menjadi informasi yang menuntun kita untuk kembali melihat seberapa jauh sastra berjalan?
Ya, setelah hampir dua pekan menekuri buku ini, ada rentetan pertanyaan yang mungkin patut dipertanyakan. Apakah novel ini bisa dinikmati oleh mereka yang baru mengenal sastra Indonesia, di fasenya menuju kehancuran itu? Atau plesetan-plesatan nama yang fiksi dan yang nyata itu justru menjadi pintu awal memasuki 'ning' sastra Indonesia?
Walakin, secara umum novel ini lebih ringan sekaligus lebih bisa dinikmati dibanding pendahulunya, Kiat Sukses Hancur Lebur, di mana kita tidak disuguhi data, catatan kaki, hingga karangan yang dibuat sendiri oleh sang penulis. Adanya ilustrasi yang 'berantakan' dan dibuat sendiri oleh Martin, secara estetik juga memberi warna baru bagi novel ikonik ini.
Refleksi tersebut dapat juga dapat dilihat dari sampul yang dibuat oleh Wulang Sunu, yang memparodikan hasil kebudayaan era sastra kita di masa silam. Misalnya buku Orang-Orang Sukolilo karya Bawdhy Dharma; Burung-burung Ambyar karya Z.B Mardian; Jazz, Parem dan Nogosari, Penembak Tunanetra, Kulup, dan masih banyak lagi. Apakah judul-judul tersebut cukup familiar dengan Genhype?
Data Buku
Judul: Sebelum Hancur Lebur
Penulis: Martin Suryajaya
Penata & Perancang Sampul: Wulang Sunu
Penata Letak: Azka Maula
Tahun Terbit: Mei 2024
Jumlah Halaman: 330 halaman
Penerbit: baNANA
ISBN:978-623-88459-6-5
Baca juga: Resensi Buku Memoar William Soeryadjaya, Kisah Jatuh Bangun Legenda Otomotif Indonesia
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.