IDAI Beri Penjelasan tentang Susu UHT dan Makanan Pemicu Diabetes pada Anak
07 August 2024 |
11:50 WIB
Belakangan ini beredar kabar, susu UHT dikaitkan dengan kenaikan kasus diabetes pada anak. Seperti yang diketahui dalam beberapa tahun terakhir kasus diabetes, terutama pada kelompok usia muda menjadi perhatian pemerintah Indonesia dan tentunya menjadi kekhawatiran para orang tua.
Berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus diabetes pada anak melonjak drastis sampai 70 kali lipat pada 2023 dibandingkan dengan 2010. Prevalensi kasus pada Januari 2023 adalah 2 per 100.000 jiwa sehingga sampai sekarang diabetes menjadi penyakit yang sangat diwaspadai.
Salah satu produk yang banyak dikonsumsi oleh anak dan balita adalah susu ultra-high temperature (UHT) yang dirumorkan dapat memicu tingginya penyakit gula.
Baca juga: Kecanduan Minuman Manis, Masyarakat Indonesia Rentan Diabetes dan Gagal Ginjal
Merespons hal itu, Piprim Basarah Yanuarso, Ketua IDAI membantah isu bahwa susu UHT menjadi penyebab diabetes. Melalui laman media sosial pribadinya, Piprim meluruskan dirinya tidak menyinggung susu UHT, melainkan ultraprocessed food atau makanan dengan pemrosesan ultra.
"Diabetes tipe 2 yang mulai banyak terjadi pada anak remaja. Disebabkan gaya hidup yang tidak sehat termasuk pola makan yang banyak asupan ultra processed food, tinggi gula, dan zat tambahan lainnya," tulis Piprim, dikutip dari Instagram, Rabu (7/7/2024).
Perlu digarisbawahi menurutnya susu UHT bukanlah termasuk makanan ultra processed food (UPF) atau makanan yang telah melalui banyak pemrosesan. Biasanya, UPF mengandung berbagai bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, pemanis buatan. Contohnya snack dalam kemasan, minuman bersoda, minuman energi, sosis, nugget, dan masih banyak lagi.
Menurut WHO, pemberian ultra processed food bisa meningkatkan nafsu makan dan berat badan anak. Namun, dalam jangka panjang bisa berisiko menyebabkan obesitas, asma, diabetes, kanker, sindrom iritasi usus besar, kelemahan otot, hingga penyakit jantung.
Sementara susu UHT merupakan susu sapi segar yang kandungan nutrisinya dipertahankan seperti aslinya, kemudian melewati proses pasteurisasi dengan teknik pengolahan ultra-high temperature.
Ultra-high temperature adalah proses memanaskan susu dengan suhu yang sangat tinggi, sekitar 135-150 derajat Celsius selama 1-2 detik. Tujuannya untuk membunuh bakteri dalam susu tanpa merusak kandungan gizinya. Melalui proses tersebut, susu jadi lebih aman untuk dikonsumsi.
Selain itu, susu bisa disimpan dalam jangka waktu lama, bahkan sampai 9 bulan selama kemasannya masih tersegel rapat sehingga tidak terkontaminasi oleh bakteri.
Piprim menekankan supaya orang tua tidak memberikan anak-anak makanan UPF sejak dini. Lebih baik membiasakan mereka untuk mengonsumsi makanan asli dan alami yang sama sekali tidak mengalami pemrosesan dan mengandung sedikit atau tanpa bahan tambahan dan pengawet. "Perbanyak real food seperti ikan, unggas, daging, dan telur," ujarnya.
Dia menambahkan, sebaiknya orang tua jangan menganggap susu sebagai superfood, sehingga ada yang memberi anaknya susu 8-10 botol sehari. Anak boleh saja diberi susu tapi dibatasi sekitar 200 ml sehari.
Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023, hasil riset Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan mayoritas warga Indonesia masih sering mengonsumsi minuman manis dengan kandungan gula tinggi.
Terdapat 47,5 persen penduduk berusia 3 tahun ke atas yang biasa mengonsumsi minuman manis 1 kali per hari atau lebih. Kemudian 43,3 persen orang mengonsumsinya 1-6 kali per minggu, sedangkan hanya 9,2 persen orang yang mengonsumsinya jarang-jarang yakni 3 kali per bulan atau kurang.
Selain minuman, masyarakat Indonesia juga sering mengonsumsi makanan manis dengan kandungan gula tinggi. Hal ini terlihat dari laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI), Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Menurut laporan tersebut, sebanyak 56,2 persen responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali dalam seminggu. Lalu 33,7 persen responden mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari. Sementara, hanya 10,1 persen yang mengonsumsinya kurang dari 3 kali per bulan.
Riset Kesehatan Dasar, BPJS Kesehatan, program PTM, dan Kementerian Kesehatan RI, memaparkan bahwa prevalensi diabetes di Indonesia diperkirakan meningkat dari 9,19 persen pada 2020 yakni sebanyak 18,69 juta kasus, menjadi 16,09 persen pada 2045 atau mencapai 40,7 juta kasus.
Prevalensi akan lebih rendah menjadi 15,68 persen sebanyak 39,6 juta, jika intervensi program dilakukan, kemudian menjadi 9,22 persen sebanyak 23,2 juta jika program ditambahkan dengan pencegahan faktor risiko.
Baca juga: Kenali Gejala dan Cara Mencegah Diabetes Melitus
Proyeksi jumlah kematian akibat diabetes juga meningkat dari 433.752 pada 2020 menjadi 944.468 pada 2045. Kematian akibat stroke pada diabetes meningkat dari 52.397 menjadi 114.092 pada periode yang sama. Kematian akibat IHD pada diabetes meningkat dari 35.351 menjadi 76.974, serta kematian akibat penyakit ginjal kronik pada diabetes meningkat dari 29.061 menjadi 63.279.
