Kecanduan Minuman Manis, Masyarakat Indonesia Rentan Diabetes dan Gagal Ginjal
29 July 2024 |
08:00 WIB
Minuman manis tidak bisa dilepaskan dari keseharian pola hidup mayoritas masyarakat Indonesia. Jenis minuman ini dianggap dapat meningkatkan suasana hati dan hadir dalam ragam inovasi rasa. Mudah didapatkan, faktanya kebiasaan mengonsumsi minuman manis dapat meningkatkan risiko penyakit kronis.
Konsumsi minuman manis atau berpemanis memang cukup tinggi di Indonesia. Dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sebanyak 47,5 persen responden mengkonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari.
Kemudian, 43,3 persen responden mengkonsumsi minuman manis sebanyak satu sampai enam kali per minggu. Lalu, proporsi responden yang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan hanya 9,2 persen.
Baca juga: 5 Cara Membatasi Asupan Gula untuk Cegah Gagal Ginjal Akut pada Anak
Survei ini juga mencatat 53 persen kebiasaan mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari paling banyak dilakukan pada kelompok usia 5-9 tahun. Posisinya disusul kelompok usia 3-4 tahun (51,4 persen responden) dan 10-14 tahun (50,7 persen responden).
Adapun survei yang digawangi Kementerian Kesehatan itu dilakukan terhadap 315.646 rumah tangga (91,49 persen) dari target 345.000 rumah tangga biasa dan 284.177 (92,60 persen) dari target 306.898 rumah tangga balita. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan. Di tingkat individu, SKI 2023 telah mewawancarai 1,19 juta orang termasuk balita.
Sementara itu, studi tentang sustainability eating index dari Health Collaborative Center (HCC) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 7 dari 10 orang Indonesia di perkotaan tidak berniat mengurangi makanan dan minuman manis, serta bersoda, meskipun mereka tetap memiliki perilaku minum air mineral yang cukup.
Ketua HCC dr. Ray Wagiu Basrowi menyampaikan konsumsi minuman berpemanis, terutama dalam kemasan menjadi faktor risiko serius. Secara konsep kedokteran komunitas, perilaku seperti ini berkorelasi signifikan dengan peningkatan risiko diabetes dan kelebihan berat badan.
“Apalagi fenomena ini diperparah dengan semakin mudahnya masyarakat memperoleh akses minuman berpemanis tanpa label gizi yang jelas,” ujarnya kepada Hypeabis.id baru-baru ini.
Ray menyebut risiko yang paling tampak usai mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), terutama dengan kadar gula cukup tinggi yakni adanya lonjakan kadar gula darah kurang dari 30 menit. Hal ini memicu kondisi yang dikenal dengan insulin spike atau fenomena naiknya kadar hormon insulin agar kadar gula darah yang terlanjur melonjak segera turun.
Bila dikonsumsi terus menerus dan tidak teratur makan, insulin spike bisa menyebabkan sel-sel tubuh terutama dari pankreas, menjadi kurang responsif. “Ini dikenal dengan resistensi insulin yang menjadi awal berkembangnya diabetes,” jelasnya.
Dampak lain adalah yakni terjadinya dehidrasi karena kandungan gula tinggi bisa memicu produksi urine. Bila terjadi dalam jangka panjang, tentu selain penyakit diabetes akibat resistensi insulin, kalori tinggi dalam minuman manis juga meningkatkan risiko obesitas.
Selain diabetes dan obesitas, minuman manis juga meningkatkan risiko penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, hingga kanker. Sayangnya kesadaran masyarakat akan efek dari minuman berpemanis dalam kemasan masih terbilang rendah, meskipun telah ada label fakta nutrisi di balik kemasan.
Oleh karena itu, untuk menekan risiko penyakit kronis terutama diabetes maupun obesitas akibat minuman berpemanis, Rudy menekankan perlunya self awareness. “Kalau orang enggak sadar sendiri, susah. Kebiasaan ini sudah mengakar lama,” tegasnya.
Dia mengingatkan bahwa rasa manis hanya datang sementara. Butuh investasi kesehatan jangka panggang dengan menerapkan pola hidup sehat atau memilih menu minuman yang lebih sehat. “Enak, enggak ena, itu cuma mindset. Minuman tidak manis tetap bisa enak,” tambahnya.
Ray sepakat menahan laju peredaran minuman kemasan berpemanis akan sangat sulit saat ini. Sebab, rantai produksinya sudah mencapai tingkat komunitas terbawah yaitu hingga di lingkaran rumah tangga.
Edukasi bahaya gula buatan juga perlu waktu panjang karena terkait perilaku. Ide untuk memberikan label pada minuman berpemanis buatan sangat penting dan bisa dilakukan, agar masyarakat bisa melakukan self-review.
Langkah ini menurutnya sangat efektif di beberapa negara. Paling tidak, orang bisa tahu konsumsi gula hariannya meskipun tidak sangat akurat. Dia menyarankan labeling pemanis buatan di kemasan minuman sebaiknya dibuat dengsn konsep total gula dan jenis gula yang dipakai.
“Edukasi juga tetap harus berjalan paralel. Orientasi yang paling tepat adalah edukasi minum air putih atau air mineral digiatkan,” imbuhnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya terus melakukan edukasi untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Edukasi ini paling utama dilakukan melalui modul pembelajaran di sekolah dan kegiatan Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Kemenkes juga mendukung rencana agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan labelisasi makanan/minuman sesuai kadar Gula Garam Lemak (GGL) yang dipakai.
Mengutip Bisnis.com, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan bakal menetapkan cukai kepada dua kelompok produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Direktur Teknis dan Fasilitas DJBC Kemenkeu Iyan Rubianto menyampaikan bahwa dua kelompok MBDK yang akan dikenakan cukai, yaitu minuman siap saji dan konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran.
Untuk minuman siap saji, produk yang dikenai cukai diantaranya sari buah kemasan dengan tambahan gula, minuman berenergi, minuman lainnya seperti kopi, teh, minuman berkarbonasi, dan lainnya, serta minuman spesial Asia seperti larutan penyegar.
“Ruang lingkupnya adalah jus buah, sari buah, minuman berenergi, minuman lainnya, seperti kopi dan teh, kopi kalau mengandung gula. kalau tidak mengandung gula ya tidak kena [cukai],” katanya beberapa waktu lalu.
Iyan menjelaskan pengenaan cukai atas sejumlah produk tersebut untuk mengendalikan konsumsi MBDK di masyarakat yang berpotensi menyebabkan obesitas dan diabetes. Pemerintah mencatat, diagnosis diabetes melitus tipe 2 di dalam negeri meningkat 74 persen, dari 5,2 juta pada 2018 menjadi 9,1 juta klaim pada 2022.
Selain itu, total biaya klaim pasien diabetes melitus pada periode 2018 hingga 2022 juga meningkat sebesar 26 persen. dari Rp1,5 triliun menjadi hampir mencapai Rp2 triliun. Iyan mengatakan Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia, yaitu mencapai 19,5 juta orang. Angka penderita diabetes di Indonesia lebih tinggi dari Brasil dan Meksiko, yang masing-masingnya tercatat sebanyak 15,7 juta orang dan 14,1 juta orang.
Jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat signifikan dalam 2 dekade. Pada 2000 baru tercatat sebanyak 5,6 juta orang dan pada 2011 naik menjadi 7,3 juta orang. Tanpa kebijakan pengendalian, International Diabetes Federation memperkirakan penderita diabetes melitus di Indonesia akan mencapai 23,33 juta jiwa pada 2030 dan mencapai 28,57 juta jiwa pada 2045.
Baca juga: Konsumsi Gula Indonesia Mengkhawatirkan, Pemerintah Siap Ambil Langkah Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Konsumsi minuman manis atau berpemanis memang cukup tinggi di Indonesia. Dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, sebanyak 47,5 persen responden mengkonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari.
Kemudian, 43,3 persen responden mengkonsumsi minuman manis sebanyak satu sampai enam kali per minggu. Lalu, proporsi responden yang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan hanya 9,2 persen.
Baca juga: 5 Cara Membatasi Asupan Gula untuk Cegah Gagal Ginjal Akut pada Anak
Survei ini juga mencatat 53 persen kebiasaan mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari paling banyak dilakukan pada kelompok usia 5-9 tahun. Posisinya disusul kelompok usia 3-4 tahun (51,4 persen responden) dan 10-14 tahun (50,7 persen responden).
Adapun survei yang digawangi Kementerian Kesehatan itu dilakukan terhadap 315.646 rumah tangga (91,49 persen) dari target 345.000 rumah tangga biasa dan 284.177 (92,60 persen) dari target 306.898 rumah tangga balita. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan. Di tingkat individu, SKI 2023 telah mewawancarai 1,19 juta orang termasuk balita.
Sementara itu, studi tentang sustainability eating index dari Health Collaborative Center (HCC) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 7 dari 10 orang Indonesia di perkotaan tidak berniat mengurangi makanan dan minuman manis, serta bersoda, meskipun mereka tetap memiliki perilaku minum air mineral yang cukup.
Ketua HCC dr. Ray Wagiu Basrowi menyampaikan konsumsi minuman berpemanis, terutama dalam kemasan menjadi faktor risiko serius. Secara konsep kedokteran komunitas, perilaku seperti ini berkorelasi signifikan dengan peningkatan risiko diabetes dan kelebihan berat badan.
“Apalagi fenomena ini diperparah dengan semakin mudahnya masyarakat memperoleh akses minuman berpemanis tanpa label gizi yang jelas,” ujarnya kepada Hypeabis.id baru-baru ini.
Ray menyebut risiko yang paling tampak usai mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), terutama dengan kadar gula cukup tinggi yakni adanya lonjakan kadar gula darah kurang dari 30 menit. Hal ini memicu kondisi yang dikenal dengan insulin spike atau fenomena naiknya kadar hormon insulin agar kadar gula darah yang terlanjur melonjak segera turun.
Bila dikonsumsi terus menerus dan tidak teratur makan, insulin spike bisa menyebabkan sel-sel tubuh terutama dari pankreas, menjadi kurang responsif. “Ini dikenal dengan resistensi insulin yang menjadi awal berkembangnya diabetes,” jelasnya.
Dampak lain adalah yakni terjadinya dehidrasi karena kandungan gula tinggi bisa memicu produksi urine. Bila terjadi dalam jangka panjang, tentu selain penyakit diabetes akibat resistensi insulin, kalori tinggi dalam minuman manis juga meningkatkan risiko obesitas.
Pentingnya Self-Awareness
Spesialis Penyakit Dalam dr. Rudy Kurniawan menerangkan minuman berpemanis dalam kemasan memang menyebabkan risiko diabetes terhadap remaja dan dewasa muda, ditambah sedentary lifestyle dan hidup yang serba instan. “Diabetes makin lama makin bergeser ke usia lebih muda. Sekarang banyak usia 30 dan 20 tahun akhir kena diabetes,” ungkapnya.Selain diabetes dan obesitas, minuman manis juga meningkatkan risiko penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, hingga kanker. Sayangnya kesadaran masyarakat akan efek dari minuman berpemanis dalam kemasan masih terbilang rendah, meskipun telah ada label fakta nutrisi di balik kemasan.
Oleh karena itu, untuk menekan risiko penyakit kronis terutama diabetes maupun obesitas akibat minuman berpemanis, Rudy menekankan perlunya self awareness. “Kalau orang enggak sadar sendiri, susah. Kebiasaan ini sudah mengakar lama,” tegasnya.
Dia mengingatkan bahwa rasa manis hanya datang sementara. Butuh investasi kesehatan jangka panggang dengan menerapkan pola hidup sehat atau memilih menu minuman yang lebih sehat. “Enak, enggak ena, itu cuma mindset. Minuman tidak manis tetap bisa enak,” tambahnya.
Ray sepakat menahan laju peredaran minuman kemasan berpemanis akan sangat sulit saat ini. Sebab, rantai produksinya sudah mencapai tingkat komunitas terbawah yaitu hingga di lingkaran rumah tangga.
Edukasi bahaya gula buatan juga perlu waktu panjang karena terkait perilaku. Ide untuk memberikan label pada minuman berpemanis buatan sangat penting dan bisa dilakukan, agar masyarakat bisa melakukan self-review.
Langkah ini menurutnya sangat efektif di beberapa negara. Paling tidak, orang bisa tahu konsumsi gula hariannya meskipun tidak sangat akurat. Dia menyarankan labeling pemanis buatan di kemasan minuman sebaiknya dibuat dengsn konsep total gula dan jenis gula yang dipakai.
“Edukasi juga tetap harus berjalan paralel. Orientasi yang paling tepat adalah edukasi minum air putih atau air mineral digiatkan,” imbuhnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya terus melakukan edukasi untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Edukasi ini paling utama dilakukan melalui modul pembelajaran di sekolah dan kegiatan Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
Kemenkes juga mendukung rencana agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan labelisasi makanan/minuman sesuai kadar Gula Garam Lemak (GGL) yang dipakai.
Mengutip Bisnis.com, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan bakal menetapkan cukai kepada dua kelompok produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Direktur Teknis dan Fasilitas DJBC Kemenkeu Iyan Rubianto menyampaikan bahwa dua kelompok MBDK yang akan dikenakan cukai, yaitu minuman siap saji dan konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran.
Untuk minuman siap saji, produk yang dikenai cukai diantaranya sari buah kemasan dengan tambahan gula, minuman berenergi, minuman lainnya seperti kopi, teh, minuman berkarbonasi, dan lainnya, serta minuman spesial Asia seperti larutan penyegar.
“Ruang lingkupnya adalah jus buah, sari buah, minuman berenergi, minuman lainnya, seperti kopi dan teh, kopi kalau mengandung gula. kalau tidak mengandung gula ya tidak kena [cukai],” katanya beberapa waktu lalu.
Iyan menjelaskan pengenaan cukai atas sejumlah produk tersebut untuk mengendalikan konsumsi MBDK di masyarakat yang berpotensi menyebabkan obesitas dan diabetes. Pemerintah mencatat, diagnosis diabetes melitus tipe 2 di dalam negeri meningkat 74 persen, dari 5,2 juta pada 2018 menjadi 9,1 juta klaim pada 2022.
Selain itu, total biaya klaim pasien diabetes melitus pada periode 2018 hingga 2022 juga meningkat sebesar 26 persen. dari Rp1,5 triliun menjadi hampir mencapai Rp2 triliun. Iyan mengatakan Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes tertinggi di dunia, yaitu mencapai 19,5 juta orang. Angka penderita diabetes di Indonesia lebih tinggi dari Brasil dan Meksiko, yang masing-masingnya tercatat sebanyak 15,7 juta orang dan 14,1 juta orang.
Jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat signifikan dalam 2 dekade. Pada 2000 baru tercatat sebanyak 5,6 juta orang dan pada 2011 naik menjadi 7,3 juta orang. Tanpa kebijakan pengendalian, International Diabetes Federation memperkirakan penderita diabetes melitus di Indonesia akan mencapai 23,33 juta jiwa pada 2030 dan mencapai 28,57 juta jiwa pada 2045.
Baca juga: Konsumsi Gula Indonesia Mengkhawatirkan, Pemerintah Siap Ambil Langkah Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.