Seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)

Rekam Gestur yang Terabaikan Kala Pandemi Ala Seniman Nindityo Adipurnomo

27 May 2023   |   20:15 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Pagebluk virus Corona saat ini memang sudah terkendali, meskipun belum dinyatakan resmi berlalu. Namun, di balik itu, pandemi juga memunculkan kenyataan yang selama ini mungkin diabaikan oleh banyak orang. Kenyataan itu dicatat oleh seniman Nindityo Adipurnomo dalam karya seni rupa di pameran tunggal bertajuk Rhinolophus Sinicus. 

Dalam pameran yang diadakan di D Gallerie, Jakarta, sang seniman mencatat banyak hal ketika pandemi Covid-19 melanda di dalam negeri, dari gestur sederhana seperti memakai masker sampai kesetaraan gender dan pencemaran lingkungan.

Baca juga: Helga Stenzel, Seniman yang Ubah Jemuran jadi Karya Unik

Sang seniman merekam gestur menggunakan masker dalam karya berjudul Sound of Masker dengan medium colored masker and wooden ball (107x 123 x 10 cm, 2021). Karya ini merupakan gambaran tentang gestur personal dan pengalaman yang dihayati oleh masyarakat yang mengalami perubahan seiring anjuran dari pemerintah.
 

Karya Seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)

Karya Seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)


Di sini sang seniman menyusun masker berwarna-warni sampai menutupi seluruh bidang. Warna-warni masker itu mengubah pandangan dan penilaian para penikmat karya yang mengapresiasinya tentang masker bekas yang digunakan sebagai karya setelah diproses agar menjadi bersih. 

Karya yang akan ditemukan oleh para penikmat seni ketika menungunjungi pameran ini merupakan awal dari karya-karya lain sang seniman yang kemudian berkembang sampai kepada banyak hal.

Seniman yang kerap disapa Nindit itu mengungkapkan bahwa ide awal karya-karya yang terdapat dalam pameran ini berawal dari ketika negara menyampaikan secara resmi tentang pandemi dan keharusan menjalani protokol kesehatan.

Masyarakat memperoleh informasi dari berita bahwa cara paling aman mencegah tertular virus Covid-19 adalah menggunakan masker lantaran dapat mengahalau droplet yang keluar dari seseorang. Kondisi itu pun membuat masker yang pada awalnya tidak populer menjadi rebutan banyak orang dan masker palsu sempat mencuat di tengah masyarakat.

Di antara permintaan tinggi terhadap masker, terdapat inisiatif menarik dari warga yang membuat masker sendiri dengan berbagai warna, motif, dan sebagainya. Diri dan istri yang merasa tidak tega membuang masker yang sudah dipakai memilih untuk menyimpannya. “Apalagi terkandung virus yang saya miliki,” katanya kepada Hypeabis.id.

Masker yang disimpan itu mengalami penumpukan, sehingga membuatnya ditegur oleh asisten rumah tangga. lantas, dia membawa masker itu ke dalam studio dan menemukan sejumlah kenyataan tentang masker. salah satunya adalah tentang sifat masker yang dapat menyerap warna setelah dicuci dan tidak dapat menyerapnya ketika masih baru. 

Tidak hanya itu, dia juga berpikir dan melakukan pengamatan terhadap banyak hal sampai pada akhirnya memutuskan untuk merekam gestur dalam karyanya.  Gestur yang dimaksud bukan sekedar rekam jejak tubuh yang bisa diperagakan.

Gestur itu adalah berupa “rekaman” dari kacamata visual dan hanya bisa muncul dari penonton yang menangkap gagasannya. Dalam menciptakan karya, berbagai pendalaman dilakukan oleh seniman yang pernah menempuh pendidikan formal di Rijksakademie itu, seperti survei, unsur artistik, mencari data secara daring, dan lebih dekat ke lingkungan sehari-hari yang berkaitan dengan unsur gestur sosial politik dari situasi pandemi.

Sementara itu, masker adalah medium yang paling menonjol dalam karya-karya yang berkaitan dengan masa pandemi saat itu dan merupakan upayanya mendekati persoalan yang terkait dengannya. “Bukan mengeksplorasi sampah secara eksotis,” ujarnya.

