Resensi Buku Tragedimu Komediku, Menertawakan Realitas Ala Eka Kurniawan
04 October 2023 |
16:30 WIB
Syahdan, Karl Marx pernah mengatakan bahwa sejarah selalu mengulang dirinya sendiri; pertama sebagai tragedi dan kedua sebagai lelucon. Setelahnya, kisah tentang hal itu pun banyak diadaptasi dalam berbagai karya, termasuk fiksi hingga esai-esai dari para penulis terkenal.
Dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) misalnya, Eka Kurniawan mengisahkan tragedi yang menimpa Ajo Kawir sebagai sebagai komedi. Dengan cergas, sang penulis menggambarkan 'burung' yang tidak bisa ngaceng sebagai seorang pertapa yang tengah bermeditasi.
Baca juga: Buku Tentang Luhut Binsar Pandjaitan Diluncurkan, Ditulis Peter F. Gontha & Mahpudi
Jauh sebelumnya, Eka juga menuliskan citra yang sama dalam Cantik itu Luka (2002). Momen tragedi sebagai lelucon salah satunya dapat disimak dari pemberian nama anak bungsu dari Dewi Ayu yang lahir dengan paras buruk rupa, tapi ironisnya diberi nama Cantik.
Peraih nominasi Man Booker Prize itu memang kerap bermain-main dengan tragedi dalam deretan tulisan-tulisannya. Kini berbagai tema mengenai kisah tersebut juga terlihat dalam kumpulan esai terbarunya berjudul Tragedimu Komediku Esai-Esai.
Adapun, buku ini memuat sekitar 70-an esai karya Eka yang pernah dimuat di Jawa Pos pada rentang 2018-2022. Mayoritas esai tersebut ditulis dengan gaya satir yang bakal menggelitik pembaca, dan tentu saja menggiring mereka pada berbagai macam perenungan.
Pada sebagian esai, narasi satir itu juga digunakan Eka untuk menertawakan tragedi yang muncul di sekitar kita. Terutama mengenai dinamika sosial, politik, sastra, persoalan filsafat atau perkara-perkara hangat yang sedang terjadi di masyarakat.
Misalnya, hal itu dapat disimak lewat esai berjudul Yang Benar 'Kongkorongkok yang Lain Salah. Di sini Eka mendedah bagaimana seseorang menafsir sesuatu. Terutama lewat persepsi indrawi dan pemaknaan, hingga dalam realitas tak pernah ada kebenaran tunggal.
Esai-esai satir juga dapat dilihat dalam Menyapu Sampah ke Bawah Permadani. Di sini Eka mengkritisi tentang penyelesaian kasus kekerasan seksual di sebuah kampus negeri yang terkesan ditutup-tutupi, lalu membandingkannya dengan deretan kasus serupa di lembaga otoritas seperti gereja, hingga Akademi Swedia.
Sang penulis mengibaratkan pihak kampus yang tidak terbuka mengenai kasus tersebut seperti sedang menyapu sampah ke bawah permadani. Pengandaian semacam ini rasanya akan mudah sekali membuat pembaca tersenyum miris. Pasalnya, kampus harusnya menjadi lembaga yang melindungi mahasiswanya sebagai korban kekerasan seksual.
Selain itu pembaca juga bisa melihat bagaimana Eka merefleksikan selera kultural pasar, seperti film, sastra, dan kopi yang dibentuk oleh industri kapital di belakangnya. Hal itu pun dapat disimak lewat esai berjudul Bukan Sinema, Bukan Sastra, Juga Bukan Kopi yang dibedah dengan sudut pandang segar dan jernih.
Adapun, esai itu dimulai dari opini sineas Martin Scorsese terhadap film-film superhero Marvel yang menyebutnya bukan sebagai sinema, tapi taman hiburan. Di luar keributan yang terjadi di medsos, Eka pun memberikan pandangannya terhadap apa yang dikhawatirkan oleh sutradara gaek itu, yakni keberagaman film.
Hal itu pun terejawantah dalam refleksinya lewat kalimat berikut: "Kita sering lupa, selera juga dibentuk. Industri besar dengan kapital dan distribusi luas memiliki kekuatan yang besar untuk menciptakan selera, menyeragamkan konsumsi. Di film, di sastra, di sajian kopi," (halaman: 50).
Secara umum, membaca esai-esai pada buku setebal 276 halaman ini juga akan memberi sudut pandang baru dalam melihat berbagai persoalan. Ada banyak perspektif yang jarang disentuh penulis lain, terutama mengenai peristiwa-peristiwa kecil tapi berhasil disajikan dengan ciamik oleh Eka Kurniawan.
Seperti penulis-penulis besar lain, Eka memang piawai dalam menafsir kenyataan. Tak hanya itu, dengan cukup jernih dia juga selalu memberi ruang terhadap keberadaan liyan, terutama orang-orang kalah sebagai titik mula judul atau cerita bermula yang berakhir menjadi katarsis bagi pembaca.
Data Buku
Baca juga: Potret Terkini Dunia Pendidikan Indonesia dalam Buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran
Editor: Dika Irawan
Dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) misalnya, Eka Kurniawan mengisahkan tragedi yang menimpa Ajo Kawir sebagai sebagai komedi. Dengan cergas, sang penulis menggambarkan 'burung' yang tidak bisa ngaceng sebagai seorang pertapa yang tengah bermeditasi.
Baca juga: Buku Tentang Luhut Binsar Pandjaitan Diluncurkan, Ditulis Peter F. Gontha & Mahpudi
Jauh sebelumnya, Eka juga menuliskan citra yang sama dalam Cantik itu Luka (2002). Momen tragedi sebagai lelucon salah satunya dapat disimak dari pemberian nama anak bungsu dari Dewi Ayu yang lahir dengan paras buruk rupa, tapi ironisnya diberi nama Cantik.
Peraih nominasi Man Booker Prize itu memang kerap bermain-main dengan tragedi dalam deretan tulisan-tulisannya. Kini berbagai tema mengenai kisah tersebut juga terlihat dalam kumpulan esai terbarunya berjudul Tragedimu Komediku Esai-Esai.
Adapun, buku ini memuat sekitar 70-an esai karya Eka yang pernah dimuat di Jawa Pos pada rentang 2018-2022. Mayoritas esai tersebut ditulis dengan gaya satir yang bakal menggelitik pembaca, dan tentu saja menggiring mereka pada berbagai macam perenungan.
Pada sebagian esai, narasi satir itu juga digunakan Eka untuk menertawakan tragedi yang muncul di sekitar kita. Terutama mengenai dinamika sosial, politik, sastra, persoalan filsafat atau perkara-perkara hangat yang sedang terjadi di masyarakat.
Misalnya, hal itu dapat disimak lewat esai berjudul Yang Benar 'Kongkorongkok yang Lain Salah. Di sini Eka mendedah bagaimana seseorang menafsir sesuatu. Terutama lewat persepsi indrawi dan pemaknaan, hingga dalam realitas tak pernah ada kebenaran tunggal.
Ilustrasi buku Tragedimu Komediku (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Sang penulis mengibaratkan pihak kampus yang tidak terbuka mengenai kasus tersebut seperti sedang menyapu sampah ke bawah permadani. Pengandaian semacam ini rasanya akan mudah sekali membuat pembaca tersenyum miris. Pasalnya, kampus harusnya menjadi lembaga yang melindungi mahasiswanya sebagai korban kekerasan seksual.
Selain itu pembaca juga bisa melihat bagaimana Eka merefleksikan selera kultural pasar, seperti film, sastra, dan kopi yang dibentuk oleh industri kapital di belakangnya. Hal itu pun dapat disimak lewat esai berjudul Bukan Sinema, Bukan Sastra, Juga Bukan Kopi yang dibedah dengan sudut pandang segar dan jernih.
Adapun, esai itu dimulai dari opini sineas Martin Scorsese terhadap film-film superhero Marvel yang menyebutnya bukan sebagai sinema, tapi taman hiburan. Di luar keributan yang terjadi di medsos, Eka pun memberikan pandangannya terhadap apa yang dikhawatirkan oleh sutradara gaek itu, yakni keberagaman film.
Hal itu pun terejawantah dalam refleksinya lewat kalimat berikut: "Kita sering lupa, selera juga dibentuk. Industri besar dengan kapital dan distribusi luas memiliki kekuatan yang besar untuk menciptakan selera, menyeragamkan konsumsi. Di film, di sastra, di sajian kopi," (halaman: 50).
Secara umum, membaca esai-esai pada buku setebal 276 halaman ini juga akan memberi sudut pandang baru dalam melihat berbagai persoalan. Ada banyak perspektif yang jarang disentuh penulis lain, terutama mengenai peristiwa-peristiwa kecil tapi berhasil disajikan dengan ciamik oleh Eka Kurniawan.
Seperti penulis-penulis besar lain, Eka memang piawai dalam menafsir kenyataan. Tak hanya itu, dengan cukup jernih dia juga selalu memberi ruang terhadap keberadaan liyan, terutama orang-orang kalah sebagai titik mula judul atau cerita bermula yang berakhir menjadi katarsis bagi pembaca.
Data Buku
- Judul: Tragedimu Komediku Esai-Esai
- Penulis: Eka Kurniawan
- Penyunting: Mahfud Ikhwan
- Penerbit: Pojok Cerpen
- Tahun terbit: Juli 2023
- Jumlah halaman: 276 halaman
- ISBN: 978-623-5869-18-6
Baca juga: Potret Terkini Dunia Pendidikan Indonesia dalam Buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.