Karya Iwan Suastika berjudul (dari kiri ke kanan) The Seed (2022), The Grow (2023), The Fall (2023), dan The Cycle (2023) acrylic on canvas 60 X 50 cm (Sumber foto: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Pameran A Man Who Carried A Mountain: Merefleksikan Kepongahan Manusia terhadap Alam Semesta

22 August 2023   |   14:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Like
Perupa Iwan Suastika kembali menggelar pameran tunggal bertajuk A Man Who Carried A Mountain di D Gallerie, Jakarta. Pemenang Penghargaan Silver Award UOB Painting of the Year 2014 itu menghadirkan 16 karya terbaru, termasuk lukisan dan patung yang fokus pada kritik antroposentrisme.

Antroposentrisme adalah pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Semua makhluk hidup dan benda mati lainnya ada untuk melayani manusia. Pandangan ini telah mengemuka sejak zaman Yunani kuno, dan sudah semakin dominan dalam masyarakat Barat selama berabad-abad.

Baca juga: Kejenakaan & Harmonisasi Kehidupan Ala Seniman Erianto di Pameran Tunggal Collective Chemistry

Bagi Iwan, hubungan antara manusia dan alam semesta memang selalu saling berkaitan. Terutama mengenai paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dibandingkan dengan spesies lain dalam menaklukan alam dengan kesadaran mereka.

Itulah sekiranya yang mewujud dalam belasan karya yang dihadirkan perupa asal Yogyakarta hingga 12 September 2023. Lewat bacaanya terhadap realitas, Iwan seolah merepresentasikan fenomena perubahan lingkungan alam dan sosial yang kian antroposentrik. 

Hal itu misalnya terejawantah dalam karya berjudul Carrier (2023). Lukisan berdimensi 70 X 70 cm menggunakan media akrilik di atas kanvas itu menggambarkan sosok astronot yang menggendong gunung sambil tangannya memegang lilin dan akar yang tertancap di bulan.
 

Karya Iwan Suastika berjudul Carrier (sumber gambar Prasetyo Agung Ginanjar)

Karya Iwan Suastika berjudul Carrier (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Berbagai idiom seperti jam, tiga figur manusia dengan berbagai ekspresi, dan ombak lautan juga mengambang mengelilingi mereka. Sekilas, ironi juga tampil dalam ekspresi figur serta kekacauan harmoni yang dibangun sang seniman.

Selain itu ada pula karya berjudul The Mortal (2022) di mana manusia digambarkan berada di depan, menonjol dibandingkan dengan spesies non manusia lain. Bahkan dengan lugas sang seniman menuliskan kalimat We Are the Universe, yang seolah menjadi awal mula kisah antroposen.

Dalam lukisan berukuran 170 X 200 cm itu Iwan juga menampilkan metafora sekaligus simbol yang acak. Beberapa di antaranya termasuk pena yang terbakar, gunung dalam genggaman yang mengisyaratkan alam dalam kendali manusia, hingga plakat berbahaya yang dikenakan sang astronot.

Menurut Iwan, hubungan manusia dan alam memang selalu menarik untuk dipelajari. Terlebih lewat hasrat mereka yang menganggap dirinya sebagai puncak dari tatanan di alam semesta. Namun, manusia lupa bahwa mereka merupakan bagian dari alam semesta itu sendiri.
 

Sejumlah karya Iwan Suastika  di pameran  The Man Who Carried A Mountain  (sumber gambar Prasetyo Agung Ginanjar)

Sejumlah karya Iwan Suastika di pameran The Man Who Carried A Mountain (sumber gambar Prasetyo Agung Ginanjar)

Iwan menuturkan, jika melihat mundur ke masa lalu, alam semesta sebenarnya sudah memiliki pola yang lekat untuk memperbarui kenyataan. Termasuk menghancurkan sekaligus menyembuhkan, hingga kemudian menyusun dirinya lagi menjadi sebuah esensi baru. 

Dalam sejarahnya, manusia selalu berupaya mengakali pola tersebut dengan berbagai cara, sehingga terlahirlah peradaban-peradaban hingga produk kebudayaan yang terus berkembang. Hal itulah yang menjadikan manusia bisa bertahan sampai sekarang.

"Lewat pameran ini  manusia saya simbolkan sebagai pembawa tanggung jawab besar. Segala tindak tanduknya akan tercatat selamanya di alam, bahkan berpengaruh terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang," katanya.

Lalu ada juga karya bertajuk Battle of Mind (2023) di mana sang astronot ditampilkan sedang bercermin. Uniknya, refleksi yang ditampilkan tampak berwarna, padahal sosok yang tengah bercermin itu hadir dalam keadaan monokrom, bersama objek papan catur yang juga tampil sama.

"Ketika mencoba melihat dirinya sendiri, dia melihat pantulan alam di dirinya. Manusia penuh ambisi dilukiskan tanpa warna, oleh karena itu dia seolah tidak mengenal jati dirinya," imbuhnya.

Kurator pameran Ignatia Nilu mengatakan, lewat narasi dan corak visual surealistik, Iwan memang sedang menggarap ruang artistik yang liar. Kanvas telah menjadi mantra semesta atas mimpi dan harapannya terhadap dunia yang lebih baik kedepannya.

Menurutnya, secara personal sang seniman juga seolah sedang menyatakan kesadarannya terhadap pergeseran nilai di masa kini. Khususnya nilai dan metode edukasi dalam memahami kehidupan, terutama mengenai babak baru yang berpengaruh besar terhadap cetak biru manusia-manusia masa depan.

"Iwan Suastika ingin menggambarkan keadaan sekitar yang dilihat maupun dialaminya melalui banyak idiom, simbol dan metafora. Termasuk  narasi identitas serta imajinasi apa yang sekiranya terjadi di hari-hari ini," katanya.

Baca juga: Seniman Farhan Siki Menangi Ajang UOB Painting of the Year Indonesia 2022

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Mengenal eSAF, Rangka Motor yang Diklaim Ringan & Irit Bensin

BERIKUTNYA

Viral di Media Sosial, Begini Asal Usul Festival Pacu Jalur yang Sudah Ada Sejak Abad ke-17

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: