Menyelami Ambiguitas Perdamaian dalam Pameran Peace In Diversity di Bentara Budaya Jakarta
26 June 2024 |
06:14 WIB
Ada kabar gembira buat para pencinta seni di Tanah Air. Pameran seni Ilustrasiana #2 bertajuk Peace In Diversity resmi dibuka di Bentara Budaya, Jakarta. Menghadirkan puluhan karya seniman lokal dan luar negeri, ekshibisi ini berlangsung mulai 25 Juni hingga 4 Juli 2024.
Sesuai tajuknya, gelaran kedua dari Ilustrasiana ini mengajak para seniman untuk menanggapi konsep kedamaian dalam bentuk karya. Ihwal dihelatnya pameran ini juga sebagai respon pada kemelut yang menegasikan kata damai, atau citra damai yang dipoles untuk kepentingan kekuasaan.
General Manager Bentara Budaya, Ilham Khoiri mengatakan, tema pameran ini memang menggambarkan suasana paradoks dalam hati manusia. Menurutnya, di satu sisi sangat mengidam-idamkan perdamaian, tapi di sisi lain perdamaian acapkali muncul setelah adanya peperangan.
Baca juga: Bias Warna Natur & Kultur Bertaut dalam Ragam Karya Seni di Pameran Redefine
Hampir semua ideologi, agama, atau norma di dunia juga menekankan pentingnya perdamaian. Ini terlihat dari banyaknya istilah seperti "perdamaian" dalam Bahasa Indonesia, "peace" dalam Bahasa Inggris, dan "salam" dalam bahasa Arab, yang semuanya mengacu pada konsep damai.
"Istilah perdamaian bahkan juga diajarkan di mana-mana. Dalam kebudayaan populer kita misalnya, bagi generasi sebelum milenial pasti mengenal lagu qasidah dari Nasida Ria yang merefleksikan paradoks dari perdamaian itu," tambah Ilham.
Secara umum, pameran ini memang mencoba merefleksikan mengenai makna perdamaian dalam berbagai bahasa rupa, Beberapa di antaranya mewujud dalam karya ilustrasi hingga lukisan dengan berbagai sudut pandang budaya karena diikuti dari ilustrator berbagai negara.
Saat memasuki ruang pamer, pengunjung akan disambut karya seniman German, Volmar Hope berjudul Peace (printed on paper, 59,4X84,1 cm), dan Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah, (printed on paper, tanpa deskripsi) buah tangan seniman Indonesia, Mujiyono, yang mendedah makna damai dengan visual unik.
Pada karya pertama, terpampang gambar garis kelopak mata dengan gradasi palet biru yang menutup. Citraan kelopak mata yang terpejam ini seolah merefleksikan idiom damai dalam diri (inner peace), atau tafsir mengenai pencapaian tertinggi dari damai adalah momen saat kita berdamai dengan diri sendiri.
Sementara itu, karya kedua mengambil simbol dari jari telunjuk dan tengah sebagai huruf "V" (victory: kemenangan) yang menjadi bahasa rupa perdamaian. Uniknya, karya yang diangkat dari pepatah Jawa itu menampilkan keberagaman perdamaian dari suku-suku di Indonesia, bahkan juga jari kucing yang mengerubungi simbol pelucutan nuklir ?.
Beranjak ke bagian tengah, publik akan disuguhi karya Rato Tanggela berjudul Treat Others The Way You Want To be Treated [Perlakukan Orang Lain Sebagaimana Engkau Ingin Diperlakukan]. Karya bermedia akrilik di atas kanvas berukuran 180x140 cm itu menggambarkan makhluk berbulu dengan wajah berupa bulatan kuning.
Oleh sang seniman, karakter tersebut dinamai Towtow. Inspirasi hadirnya makhluk ini merupakan wujud dari potongan-potongan cerita kehidupan, baik dari dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Terutama saat ingin menggambarkan masalah yang kerap berubah-ubah dari setiap manusia.
"Pertama aku memang ingin menggambar masalah. Tapi karena ini abstrak aku memvisualkannya dengan bulu-bulu yang bertumpuk. Dari sinilah aku memberinya wajah, dan warna kuning. Jadi walaupun [kita] sedang ada masalah tetap terang [ada solusi]," katanya.
Idiom-idiom lain dari perdamaian juga tampak menjejali pameran ini. Beberapa di antaranya seperti burung merpati, atribut militer, hingga bohemian style yang menjadi salah satu ikon gerakan hippies. Bahkan, ada juga yang membuat karya yang hampir mirip pamflet dengan tulisan-tulisan protes bergaya ilustrasi.
Kurator pameran Beng Rahadian mengatakan, penggunaan simbol-simbol tersebut memang tidak dapat dihindari karena situasi itulah yang sejak lampau hingga kiwari tersiar di dunia melalui media. Namun, cerapan budaya visual ini seolah membuat kita percaya bahwa perdamaian hanya didapatkan melalui kemenangan dalam peperangan.