Editor: Fajar Sidik
Berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus diabetes pada anak melonjak drastis sampai 70 kali lipat pada 2023 dibandingkan dengan 2010. Prevalensi kasus pada Januari 2023 adalah 2 per 100.000 jiwa sehingga sampai sekarang diabetes menjadi penyakit yang sangat diwaspadai.
Salah satu produk yang banyak dikonsumsi oleh anak dan balita adalah susu ultra-high temperature (UHT) yang dirumorkan dapat memicu tingginya penyakit gula.
Baca juga: Kecanduan Minuman Manis, Masyarakat Indonesia Rentan Diabetes dan Gagal Ginjal
Merespons hal itu, Piprim Basarah Yanuarso, Ketua IDAI membantah isu bahwa susu UHT menjadi penyebab diabetes. Melalui laman media sosial pribadinya, Piprim meluruskan dirinya tidak menyinggung susu UHT, melainkan ultraprocessed food atau makanan dengan pemrosesan ultra.
"Diabetes tipe 2 yang mulai banyak terjadi pada anak remaja. Disebabkan gaya hidup yang tidak sehat termasuk pola makan yang banyak asupan ultra processed food, tinggi gula, dan zat tambahan lainnya," tulis Piprim, dikutip dari Instagram, Rabu (7/7/2024).
Perlu digarisbawahi menurutnya susu UHT bukanlah termasuk makanan ultra processed food (UPF) atau makanan yang telah melalui banyak pemrosesan. Biasanya, UPF mengandung berbagai bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, pemanis buatan. Contohnya snack dalam kemasan, minuman bersoda, minuman energi, sosis, nugget, dan masih banyak lagi.
Menurut WHO, pemberian ultra processed food bisa meningkatkan nafsu makan dan berat badan anak. Namun, dalam jangka panjang bisa berisiko menyebabkan obesitas, asma, diabetes, kanker, sindrom iritasi usus besar, kelemahan otot, hingga penyakit jantung.
Sementara susu UHT merupakan susu sapi segar yang kandungan nutrisinya dipertahankan seperti aslinya, kemudian melewati proses pasteurisasi dengan teknik pengolahan ultra-high temperature.
Ultra-high temperature adalah proses memanaskan susu dengan suhu yang sangat tinggi, sekitar 135-150 derajat Celsius selama 1-2 detik. Tujuannya untuk membunuh bakteri dalam susu tanpa merusak kandungan gizinya. Melalui proses tersebut, susu jadi lebih aman untuk dikonsumsi.
Selain itu, susu bisa disimpan dalam jangka waktu lama, bahkan sampai 9 bulan selama kemasannya masih tersegel rapat sehingga tidak terkontaminasi oleh bakteri.
Piprim menekankan supaya orang tua tidak memberikan anak-anak makanan UPF sejak dini. Lebih baik membiasakan mereka untuk mengonsumsi makanan asli dan alami yang sama sekali tidak mengalami pemrosesan dan mengandung sedikit atau tanpa bahan tambahan dan pengawet. "Perbanyak real food seperti ikan, unggas, daging, dan telur," ujarnya.
Dia menambahkan, sebaiknya orang tua jangan menganggap susu sebagai superfood, sehingga ada yang memberi anaknya susu 8-10 botol sehari. Anak boleh saja diberi susu tapi dibatasi sekitar 200 ml sehari.
Proyeksi Kasus Diabetes di Indonesia
Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023, hasil riset Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan bersama Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan mayoritas warga Indonesia masih sering mengonsumsi minuman manis dengan kandungan gula tinggi.Terdapat 47,5 persen penduduk berusia 3 tahun ke atas yang biasa mengonsumsi minuman manis 1 kali per hari atau lebih. Kemudian 43,3 persen orang mengonsumsinya 1-6 kali per minggu, sedangkan hanya 9,2 persen orang yang mengonsumsinya jarang-jarang yakni 3 kali per bulan atau kurang.
Selain minuman, masyarakat Indonesia juga sering mengonsumsi makanan manis dengan kandungan gula tinggi. Hal ini terlihat dari laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI), Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Menurut laporan tersebut, sebanyak 56,2 persen responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali dalam seminggu. Lalu 33,7 persen responden mengonsumsi makanan manis lebih dari satu kali per hari. Sementara, hanya 10,1 persen yang mengonsumsinya kurang dari 3 kali per bulan.
Riset Kesehatan Dasar, BPJS Kesehatan, program PTM, dan Kementerian Kesehatan RI, memaparkan bahwa prevalensi diabetes di Indonesia diperkirakan meningkat dari 9,19 persen pada 2020 yakni sebanyak 18,69 juta kasus, menjadi 16,09 persen pada 2045 atau mencapai 40,7 juta kasus.
Prevalensi akan lebih rendah menjadi 15,68 persen sebanyak 39,6 juta, jika intervensi program dilakukan, kemudian menjadi 9,22 persen sebanyak 23,2 juta jika program ditambahkan dengan pencegahan faktor risiko.
Baca juga: Kenali Gejala dan Cara Mencegah Diabetes Melitus
Proyeksi jumlah kematian akibat diabetes juga meningkat dari 433.752 pada 2020 menjadi 944.468 pada 2045. Kematian akibat stroke pada diabetes meningkat dari 52.397 menjadi 114.092 pada periode yang sama. Kematian akibat IHD pada diabetes meningkat dari 35.351 menjadi 76.974, serta kematian akibat penyakit ginjal kronik pada diabetes meningkat dari 29.061 menjadi 63.279.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.