Sejarah dan Makna Bubur Suro, Makanan Utama khas Tahun Baru Islam
30 July 2022 |
10:25 WIB
Selama berabad-abad, perayaan Tahun Baru Islam yang jatuh pada 1 Muharam dalam kalender Hijriah disertai dengan berbagai tradisi. Salah satunya adalah menyantap Bubur Suro yang merupakan makanan yang wajib hadir dalam jamuan perayaan pergantian tahun ini.
Melansir Indonesia.go.id, bubur Suro awalnya diperkenalkan sebagai makanan yang bertujuan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa yang menggunakan bulan Suro. Kalender Jawa sendiri diterbitkan pada masa pemerintahan Sultan Agung dengan acuan pada kalender Hijriah.
Versi sejarah lain menyebutkan bubur Suro digunakan untuk memperingati masa-masa Nabi Nuh selamat dari banjir bear yang melanda dunia yang berlangsung selama kurang lebih 40 hari. Kini, bubur Suro memiliki makna sebagai bagian dari ritual atau tradisi tahunan yang sudah diselenggarakan secara turun temurun.
Baca juga: Mengenal Escargot, Bekicot Ala Prancis yang Jadi Hidangan Berkelas
Dikutip dari Dinas Pariwisata Kabupaten Demak dan Sweet Trip, kehadiran makanan ini bisa ditelisik pada fungsinya sebagai uba rampe atau alat untuk memaknai 10 Suro. Disajikan pada malam menjelang 10 Suro atau hari ke-10 dalam kalender Jawa, hari penyajiannya bertepatan dengan 10 Muharam dalam kalender Hijriah.
Selain sebagai uba rampe, bubur Suro juga memiliki makna rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebagai persembahan dan doa untuk meminta rezeki, kesehatan yang berlimpah, dan keselamatan hidup untuk mereka yang melakukan ritual atau doa. Tidak hanya itu, penyajian bubur Suro juga umumnya berkaitan dengan meninggalnya Sheikh Hasan dan Husen.
Saat malam menjelang 10 Suro di kawasan Yogyakarta, makanan yang dibuat dengan santan dan ragam rempah itu dihidangkan dengan beberapa uba rampe lain seperti sirih lengkap, kembar mayang, dan satu keranjang berisi buah-buahan. Sirih lengkap ini memiliki makna sebagai asal-usul dan penghormatan kepada orang tua dan para leluhur.
Nantinya, sirih lengkap akan ditaruh dalam sebuah bokor berbahan kuningan atau tembaga yang biasa digunakan dalam ritual perlintasan khas Jawa dengan makna serupa. Lalu, kembang matang biasanya digambarkan sebagai dua vas bunga dengan tujuh bunga mawar merah, tujuh bunga mawar putih, tujuh rangkaian bunga melati, dan tujuh lembar daun pandan pada masing-masing vas.
Makanan ini disajikan dengan beberapa bahan yaitu bubur beras putih, opor ayam, sambal goreng labu siam, jeruk bali, bulir-bulir buah delima, tujuh jenis kacang, dan irisan timur serta beberapa lembar daun kemangi. Dikutip dari buku Perayaan 1 Suro Pulau Jawa milik Julie Indah Rini, versi lain bubur ini memiliki kedelai hitam, telur ayam kampung, serundeng kelapa, dan rujak degan.
Beberapa makanan pelengkap ini memiliki makna. Bubur Suro memiliki tujuh kacang yang digunakan yaitu kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor dengan pengolahan direbus atau digoreng. Tujuh jenis kacang ini menggambarkan tujuh hari dalam satu pekan.
Lalu, makna lain yang tertera adalah bubur melambangkan kesucian jalan hidup, kedelai hitam goreng sebagai lambang watak yang senantiasa setia dan berbuat baik, dan irisan telur ayam kampung sebagai lambang hal yang berbeda. Semua lauk ini menjadi simbol dari hidup yang berkesinambungan dan bermasyarakat.
