Begini Kata Ahli Tentang Tantangan dan Peluang Bisnis Konsultan Pajak di Indonesia
17 July 2024 |
21:30 WIB
Tren pertumbuhan bisnis konsultan pajak menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Adanya perubahan regulasi pajak, pertumbuhan ekonomi dan bisnis, serta meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pajak semakin membuat industri ini bergeliat.
Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ruston Tambunan mengatakan, meski bisnis konsultan perpajakan memiliki peluang bagus, tapi ketersediaan ahli pajak di Indonesia yang mempunyai izin praktik dan terdaftar di Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan masih terbatas.
Baca juga: Teknologi AI Kian Masif, Begini Peluang Jasa Konsultan IT pada Era Disrupsi
Secara umum, jumlah konsultan pajak yang terdaftar hanya sebanyak 5.589 (2020) dan meningkat hingga sekitar 6.500 (2023) yang mayoritas bekerja sebagai otoritas pajak. Jumlah tersebut menurutnya juga masih jauh dari ideal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Sebagai ilustrasi, di Belanda, perbandingan jumlah konsultan pajak dengan jumlah penduduk adalah 1: 1.500, dan Inggris 1: 4.300. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara Jepang yang penduduknya kurang dari separuh penduduk Indonesia, jumlah konsultan pajaknya 12 kali lipat lebih banyak dari konsultan pajak di Tanah Air.
Terbatasnya jumlah konsultan pajak, menurut Ruston karena penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi Konsultan Pajak sempat lowong. Ini bermula sejak pembinaan dan pengawasan Konsultan Pajak beralih dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ke PPPK.
"Di Jepang jumlah konsultan pajak adalah sekitar 82.000 orang atau 1 banding 1.550 penduduk. Sedangkan di Indonesia baru sekitar 6.500 orang, atau 1 banding 40.000 penduduk," katanya.
Selaras, Owner Ekklesia Daya Utama, Eduardus Utomo mengatakan, selain pertumbuhan ekonomi, teknologi digital menurutnya juga memicu perkembangan bisnis konsultan pajak di Tanah Air. Ini terlihat dari industri digital yang banyak membuka keran-keran industri baru, seperti monetisasi digital YouTube, dan Meta.
Namun, momen ini menurutnya juga bisa menjadi tantangan baru bagi konsultan pajak. Sebab, teknologi artificial intelligence (AI) ditengarai bakal menggerus praktik bisnis ini. Terlebih bagi konsultan pajak konservatif yang hanya memenuhi keinginan klien berdasarkan daya pemenuhan administrasi pajak semata, alih-alih melakukan analisa.
"Ke depan, mungkin akan berkembang lagi teknologi AI di mana mereka bisa menjawab kasus yang dihadapi wajib pajak berdasarkan basis data mengenai pola-pola wajib pajak berikut solusinya," tuturnya.
Director Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji mengatakan kebutuhan jasa konsultan pajak memang meningkat seiring Waktu. Salah satunya saat wajib pajak menghadapi kesulitan untuk memahami implikasi dari berbagai perubahan peraturan perpajakan terhadap kegiatan usaha mereka.
Kendati begitu, pada era digital yang ditandai dengan data terintegrasi, transparan, otomatis, dan real time, otoritas pajak hanya menjadi salah satu bagian dari ekosistem perpajakan. Oleh karena itu peran pihak ketiga, khususnya konsultan pajak, dalam hal ini bakal semakin dibutuhkan masyarakat.
Menurut Bawono, setidaknya ada tiga cara untuk menanggulangi tantangan tersebut. Pertama dengan meningkatkan jumlah profesi konsultan pajak yang ideal dan berkualitas. Namun pola ini seharusnya tidak dipahami sebagai cara untuk melakukan penyaringan secara ketat (filterisasi) atas siapa yang memiliki kualifikasi sebagai konsultan pajak.
"Pola yang saya maksud adalah lebih menekankan kepada mekanisme pengawasan serta jaminan kualitas profesi konsultan pajak yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi,"katanya.
Kedua, kehadiran pengaturan profesi konsultan pajak perlu turut menciptakan sistem perpajakan yang efisien dan memiliki biaya kepatuhan (cost of compliance) yang rendah. Sebab, atas nama kepentingan publik, pengaturan tentang konsultan pajak sedapat mungkin juga condong kepada pengaturan yang bersifat monopoli.
Ketiga, sebagai profesi officium nobile atau mulia, konsultan pajak tidak hanya menjalankan kegiatan komersial, melainkan juga kegiatan sosial. "Termasuk meningkatkan edukasi dan literasi, membentuk masyarakat sadar pajak, mendorong kepatuhan, serta turut berkontribusi bagi penerimaan pajak," jelasnya.
Baca juga: Minat Studi ke Luar Negeri Meningkat, Jasa Konsultan Kian Diburu Masyarakat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ruston Tambunan mengatakan, meski bisnis konsultan perpajakan memiliki peluang bagus, tapi ketersediaan ahli pajak di Indonesia yang mempunyai izin praktik dan terdaftar di Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan masih terbatas.
Baca juga: Teknologi AI Kian Masif, Begini Peluang Jasa Konsultan IT pada Era Disrupsi
Secara umum, jumlah konsultan pajak yang terdaftar hanya sebanyak 5.589 (2020) dan meningkat hingga sekitar 6.500 (2023) yang mayoritas bekerja sebagai otoritas pajak. Jumlah tersebut menurutnya juga masih jauh dari ideal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Sebagai ilustrasi, di Belanda, perbandingan jumlah konsultan pajak dengan jumlah penduduk adalah 1: 1.500, dan Inggris 1: 4.300. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara Jepang yang penduduknya kurang dari separuh penduduk Indonesia, jumlah konsultan pajaknya 12 kali lipat lebih banyak dari konsultan pajak di Tanah Air.
Terbatasnya jumlah konsultan pajak, menurut Ruston karena penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi Konsultan Pajak sempat lowong. Ini bermula sejak pembinaan dan pengawasan Konsultan Pajak beralih dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ke PPPK.
"Di Jepang jumlah konsultan pajak adalah sekitar 82.000 orang atau 1 banding 1.550 penduduk. Sedangkan di Indonesia baru sekitar 6.500 orang, atau 1 banding 40.000 penduduk," katanya.
Selaras, Owner Ekklesia Daya Utama, Eduardus Utomo mengatakan, selain pertumbuhan ekonomi, teknologi digital menurutnya juga memicu perkembangan bisnis konsultan pajak di Tanah Air. Ini terlihat dari industri digital yang banyak membuka keran-keran industri baru, seperti monetisasi digital YouTube, dan Meta.
Namun, momen ini menurutnya juga bisa menjadi tantangan baru bagi konsultan pajak. Sebab, teknologi artificial intelligence (AI) ditengarai bakal menggerus praktik bisnis ini. Terlebih bagi konsultan pajak konservatif yang hanya memenuhi keinginan klien berdasarkan daya pemenuhan administrasi pajak semata, alih-alih melakukan analisa.
"Ke depan, mungkin akan berkembang lagi teknologi AI di mana mereka bisa menjawab kasus yang dihadapi wajib pajak berdasarkan basis data mengenai pola-pola wajib pajak berikut solusinya," tuturnya.
Tingkatkan Jumlah Profesi
Director Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory, Bawono Kristiaji mengatakan kebutuhan jasa konsultan pajak memang meningkat seiring Waktu. Salah satunya saat wajib pajak menghadapi kesulitan untuk memahami implikasi dari berbagai perubahan peraturan perpajakan terhadap kegiatan usaha mereka.Kendati begitu, pada era digital yang ditandai dengan data terintegrasi, transparan, otomatis, dan real time, otoritas pajak hanya menjadi salah satu bagian dari ekosistem perpajakan. Oleh karena itu peran pihak ketiga, khususnya konsultan pajak, dalam hal ini bakal semakin dibutuhkan masyarakat.
Menurut Bawono, setidaknya ada tiga cara untuk menanggulangi tantangan tersebut. Pertama dengan meningkatkan jumlah profesi konsultan pajak yang ideal dan berkualitas. Namun pola ini seharusnya tidak dipahami sebagai cara untuk melakukan penyaringan secara ketat (filterisasi) atas siapa yang memiliki kualifikasi sebagai konsultan pajak.
"Pola yang saya maksud adalah lebih menekankan kepada mekanisme pengawasan serta jaminan kualitas profesi konsultan pajak yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi,"katanya.
Kedua, kehadiran pengaturan profesi konsultan pajak perlu turut menciptakan sistem perpajakan yang efisien dan memiliki biaya kepatuhan (cost of compliance) yang rendah. Sebab, atas nama kepentingan publik, pengaturan tentang konsultan pajak sedapat mungkin juga condong kepada pengaturan yang bersifat monopoli.
Ketiga, sebagai profesi officium nobile atau mulia, konsultan pajak tidak hanya menjalankan kegiatan komersial, melainkan juga kegiatan sosial. "Termasuk meningkatkan edukasi dan literasi, membentuk masyarakat sadar pajak, mendorong kepatuhan, serta turut berkontribusi bagi penerimaan pajak," jelasnya.
Baca juga: Minat Studi ke Luar Negeri Meningkat, Jasa Konsultan Kian Diburu Masyarakat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.