"Tentu tafsir ini terbuka bagi siapa saja termasuk kita [apresiator] yang dapat mewacanakannya kembali dalam tafsiran baru. Sebab, selain simbol-simbol populer, penafsiran personal pun dilakukan oleh ilustrator yang menawarkan simbol baru seperti karya Volkmar Hoppe," katanya.
Baca juga: Menyelami Karya Arsitektural Mustafa Pamuntjak dalam Pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sesuai tajuknya, gelaran kedua dari Ilustrasiana ini mengajak para seniman untuk menanggapi konsep kedamaian dalam bentuk karya. Ihwal dihelatnya pameran ini juga sebagai respon pada kemelut yang menegasikan kata damai, atau citra damai yang dipoles untuk kepentingan kekuasaan.
General Manager Bentara Budaya, Ilham Khoiri mengatakan, tema pameran ini memang menggambarkan suasana paradoks dalam hati manusia. Menurutnya, di satu sisi sangat mengidam-idamkan perdamaian, tapi di sisi lain perdamaian acapkali muncul setelah adanya peperangan.
Baca juga: Bias Warna Natur & Kultur Bertaut dalam Ragam Karya Seni di Pameran Redefine
Hampir semua ideologi, agama, atau norma di dunia juga menekankan pentingnya perdamaian. Ini terlihat dari banyaknya istilah seperti "perdamaian" dalam Bahasa Indonesia, "peace" dalam Bahasa Inggris, dan "salam" dalam bahasa Arab, yang semuanya mengacu pada konsep damai.
"Istilah perdamaian bahkan juga diajarkan di mana-mana. Dalam kebudayaan populer kita misalnya, bagi generasi sebelum milenial pasti mengenal lagu qasidah dari Nasida Ria yang merefleksikan paradoks dari perdamaian itu," tambah Ilham.
Secara umum, pameran ini memang mencoba merefleksikan mengenai makna perdamaian dalam berbagai bahasa rupa, Beberapa di antaranya mewujud dalam karya ilustrasi hingga lukisan dengan berbagai sudut pandang budaya karena diikuti dari ilustrator berbagai negara.
Karya seniman German, Volmar Hope berjudul Peace (kiri) dan Mujiyono berjudul Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Pada karya pertama, terpampang gambar garis kelopak mata dengan gradasi palet biru yang menutup. Citraan kelopak mata yang terpejam ini seolah merefleksikan idiom damai dalam diri (inner peace), atau tafsir mengenai pencapaian tertinggi dari damai adalah momen saat kita berdamai dengan diri sendiri.
Sementara itu, karya kedua mengambil simbol dari jari telunjuk dan tengah sebagai huruf "V" (victory: kemenangan) yang menjadi bahasa rupa perdamaian. Uniknya, karya yang diangkat dari pepatah Jawa itu menampilkan keberagaman perdamaian dari suku-suku di Indonesia, bahkan juga jari kucing yang mengerubungi simbol pelucutan nuklir ?.
Beranjak ke bagian tengah, publik akan disuguhi karya Rato Tanggela berjudul Treat Others The Way You Want To be Treated [Perlakukan Orang Lain Sebagaimana Engkau Ingin Diperlakukan]. Karya bermedia akrilik di atas kanvas berukuran 180x140 cm itu menggambarkan makhluk berbulu dengan wajah berupa bulatan kuning.
Oleh sang seniman, karakter tersebut dinamai Towtow. Inspirasi hadirnya makhluk ini merupakan wujud dari potongan-potongan cerita kehidupan, baik dari dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Terutama saat ingin menggambarkan masalah yang kerap berubah-ubah dari setiap manusia.
"Pertama aku memang ingin menggambar masalah. Tapi karena ini abstrak aku memvisualkannya dengan bulu-bulu yang bertumpuk. Dari sinilah aku memberinya wajah, dan warna kuning. Jadi walaupun [kita] sedang ada masalah tetap terang [ada solusi]," katanya.
karya Rato Tanggela berjudul Treat Others The Way You Want To be Treated. (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Kurator pameran Beng Rahadian mengatakan, penggunaan simbol-simbol tersebut memang tidak dapat dihindari karena situasi itulah yang sejak lampau hingga kiwari tersiar di dunia melalui media. Namun, cerapan budaya visual ini seolah membuat kita percaya bahwa perdamaian hanya didapatkan melalui kemenangan dalam peperangan.
"Tentu tafsir ini terbuka bagi siapa saja termasuk kita [apresiator] yang dapat mewacanakannya kembali dalam tafsiran baru. Sebab, selain simbol-simbol populer, penafsiran personal pun dilakukan oleh ilustrator yang menawarkan simbol baru seperti karya Volkmar Hoppe," katanya.
Baca juga: Menyelami Karya Arsitektural Mustafa Pamuntjak dalam Pameran Dari Rumah ke Rumah: Keseharian
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.