Salah satu persoalan yang paling menonjol yang ditemui terkait dengan masker adalah tentang disiplin masyarakat terhadap kepatuhan anjuran menggunakannya. Masyarakat di dalam negeri terkesan sangat disiplin karena hampir di semua tempat menggunakannya jika dibandingkan dengan sejumlah negara.
 

Karya Seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)

Karya Seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)



Hanya saja, di balik disiplin menggunakan masker itu, terdapat ketidakdisiplinan dalam protokol kesehatan lainnya, seperti menjaga jarak. Warga kerap lupa dengan jaga jarak ketika sudah menggunakan masker. Tidak hanya itu, mereka juga kerap menurunkan masker yang digunakan ketika menyapa orang lain untuk menunjukkan ekspresinya.

Selain itu, dia menemukan dan merekam bahwa terdapat manusia yang tidak mampu memberikan penghormatan kepada bumi dalam karya berjudul Earth Crown #1 and #2 (2022) dengan medium masker berwarwna dan kayu rotan.

Karya berukuran 100 x 90 x 25 cm setiap karyanya itu menunjukkan bentuk sanggul yang kerap digunakan oleh perempuan. Sanggul merupakan simbol dari mahkota, yang kerap menjadi kebanggan banyak orang sehingga diletakkan di atas kepala. “Tapi manusia merusak bumi [Dengan sampah masker],” katanya.

INTERNALISASI DIRI
Kurator pameran Mira Asriningtyas dan Dito Yuwono (LIR) mengatakan pameran tunggal ini merupakan pencatatan hasil internalisasi sang seniman. Menurutnya, sang seniman melihat persoalan pandemi menjadi jauh lebih kompleks. “Sehari-hari, tapi memiliki kompleksitasnya masing-masing,” katanya.

Mereka menuturkan, pandemi adalah sebuah masalah. Namun, masalah yang berlangsung pada 2020 – 2023 itu berhasil membongkar persoalan-persoalan lain yang mungkin selama ini bisa diabaikan, seperti persoalan gender, kepatuhan, kontribusi manusia kepada lingkungan, potensi perang, dan sebagainya.

Semua persoalan itu muncul secara bersamaan lantaran pandemi Covid-19 yang terjadi di dalam negeri dan juga dunia telah mengekspos semuanya. Persoalan gender sebagai contoh tertuang dalam karya berjudul Pandemic and Women’s Garland #2 dengan medium gouaches, acrylic sawn masks on canvas (140 x 190 x 25 cm) yang dibuat pada 2022, dan Pandemic and Thropy for Men (Men’s Garland) (86 x 220 x 20 cm) dengan medium yang sama.

Mereka menuturkan dunia disusun berdasarkan struktur laki-laki. Dengan begitu, maka kaum adam seolah-olah memiliki kuasa untuk mengatur pakaian perempuan. Persoalan menjadi complicated untuk laki-laki ketika dikenakan aturan atas berpakaian yang nyaris belum pernah dilakukan.  
 

Karya seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)

Karya seniman Nindityo Adipurnomo (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Eusebio Chrysnamurti)



“Kemudian menjadi menarik karena mereka resistaen terhadap aturan itu,” katanya. Berbeda dengan pria, wanita dinilai lebih mudah untuk memahami aturan.

Baca juga: Menengok Profil & Kiprah Seniman Grafis Setiawan Sabana

Dengan hadir di pameran ini, pengunjung akan turut mengurai persoalan-persoalan di dalam kepala yang mungkin selama ini tidak berhasil membicarakannya dengan individu lainnya atau tidak berhasil menginternalisasi ke dalam diri sendiri. Kondisi itu membuat individu perlu datang ke pameran ini atau menjadikan pameran ini dihadirkan bagi masyarakat.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Begini Insentif Perfilman yang Ideal Menurut Pengamat Film Hikmat Darmawan

BERIKUTNYA

5 Tip Padu Padan Busana Oversized yang Modis Sesuai dengan Bentuk Tubuh

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: