Isu yang sering muncul soal repatriasi adalah kesiapan bangsa Indonesia menjamin hasil repatriasi dari negara-negara di Eropa. (sumber gambar: Unsplash/Sohaib Al Kharsa)

Jadi Isu besar di Kalangan Akademisi, Begini Tantangan Repatriasi Naskah Kuno Indonesia-Belanda

18 July 2024   |   19:26 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk merepatriasi naskah-naskah kuno yang saat ini berada di Belanda. Pemerintah  melalui kerjasama antar kedua negara juga telah berhasil mengembalikan sejumah artefak bersejarah, termasuk naskah-naskah kuno.

Sejauh ini pemerintah Indonesia telah mengajukan delapan klaster objek bersejarah untuk dikembalikan, termasuk beberapa naskah kuno yang sangat bernilai. Kendati begitu, sejumlah tantangan masih dihadapi oleh ekosistem terkait untuk mengembalikan naskah-naskah kuno di Eropa.

Baca juga:  Benda Bersejarah Hasil Repatriasi Amerika-Indonesia Kini Sudah Diverifikasi

Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, Perpusnas, Mariana Ginting mengatakan, salah satu isu yang sering muncul soal repatriasi adalah kesiapan bangsa Indonesia untuk menjamin hasil repatriasi dari negara-negara di Eropa.

Sebagai salah satu tempat yang menyimpan naskah kuno, dia menyatakan bahwa perpustakaan nasional siap untuk menampung naskah-naskah Nusantara. Sebab, lembaga yang berdiri pada 27 November 1860 itu sejak mula memang banyak menyimpan naskah-naskah asli Nusantara.

Pada 1998  jumlah naskah di perpusnas hanya berjumlah 9.870 naskah, yang terdiri dari koleksi warisan sejak zaman kolonial. Namun, jumlah tersebut meningkat tajam menjadi 10.751 eksemplar pada 2014, hingga pada 2023  perpusnas telah memiliki sebanyak 12.730 eksemplar naskah kuno.

Tak hanya itu, selama satu tahun terakhir Perpusnas juga telah mengakuisisi 536 naskah dari Yayasan Ngariksa. Menurutnya itu merupakan akuisisi tertinggi yang telah dilakukan Perpusnas. Capian tersebut juga tidak akan terjadi berkat kerja sama dari berbagai pihak, terutama atas dukungan Profesor Oman Fathurrahman.

"Artinya dalam dua dekade terjadi kenaikan koleksi naskah kuno di Perpusnas telah naik 29 persen, dan jumlah koleksi yang diwariskan sejak zaman kolonial, jika dirata-ratakan Perpusnas telah mengakuisisi naskah sebanyak 219 naskah dalam satu tahun," katanya dalam Seminar Nasional Repatriasi Naskah Kuno, di Perpusnas pada Kamis, (18/7/24).
 
 


Selaras, Ketua Yayasan Kejora Anak Negeri, Erwin Dimas mengatakan, selain pola perawatan, ada tantangan lain yang dihadapi ekosistem terkait. Yaitu identifikasi, preservasi hingga pemanfaatan naskah tersebut bagi masyarakat luas, seturut dengan aktualisasi zaman.

Baca juga: Pameran Repatriasi Siap Digelar, Tampilkan Lebih dari 150 Artefak Sejarah Nusantara di Galeri Nasional

Momen tersebut terefleksi saat timnya ingin mengidentifikasi naskah-naskah kuno di Tanah Air. Salah satunya naskah Adabu L-Fata, yang berisi tentang catatan-catatan Adab di Melayu. Ada juga naskah tentang pengobatan-pengobatan di tradisional di Lingga, Aceh yang tidak banyak publik tahu berjudul Taju L-Muluk.

Naskah lain yang saat ini sedang mereka teliti adalah Kitab Tuan Guru  Sapat dari Banjar yang menurutnya tersebar di banyak tempat, meski jarang dikaji oleh publik. "Selain tiga buku itu sebenarnya masih banyak yang harus kita kaji lagi, ini membutuhkan kolaborasi dari semua pihak, "katanya.

Sementara itu Prof. Dr. Oman Fathurrahman, mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki tim komite repatriasi di Kemendikbud, yang dibentuk pada 2021. Tim tersebut menurut Oman telah berhasil mengembalikan 472 artefak dari Belanda ke Indonesia, yang sebagian besar dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia.

Oman menuturkan, dalam sejarahnya Indonesia telah menyampaikan tuntutannya pada negara kolonial Belanda untuk mengembalikan naskah-naskah kuno Nusantara yang dijarah ke Tanah Air. Yaitu saat Mohamad Yamin menjabat sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada 1951. 

"Dalam repatriasi itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. salah satunya praktik yang disebut historical injustice (perampasan/perampokan). Praktik ini sudah sejak 1950-an dikaji mana yang dirampas dan yang tidak, serta yang boleh dikembalikan ke Tanah Air," katanya.

Selain itu yang menentukan terjadinya repatriasi adalah political will atau kemauan politik antar dua negara. Sebab, di Belanda sendiri tidak hanya 'satu suara' terkait kebijakan repatriasi, di mana sebagian anggota parlemen ada yang tidak setuju mengenai program repatriasi.

Dia menjelaskan, sebenarnya sudah ada riset daftar manuskrip jarahan  yang diambil Belanda. Namun, ada beberapa prioritas yang terlebih dulu dilakukan selain naskah. Oleh karena itu peran Perpusnas sangat dibutuhkan, karena saat ini juga memiliki program pengarusutamaan naskah Nusantara.

"Dalam proses repatriasi yang terjadi tahun lalu, sayangnya manuskrip itu belum masuk [dalam skala prioritas]. Padahal dari Pura Cakranegara, di Lombok yang dijarah saat itu ada [sejumlah] manuskrip," jelasnya.

 

Baca Juga: 1 Benda Bersejarah yang Dikembalikan Amerika Diduga Cerita Panji Masa Kadiri-Majapahit
 
Editor: Puput Ady Sukarno

SEBELUMNYA

JMFW 2025: Tingkatkan Transaksi Dagang dan Perkuat Posisi Indonesia di Pasar Modest Fashion Global

BERIKUTNYA

Catat! Ini Daftar Denda Operasi Patuh Jaya 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: