Buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises Soroti Kebutuhan UMKM Indonesia
04 August 2024 |
14:33 WIB
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) memainkan peran sentral dalam perekonomian negara melalui penciptaan lapangan kerja dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), baik melalui produksi barang maupun jasa. yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan nasional.
Pemerintah seringkali memberikan berbagai bentuk dukungan pada UMKM, seperti modal dan pelatihan untuk membantu mereka tumbuh dan berkembang. Sayangnya, kebijakan-kebijakan pemerintah belum selaras dengan kebutuhan riil para pelaku UMKM di berbagai daerah.
Gelaran FEKDI x KKI (Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia dan Karya Kreatif Indonesia) 2024 hari ketiga, yakni pada 3 Agustus diisi dengan kegiatan peluncuran buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises.
Baca juga: FEKDI x KKI 2024 Tawarkan Pengalaman Bazar UMKM dari Penjuru Indonesia
Buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises merupakan merupakan persembahan dari Bank Indonesia untuk pengembangan UMKM di Indonesia. Ditulis oleh Iwan Jaya Azis, seorang Research Scholar di Bank Indonesia Institute, bersama tim peneliti lainnya.
Peluncuran buku diikuti dengan acara diskusi bedah buku yang dihadiri sejumlah panelis dari bidang terkait. Selain Iwan Jaya Azis sebagai penulis buku ada Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudi Sadewa, dan visiting scholar Stanford University dan podcaster edukasi ekonomi Gita Wirjawan.
"Saya belajar dengan teman-teman UMKM di seluruh Indonesia, setelah mengamati dari dekat saya melihat banyak sekali daftar kebijakan yang sudah dilekuarkan oleh pemerintah, tapi tidak efektif di lapangan," papar Iwan di acara FEKDI x KKI, Sabtu (3/8/2024).
Lebih lanjut dia memaparkan, ini bukan karena kebijakannya yang dinilai tidak tepat, melainkan desain dari kebijakan tersebut yang tidak sesuai dengan kondisi kehidupan mereka sehari-hari. Iwan berharap pemerintah bisa menyelaraskan kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan UMKM.
Iwan juga menyoroti hal-hal yang diharapkan oleh UMKM yang sebenarnya murah atau bahkan tidak memerlukan anggaran sama sekali. Seperti yang kita tahu, uang selalu menjadi jalan keluar ketika ada usulan untuk memperbaiki UMKM. Akhirnya jika tidak ada dana, maka tidak ada program untuk memberdayakan UMKM.
"Salah satu keinginan UMKM yang tidak memerlukan anggaran, misalnya mengurangi kebijakan dan aturan yang berlaku di lapangan," katanya.
Aturan dan kebijakan dari pemerintah seringkali membatasi ruang gerak UMKM. Memang semuanya memliki tujuan positif, katanya, tapi karena tidak ada sinergi hasilnya pun tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Selama ini pemerintah memberikan dukungan, selain berupa suntikan modal ada juga berbagai pelatihan yang harus diikuti para UMKM untuk meningkatkan performanya. Mereka wajib mengikuti pelatihan dalam satu hari di jam tertentu, padahal para pelaku UMKM ini bekerja selama 24 jam, mereka sibuk.
"Karena harus ikut pelatihan, mereka harus menutup usahanya sehari, tentu ada kerugiannya, ini adalah contoh kebijakan yang tidak menyesuaikan dengan keseharian UMKM," papar Iwan
Padahal apa yang sebetulnya diinginkan para pelaku UMKM adalah networking atau kolaborasi. Menengok kembali pada era COVID-19, semua pelaku usaha baik yang berskala besar sampai UMKM terpukul. Namun hanya jenis usaha besar dan menengah saja yang bisa bangkit dan pulih.
Ini karena mereka punya networking dengan perbankan, pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan lainnya, sementara UMKM tidak punya itu. Padahal melalui networking, mereka bisa saling membantu dari segi pemasaran, manajeman, dan bentuk-bentuk pelatihan lainnya.
Iwan memaparkan UMKM sendiri terdiri berbagai jenis usaha, baik mikro, kecil, menengah. Melihat statistiknya, dari 100 unit usaha di Indonesia, 99 persennya adalah UMKM. Itupun sebagian besarnya merupakan usaha mikro dan mereka tidak punya networking.
Selain itu, seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah untuk UMKM daerah juga berbeturan dengan faktor budaya sehingga bisa menghambat mereka untuk berkembang. Kita tahu di Indonesia ada 1.350 etnik, tidak semuanya bisa menerapkan kebijakan karena dinilai tidak sesuai dengan budaya mereka.
Iwan sendiri telah mengunjungi sejumlah pelaku UMKM yang berasal dari daerah-daerah terpencil seperti suku baduy dalam, masyarakat pulau Morotai, Maluku Selatan, dan NTT. Sebagai contoh, pemerintah mungkin mendorong digitalisasi dan penggunaan teknologi modern untuk efisiensi bisnis.
Namun, di daerah seperti Baduy Dalam yang masih lekat dengan unsur-unsur tradisional, penggunaan teknologi bisa dianggap mengikis budaya asli mereka.
"Inilah kenapa banyak kebijakan bagus yang tidak jalan, para UMKM ini bukannya tidak mau menerapkan, tapi mereka tidak bisa menerapkannya karena faktor budaya," ujarnya.
Acara bedah buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises berlangsung selama dua jam, lalu dilanjutkan dengan kegiatan lainnya yakni Casual Talk atau sesi diskusi kasual yang mengangkat topik The Digital Leap: Paving the Way for Economic & Finance Transformation.
Adapun FEKDI x KKI 2024 telah dihelat sejak 1-4 Agustus di Jakarta Convention Center (JCC). Acara ini mengusung tema Sinergi Memperkuat Ekonomi dan Keuangan Digital serta Inklusif untuk Pertumbuhan Berkelanjutan.
Penyelenggaraan FEKDI x KKI 2024 menjadi wujud nyata sinergi kuat Pemerintah, Bank Indonesia, industri sistem pembayaran dan keuangan, UMKM, akademisi, dan masyarakat. Kegiatan ini juga sebagai bentuk selebrasi atas kemajuan pesat digitalisasi Indonesia, sekaligus komitmen bersama untuk akselerasi transformasi digital ke depan, serta kolaborasi dan inovasi untuk ekonomi kerakyatan dan pertumbuhan inklusif.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Pemerintah seringkali memberikan berbagai bentuk dukungan pada UMKM, seperti modal dan pelatihan untuk membantu mereka tumbuh dan berkembang. Sayangnya, kebijakan-kebijakan pemerintah belum selaras dengan kebutuhan riil para pelaku UMKM di berbagai daerah.
Gelaran FEKDI x KKI (Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia dan Karya Kreatif Indonesia) 2024 hari ketiga, yakni pada 3 Agustus diisi dengan kegiatan peluncuran buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises.
Baca juga: FEKDI x KKI 2024 Tawarkan Pengalaman Bazar UMKM dari Penjuru Indonesia
Buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises merupakan merupakan persembahan dari Bank Indonesia untuk pengembangan UMKM di Indonesia. Ditulis oleh Iwan Jaya Azis, seorang Research Scholar di Bank Indonesia Institute, bersama tim peneliti lainnya.
Peluncuran buku diikuti dengan acara diskusi bedah buku yang dihadiri sejumlah panelis dari bidang terkait. Selain Iwan Jaya Azis sebagai penulis buku ada Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudi Sadewa, dan visiting scholar Stanford University dan podcaster edukasi ekonomi Gita Wirjawan.
Peluncuran dan bedah buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises. (Sumber foto: Hypeabis.id/Abdurachman)
Buku ini merupakan hasil dari wawancara mendalam dengan berbagai pelaku UMKM dari seluruh Indonesia. Iwan Jaya Azis menyoroti kebutuhan dan tantangan yang dihadapi para pelaku UMKM. Selain itu juga membahas mengenai pentingnya sinergi antara kebijakan dan situasi para UMKM di lapangan.
Lebih lanjut dia memaparkan, ini bukan karena kebijakannya yang dinilai tidak tepat, melainkan desain dari kebijakan tersebut yang tidak sesuai dengan kondisi kehidupan mereka sehari-hari. Iwan berharap pemerintah bisa menyelaraskan kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan UMKM.
Iwan juga menyoroti hal-hal yang diharapkan oleh UMKM yang sebenarnya murah atau bahkan tidak memerlukan anggaran sama sekali. Seperti yang kita tahu, uang selalu menjadi jalan keluar ketika ada usulan untuk memperbaiki UMKM. Akhirnya jika tidak ada dana, maka tidak ada program untuk memberdayakan UMKM.
"Salah satu keinginan UMKM yang tidak memerlukan anggaran, misalnya mengurangi kebijakan dan aturan yang berlaku di lapangan," katanya.
Aturan dan kebijakan dari pemerintah seringkali membatasi ruang gerak UMKM. Memang semuanya memliki tujuan positif, katanya, tapi karena tidak ada sinergi hasilnya pun tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Selama ini pemerintah memberikan dukungan, selain berupa suntikan modal ada juga berbagai pelatihan yang harus diikuti para UMKM untuk meningkatkan performanya. Mereka wajib mengikuti pelatihan dalam satu hari di jam tertentu, padahal para pelaku UMKM ini bekerja selama 24 jam, mereka sibuk.
"Karena harus ikut pelatihan, mereka harus menutup usahanya sehari, tentu ada kerugiannya, ini adalah contoh kebijakan yang tidak menyesuaikan dengan keseharian UMKM," papar Iwan
Padahal apa yang sebetulnya diinginkan para pelaku UMKM adalah networking atau kolaborasi. Menengok kembali pada era COVID-19, semua pelaku usaha baik yang berskala besar sampai UMKM terpukul. Namun hanya jenis usaha besar dan menengah saja yang bisa bangkit dan pulih.
Ini karena mereka punya networking dengan perbankan, pemerintah daerah, atau perusahaan-perusahaan lainnya, sementara UMKM tidak punya itu. Padahal melalui networking, mereka bisa saling membantu dari segi pemasaran, manajeman, dan bentuk-bentuk pelatihan lainnya.
Iwan memaparkan UMKM sendiri terdiri berbagai jenis usaha, baik mikro, kecil, menengah. Melihat statistiknya, dari 100 unit usaha di Indonesia, 99 persennya adalah UMKM. Itupun sebagian besarnya merupakan usaha mikro dan mereka tidak punya networking.
Selain itu, seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah untuk UMKM daerah juga berbeturan dengan faktor budaya sehingga bisa menghambat mereka untuk berkembang. Kita tahu di Indonesia ada 1.350 etnik, tidak semuanya bisa menerapkan kebijakan karena dinilai tidak sesuai dengan budaya mereka.
Iwan sendiri telah mengunjungi sejumlah pelaku UMKM yang berasal dari daerah-daerah terpencil seperti suku baduy dalam, masyarakat pulau Morotai, Maluku Selatan, dan NTT. Sebagai contoh, pemerintah mungkin mendorong digitalisasi dan penggunaan teknologi modern untuk efisiensi bisnis.
Namun, di daerah seperti Baduy Dalam yang masih lekat dengan unsur-unsur tradisional, penggunaan teknologi bisa dianggap mengikis budaya asli mereka.
"Inilah kenapa banyak kebijakan bagus yang tidak jalan, para UMKM ini bukannya tidak mau menerapkan, tapi mereka tidak bisa menerapkannya karena faktor budaya," ujarnya.
Acara bedah buku Listen and Design on Micro, Small, and Medium Enterprises berlangsung selama dua jam, lalu dilanjutkan dengan kegiatan lainnya yakni Casual Talk atau sesi diskusi kasual yang mengangkat topik The Digital Leap: Paving the Way for Economic & Finance Transformation.
Adapun FEKDI x KKI 2024 telah dihelat sejak 1-4 Agustus di Jakarta Convention Center (JCC). Acara ini mengusung tema Sinergi Memperkuat Ekonomi dan Keuangan Digital serta Inklusif untuk Pertumbuhan Berkelanjutan.
Penyelenggaraan FEKDI x KKI 2024 menjadi wujud nyata sinergi kuat Pemerintah, Bank Indonesia, industri sistem pembayaran dan keuangan, UMKM, akademisi, dan masyarakat. Kegiatan ini juga sebagai bentuk selebrasi atas kemajuan pesat digitalisasi Indonesia, sekaligus komitmen bersama untuk akselerasi transformasi digital ke depan, serta kolaborasi dan inovasi untuk ekonomi kerakyatan dan pertumbuhan inklusif.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.