Pertunjukan Matahari Papua dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta pada 7-9 Juni 2024. (sumber gambar: Teater Koma)

Matahari Papua & Refleksi Kemerdekaan Universal Ala Teater Koma

07 June 2024   |   16:41 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Cerita tentang Papua telah banyak digulirkan para seniman di Tanah Air. Penyanyi balada, Franky Sahilatua misalnya, menciptakan lagu populer "Suara dari Kemiskinan" (1988) dan "Aku Papua" (2015) yang mengungkai kisah masyarakat Papua lewat syair-syairnya yang jujur dan gamblang. 

Terbaru, kisah dari Bumi Cendrawasih itu kembali disajikan untuk publik. Bukan lewat lagu, tapi pertunjukan teater dari Teater Koma lewat lakon Matahari Papua. Pementasan berlangsung pada 7 sampai 9 Juni 2024 di Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Menjadi produksi ke-230 dari Teater Koma, lakon ini merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh Nano Riantiarno. Matahari Papua merupakan pengembangan naskah pendek yang diberi judul Cahaya dari Papua (2014). Naskah pendek ini sempat dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. 

Baca juga: Waktu Batu Rumah yang Terbakar, Lakon Duka Akibat Krisis Ekologi dari Teater Garasi

Suara nyanyian magis tapi menyayat membahana di GBB, TIM pada Jumat (7/6/24). Yakomina (Netta Kusumah Dewi) sedang uro-uro mengenang suaminya yang mati dimakan sang Naga. Arkian, anaknya, Biwar (Lutfi Ardiansyah) pulang dari mencari ikan lalu mendengar nyanyian ibunya. Dendam pun membara di dadanya.

Sebab, saat mencari ikan, Biwar juga menolong Nadiva (Tuti Hartati) dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua. Namun, dengan mudah dia berhasil mengalahkan tiga sekawan monster jahat itu berkat didikan dukun mulia bernama Koreri (Join Bayuwinanda) yang telah lama menyepi.
 

salah satu adegan pementasan Matahari Papua (sumber hambar: Teater Koma)

Salah satu adegan pementasan Matahari Papua (sumber gambar: Teater Koma)

Perlahan tapi pasti, konflik saling berjejal dalam kisah yang spectacle. Sutradara Rangga Riantiarno cukup banyak memberi pengalaman visual dengan pendekatan yang lebih eksperimental lewat permainan layar digital. Eksplorasi musik dari Fero A. Stefanus juga renyah didengar, yang sesekali membuat penonton ikut menggoyangkan kaki.

Namun, berbeda dengan pementasan koma sebelumnya, pertunjukan kali ini terasa lebih minimalis dengan set panggung yang lebih sedikit. Sepanjang pertunjukan hanya ada beberapa set dekor buatan Deden J. Bulqini, seperti ornamen ukiran Papua di kanan dan kiri panggung, meski celah tersebut dapat ditutup oleh aksi koreografi yang manis.

Eksplorasi artistik dari set naga yang digotong oleh 6 orang juga fantastis dan cukup banyak membuat sebagian penonton kegirangan. Terlebih dengan adanya layer set backdrop dan visual digital rembulan yang bisa berubah jadi animasi, yang menggambarkan narasi apa yang diceritakan oleh beberapa karakter.

"Kapan kami merdeka? Jangan diam saja. Bergerak. Tapi naga yang entah datang dari mana mulai memunguti apa yang ada di tanah di kami. Emas, ubu, babi, minyak, semuanya diambil oleh naga," lengking suara dukun Koreri saat menyanyikan salah satu lagu saat pra pentas. 
 

Refleksi Sosial

Lebih dari sekadar fiksi, Matahari Papua juga merefleksikan potret sosial dari apa yang terjadi di Papua. Sikap sang naga yang tamak dan ingin menang sendiri misalnya, mengingatkan penonton pada para penguasa yang tak bijak dan haus kekuasaan.

Sementara itu, sikap tiga sekawan monster biawak yang suka menindas si lemah dapat merefleksikan situasi termutakhir dari deretan konflik di sana. Sebab, hingga semester pertama 2024, Komnas HAM mencatat kasus kekerasan di Papua cenderung naik. 

Namun, alih-alih mengisahkan tentang Papua, lakon yang ini pun sangat universal. Terutama saat dikaitkan dengan situasi politik lokal-global hari ini. Kita tentu ingat, beberapa waktu terakhir banyak muncul protes di medsos dengan tagar All Eyes on Raffah, dan All Eyes on Papua.
 

Salah satu adegan pementasan Matahari Papua (sumber gambar: Teater Koma)

Salah satu adegan pementasan Matahari Papua (sumber gambar: Teater Koma)

Sutradara Rangga Riantiarno mengatakan, naskah pertunjukan ini pertama kali ditulis oleh N.Riantiarno pada 2014. Saat itu lakon ini ditulis sebagai naskah pendek untuk pertunjukan bertajuk Cahaya dari Papua di Galeri Indonesia Kaya.  Namun, pada masa pandemi Covid 19, naskah ini digarap ulang menjadi naskah panjang oleh Nano. 

Naskah panjang Matahari Papua ini juga sempat dikirim dengan penulis anonim untuk sayembara penulisan naskah drama Rawayan Award yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2022. Naskah tersebut terpilih sebagai salah satu pemenang. 

"Kita tidak hanya melihat ke luar [negeri] tapi juga [harus] ke sekitar kita. Lakon ini mengajak kita untuk melihat itu. Jadi, selama ada pihak yang berkuasa dan tidak memiliki kemanusiaan, dia akan menjadi naga," katanya.

Selaras, produser Teater Koma, Ratna Riantiarno mengatakan lakon Matahari Papua akan menjadi salah satu pertunjukan berkesan bagi Teater Koma. Sebab, selain menjadi naskah terakhir N. Riantiarno, pertunjukan ini juga diselenggarakan berdekatan dengan hari kelahiran sang penulis pada 6 Juni. 

Momen kembali berpentasnya mereka GBB juga akan memberi kesan tersendiri karena tempat tersebut memiliki sejarah dan menjadi saksi bagi beragam pertunjukan dari Teater Koma. Yaitu dengan mementaskan lebih dari 40 judul lakon  naskah pertunjukan dengan total hari pementasan lebih dari 700 hari.

"Naskah ini sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai Papua saja. Ini lebih banyak berbicara tentang kemerdekaan dan soal kebebasan. Ini berangkatnya memang dari sity, tapi kreativitasnya tentu berbeda ada akhirnya,"katanya. 

Baca juga: Pamor Teater Indonesia Berkembang, Bagaimana Ekosistem & Aktualisasinya di Lapangan?

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Akhirnya Rilis, Cek Makna Lagu Never Let Go dari Jungkook BTS

BERIKUTNYA

Hypereport: Menghubungkan Budaya dan Rasa Lewat Komunitas Wisata Kuliner

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: