Sejarah & Makna Bubur Asyura, Dihidangkan Tiap 10 Muharam
17 July 2024 |
12:34 WIB
Asyura merupakan salah satu hari penting dalam ajaran umat Islam. Hari Asyura diperingati setiap tanggal 10 Muharam dalam kalender Hijriah, yang tahun ini jatuh pada 16 Juli 2024, sebagaimana menurut perhitungan Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2024 yang dibuat Kementerian Agama RI.
Ada banyak ibadah sunah yang biasanya dilakukan oleh umat Islam pada 10 Muharam, seperti puasa, sedekah, menyantuni anak yatim, hingga memakai celak. Di beberapa daerah di Indonesia khususnya masyarakat Jawa, ada juga tradisi memasak bubur Asyura kemudian membagikannya ke tetangga dan orang-orang sekitar.
Baca juga: Cara Mudah Membuat Bubur Sumsum yang Lembut & Enak
Bubur Asyura atau dikenal juga dengan sebutan Bubur Suro, adalah bubur yang terbuat dari berbagai macam biji-bijian, mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan lainnya. Semua bahan itu dimasak menjadi bubur, kemudian dimakan bersama keluarga, juga dibagikan kepada anak-anak yatim, orang tidak mampu, atau orang yang sedang berpuasa.
Bubur Asyura biasanya banyak dijumpai di beberapa wilayah di Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Solo dan Semarang, serta Yogyakarta.
Selain disantap bersama keluarga dan kerabat terdekat, bubur Asyura menjadi salah satu sajian yang sering dibagikan secara massal di masjid-masjid sebagai wujud sedekah dan berbagi rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan.
Nabi Nuh dan kaumnya kemudian mendarat di Bukit Judi tepat pada 10 Muharam atau Hari Asyura. Begitu mendarat, Nabi Nuh meminta kepada umatnya yang ada di kapal untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan.
Kala itu, di dalam kapal tersebut ada yang membawa beras, gandum, jagung, dan biji-bijian. Semua bahan itu merupakan sisa-sisa persediaan makanan yang dikonsumsi di kapal, setelah melakukan perjalanan selama 150 hari. Nabi Nuh pun meminta kepada umatnya untuk memasak semua bahan tersebut, sebagai bentuk syukur lantaran telah diberikan pertolongan oleh Allah bisa mendarat dengan selamat.
Sisa bahan-bahan makanan tersebut kemudian dikumpulkan dan dimasak menjadi satu hingga berupa bubur. Hal itu dilakukan agar sisa makanan yang ada cukup untuk dikonsumsi oleh Nabi Nuh dan umatnya. Lalu, untuk mengenang peristiwa itu, muncullah tradisi membuat bubur Asyura tiap 10 Muharam.
Dengan demikian, tradisi membuat bubur Asyura bukan merupakan salah satu hal klenik. Tradisi ini mengacu pada sejarah peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh dan umatnya, yang tercantum dalam sejumlah kitab yakni kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267, kitab Badai’ al-Zuhur karya Shaikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafy, dan kitab Nihayatuz Zain 196.
Menurut pemerhati budaya Jawa, Arie Novan, seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya, bubur Asyura merupakan lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
“Konon ini kan sudah ada sejak Sultan Agung bertahta di Jawa, terlepas dari apapun itu tentu bubur Suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan rezeki yang diberikan Allah SWT kepada mereka,” ujarnya.
Sementara itu, menukil laman Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, Bubur Asyura juga dianggap sebagai uba rampe atau alat untuk memaknai 10 Suro. Sajian ini memiliki makna rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebagai persembahan dan doa untuk meminta rezeki, kesehatan yang berlimpah, dan keselamatan hidup untuk mereka yang melakukan ritual atau doa. Tidak hanya itu, penyajian bubur Suro juga umumnya berkaitan dengan meninggalnya Sheikh Hasan dan Husen.
Bubur Asyura biasanya terbuat dari beras, santan, garam, jahe, dan serai, yang disajikan dengan lauk lain seperti opor ayam atau sayur bumbu kuning lainnya dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Sementara di atasnya ditaburi dengan serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima.