Tidak hanya dua lauk ini, ada juga serundeng sebagai representasi filosofi pohon kelapa yang mudah beradaptasi dan berguna bagi masyarakat dan rujak degan sebagai makna agar manusia bisa menjalankan hidup secara sungguh-sungguh dan penuh antusias.
Editor: Nirmala Aninda
Melansir Indonesia.go.id, bubur Suro awalnya diperkenalkan sebagai makanan yang bertujuan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa yang menggunakan bulan Suro. Kalender Jawa sendiri diterbitkan pada masa pemerintahan Sultan Agung dengan acuan pada kalender Hijriah.
Versi sejarah lain menyebutkan bubur Suro digunakan untuk memperingati masa-masa Nabi Nuh selamat dari banjir bear yang melanda dunia yang berlangsung selama kurang lebih 40 hari. Kini, bubur Suro memiliki makna sebagai bagian dari ritual atau tradisi tahunan yang sudah diselenggarakan secara turun temurun.
Baca juga: Mengenal Escargot, Bekicot Ala Prancis yang Jadi Hidangan Berkelas
Dikutip dari Dinas Pariwisata Kabupaten Demak dan Sweet Trip, kehadiran makanan ini bisa ditelisik pada fungsinya sebagai uba rampe atau alat untuk memaknai 10 Suro. Disajikan pada malam menjelang 10 Suro atau hari ke-10 dalam kalender Jawa, hari penyajiannya bertepatan dengan 10 Muharam dalam kalender Hijriah.
Selain sebagai uba rampe, bubur Suro juga memiliki makna rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebagai persembahan dan doa untuk meminta rezeki, kesehatan yang berlimpah, dan keselamatan hidup untuk mereka yang melakukan ritual atau doa. Tidak hanya itu, penyajian bubur Suro juga umumnya berkaitan dengan meninggalnya Sheikh Hasan dan Husen.
Saat malam menjelang 10 Suro di kawasan Yogyakarta, makanan yang dibuat dengan santan dan ragam rempah itu dihidangkan dengan beberapa uba rampe lain seperti sirih lengkap, kembar mayang, dan satu keranjang berisi buah-buahan. Sirih lengkap ini memiliki makna sebagai asal-usul dan penghormatan kepada orang tua dan para leluhur.
Nantinya, sirih lengkap akan ditaruh dalam sebuah bokor berbahan kuningan atau tembaga yang biasa digunakan dalam ritual perlintasan khas Jawa dengan makna serupa. Lalu, kembang matang biasanya digambarkan sebagai dua vas bunga dengan tujuh bunga mawar merah, tujuh bunga mawar putih, tujuh rangkaian bunga melati, dan tujuh lembar daun pandan pada masing-masing vas.
Makanan ini disajikan dengan beberapa bahan yaitu bubur beras putih, opor ayam, sambal goreng labu siam, jeruk bali, bulir-bulir buah delima, tujuh jenis kacang, dan irisan timur serta beberapa lembar daun kemangi. Dikutip dari buku Perayaan 1 Suro Pulau Jawa milik Julie Indah Rini, versi lain bubur ini memiliki kedelai hitam, telur ayam kampung, serundeng kelapa, dan rujak degan.
Beberapa makanan pelengkap ini memiliki makna. Bubur Suro memiliki tujuh kacang yang digunakan yaitu kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor dengan pengolahan direbus atau digoreng. Tujuh jenis kacang ini menggambarkan tujuh hari dalam satu pekan.
Lalu, makna lain yang tertera adalah bubur melambangkan kesucian jalan hidup, kedelai hitam goreng sebagai lambang watak yang senantiasa setia dan berbuat baik, dan irisan telur ayam kampung sebagai lambang hal yang berbeda. Semua lauk ini menjadi simbol dari hidup yang berkesinambungan dan bermasyarakat.
Tidak hanya dua lauk ini, ada juga serundeng sebagai representasi filosofi pohon kelapa yang mudah beradaptasi dan berguna bagi masyarakat dan rujak degan sebagai makna agar manusia bisa menjalankan hidup secara sungguh-sungguh dan penuh antusias.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.