Selain itu, dihidangkan pula tujuh jenis kacang yakni kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor, di mana sebagian kacang ada yang digoreng dan ada yang direbus. Kehadiran tujuh kacang itu melambangkan tujuh hari dalam satu minggu, sekaligus bentuk doa agar selalu diberi berkah dan kelancaran dalam hidup setiap harinya.
Selain tujuh jenis kacang, biasanya ada juga suwiran jeruk Bali dan buah delima ditaburkan di atas sajian bubur untuk menambah rasa asam yang unik. Termasuk, tambahan berupa irisan timun dan beberapa lembar daun kemangi.
Sebagai uba rampe, bubur suro juga disajikan dengan uba rampe lainnya berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Kehadiran sirih lengkap melengkapi asal-usul dan penghormatan atau pengenangan masyarakat kepada orang tua dan para leluhur, khususnya yang telah menjaga mereka.
Sirih lengkap akan diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga yang selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual perlintasan Jawa dengan makna yang sama. Sementara untuk kembar mayang terdiri dari dua vas bunga yang masing-masing berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Tak hanya di Indonesia, bubur Asyura juga menjadi tradisi di Turki yang dikenal dengan Ashure. Menukil Food Republic, mengacu pada historisnya dari peristiwa Nabi Nuh dan kaumnya, bagi masyarakat Turki, Ashure melambangkan kelangsungan hidup, kesehatan, kelimpahan, dan perayaan.
Masyarakat Turki biasanya menyiapkan Ashure dalam mangkuk kecil, menyimpan sebagian puding untuk diri mereka sendiri dan membagikan sisanya kepada teman, keluarga, dan orang-orang sekitar. Sama seperti di Indonesia, Ashure juga biasanya dimasak sebagai perayaan Hari Asyura.
Baca juga: Resep Bubur Kampiun Khas Sumatra Barat, Inspirasi Menu Takjil untuk Buka Puasa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Ada banyak ibadah sunah yang biasanya dilakukan oleh umat Islam pada 10 Muharam, seperti puasa, sedekah, menyantuni anak yatim, hingga memakai celak. Di beberapa daerah di Indonesia khususnya masyarakat Jawa, ada juga tradisi memasak bubur Asyura kemudian membagikannya ke tetangga dan orang-orang sekitar.
Baca juga: Cara Mudah Membuat Bubur Sumsum yang Lembut & Enak
Bubur Asyura atau dikenal juga dengan sebutan Bubur Suro, adalah bubur yang terbuat dari berbagai macam biji-bijian, mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan lainnya. Semua bahan itu dimasak menjadi bubur, kemudian dimakan bersama keluarga, juga dibagikan kepada anak-anak yatim, orang tidak mampu, atau orang yang sedang berpuasa.
Bubur Asyura biasanya banyak dijumpai di beberapa wilayah di Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Solo dan Semarang, serta Yogyakarta.
Selain disantap bersama keluarga dan kerabat terdekat, bubur Asyura menjadi salah satu sajian yang sering dibagikan secara massal di masjid-masjid sebagai wujud sedekah dan berbagi rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sejarah Bubur Asyura
Tradisi membuat bubur Asyura telah ada sejak zaman Nabi Nuh AS. Melansir NU Online, tradisi membuat bubur suro adalah untuk memperingati mendaratnya kapal Nabi Nuh. Kala itu, Nabi Nuh dan umatnya diberi bencana oleh Allah SWT berupa banjir bandang, dan membuat kapal Nabi Nuh terapung di atas air selama 150 hari.Nabi Nuh dan kaumnya kemudian mendarat di Bukit Judi tepat pada 10 Muharam atau Hari Asyura. Begitu mendarat, Nabi Nuh meminta kepada umatnya yang ada di kapal untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan.
Kala itu, di dalam kapal tersebut ada yang membawa beras, gandum, jagung, dan biji-bijian. Semua bahan itu merupakan sisa-sisa persediaan makanan yang dikonsumsi di kapal, setelah melakukan perjalanan selama 150 hari. Nabi Nuh pun meminta kepada umatnya untuk memasak semua bahan tersebut, sebagai bentuk syukur lantaran telah diberikan pertolongan oleh Allah bisa mendarat dengan selamat.
Sisa bahan-bahan makanan tersebut kemudian dikumpulkan dan dimasak menjadi satu hingga berupa bubur. Hal itu dilakukan agar sisa makanan yang ada cukup untuk dikonsumsi oleh Nabi Nuh dan umatnya. Lalu, untuk mengenang peristiwa itu, muncullah tradisi membuat bubur Asyura tiap 10 Muharam.
Dengan demikian, tradisi membuat bubur Asyura bukan merupakan salah satu hal klenik. Tradisi ini mengacu pada sejarah peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh dan umatnya, yang tercantum dalam sejumlah kitab yakni kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267, kitab Badai’ al-Zuhur karya Shaikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafy, dan kitab Nihayatuz Zain 196.
Makna Bubur Asyura
Mengutip dari situs Portal Informasi Indonesia, awalnya bubur Asyura untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro yang bertepatan dengan 1 Muharam. Kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung kala itu mengacu pada kalender Hijriah.Menurut pemerhati budaya Jawa, Arie Novan, seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya, bubur Asyura merupakan lambang rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
“Konon ini kan sudah ada sejak Sultan Agung bertahta di Jawa, terlepas dari apapun itu tentu bubur Suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan rezeki yang diberikan Allah SWT kepada mereka,” ujarnya.
Sementara itu, menukil laman Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, Bubur Asyura juga dianggap sebagai uba rampe atau alat untuk memaknai 10 Suro. Sajian ini memiliki makna rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebagai persembahan dan doa untuk meminta rezeki, kesehatan yang berlimpah, dan keselamatan hidup untuk mereka yang melakukan ritual atau doa. Tidak hanya itu, penyajian bubur Suro juga umumnya berkaitan dengan meninggalnya Sheikh Hasan dan Husen.
Bubur Asyura biasanya terbuat dari beras, santan, garam, jahe, dan serai, yang disajikan dengan lauk lain seperti opor ayam atau sayur bumbu kuning lainnya dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Sementara di atasnya ditaburi dengan serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima.
Selain itu, dihidangkan pula tujuh jenis kacang yakni kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor, di mana sebagian kacang ada yang digoreng dan ada yang direbus. Kehadiran tujuh kacang itu melambangkan tujuh hari dalam satu minggu, sekaligus bentuk doa agar selalu diberi berkah dan kelancaran dalam hidup setiap harinya.
Selain tujuh jenis kacang, biasanya ada juga suwiran jeruk Bali dan buah delima ditaburkan di atas sajian bubur untuk menambah rasa asam yang unik. Termasuk, tambahan berupa irisan timun dan beberapa lembar daun kemangi.
Sebagai uba rampe, bubur suro juga disajikan dengan uba rampe lainnya berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Kehadiran sirih lengkap melengkapi asal-usul dan penghormatan atau pengenangan masyarakat kepada orang tua dan para leluhur, khususnya yang telah menjaga mereka.
Sirih lengkap akan diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga yang selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual perlintasan Jawa dengan makna yang sama. Sementara untuk kembar mayang terdiri dari dua vas bunga yang masing-masing berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.
Tak hanya di Indonesia, bubur Asyura juga menjadi tradisi di Turki yang dikenal dengan Ashure. Menukil Food Republic, mengacu pada historisnya dari peristiwa Nabi Nuh dan kaumnya, bagi masyarakat Turki, Ashure melambangkan kelangsungan hidup, kesehatan, kelimpahan, dan perayaan.
Masyarakat Turki biasanya menyiapkan Ashure dalam mangkuk kecil, menyimpan sebagian puding untuk diri mereka sendiri dan membagikan sisanya kepada teman, keluarga, dan orang-orang sekitar. Sama seperti di Indonesia, Ashure juga biasanya dimasak sebagai perayaan Hari Asyura.
Baca juga: Resep Bubur Kampiun Khas Sumatra Barat, Inspirasi Menu Takjil untuk Buka Puasa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.