Teater Koma, Sejarah & Kenangan Nano Riantiarno
20 January 2023 |
12:11 WIB
1
Like
Like
Like
Kepergian Norbertus Riantiarno atau yang akrab disapa Nano Riantiarno tentu menjadi kabar duka di kalangan pecinta seni. Nano bukan orang sembarang. Semasa hidup, jasanya cukup besar untuk menjaga seni pertunjukan tetap eksis, tidak lekang oleh zaman.
Suami dari Ratna Riantiarno ini mendirikan sebuah kelompok seni yang usianya hampir setengah abad dan masih aktif melestarikan budaya melalui ragam penampilan yang erat dengan budaya serta kehidupan masyarakat. Teater Koma namanya.
Kala itu, Nano dan 11 seniman, bertekad mendirikan sebuah kelompok teater pada 1 Maret 1977. Prioritas utamanya ingin mencari wujud dan isi yang lebih kaya warna, dibandingkan teater yang sudah ada sebelumnya.
Pertunjukkan pertama Teater Koma digelar pada awal Agustus 1977 di Teater Tertutup TIM. Berjudul Rumah Kertas yang merupakan karya dari Nano dan disutradarai Teguh Karya.
Baca juga: Mengenang Nano Riantiarno, Gerak yang Tak Pernah Selesai & Keberpihakannya Pada Masyarakat Kelas Bawah
Nano dalam catatannya di website resmi Teater Koma mengatakan pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Walaupun tidak berani mengatakan apa yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru, Nano ingin berupaya membuat pertunjukkan yang bisa dipahami masyarakat umum bukan kalangan seniman saja.
“Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi,” tulis Nano dalam memoarnya.
Menurutnya jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya semua itu ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. “Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk,” tuturnya.
Memang Teater Koma sangat lekat dengan sosok Nano. Mayoritas pementasan berasal dari karyanya. Selain Rumah Kertas, karya lainnya yang pernah dipentaskan yakni Maaf.Maaf.Maaf., J.J, dan Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini).
Ada pula karya berjudul Opera Primadona, Sampek Engtay, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Republik Bagong, hingga Republik Togog. Kemudian Republik Petruk, Sie Jin Kwie, Rumah Pasir, Sie Jin Kwie Kena Fitnah, Sie Jin Kwie di Negri Sihir, Demonstran, dan Republik Cangik.
Teater Koma juga menggelar karya dramawan kelas dunia, antara lain William Shakespeare, Georg Buchner, Bertolt Brecht, Moliere. Lalu, Aristophanes, Arthur Miller, Beaumarchaise, George Orwell, Alfred Jarre, Freidrich Schiller, Friedrich Durrenmatt, dan Evald Flisar.
Hingga 2015, Teater Koma tercatat sudah memproduksi 140 pementasan, baik di televisi maupun di panggung. Kiprah kreatifitasnya biasa digelar di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta.
Kelompok kesenian nirlaba yang konsisten dan produktif ini dikenal punya banyak penonton yang setia. Pentas-pentasnya sering digelar lebih dari 2 minggu, bahkan pernah berpentas lebih dari satu bulan.
Nano dan Teater Koma tetap yakin, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani.
Sementara itu, kepergian Nano Riantiarno menimbulkan duka di kalangan para seniman. Seperti yang ditunjukkan Butet Kertaredjasa. Dia mengunggah kebersamaan terakhir bersama Nano yang tengah berbaring saat melawan penyakitnya. “SUMANGGA GUSTI. Selamat jalan sahabat dan guruku, Mas Nano Riantiarno,” tulis Butet dengan banyak emoticon sedih.
Di sisi lain, sastrawan Agus Noor menuliskan salam perpisahan yang begitu panjang di Facebook pribadinya. Dia bercerita tentang pementasan teater yang begitu membekas dalam ingatannya, mempengaruhi dan turut menentukan jalan hidupnya sebagai seorang seniman.
Pementasan itu tak lain adalah lakon Opera Kecoa yang dipentaskan Teater Koma pada 1985, yang naskahnya ditulis N. Riantiarno dan juga menyutradarainya. “Pementasan itu, membuat saya teryakinkan untuk memilih jalan hidup sebagai pekerja teater,” tuturnya.
Lakon itu menurutnya menarik sebagai naskah. Saat dipanggungkan Teater Koma, Opera Kecoa juga mendapat respon bagus dari media dan penonton yang antusias. Terutama ketika dunia teater di Indonesia dianggap sepi penonton atau mulai ditinggalkan penonton.
Bengkel Teater Rendra dan N. Riantiarno dengan Teater Koma seakan menepis anggapan itu. Menurut Agus Noor, ada basis penonton yang bisa digarap untuk memperkuat ekosistem pertunjukan teater.
“Usai menonton pementasan Opera Kecoa itu, saya meyakinkan diri dalam hati: bahwa saya telah menemukan peta untuk pertunjukan-pertunjukan teater yang ingin saya garap dan wujudkan. Setidaknya saya jadi tidak ragu lagi untuk berkecimpung di dunia seni pertunjukan,” tulisnya.
Agus Noor berpendapat pentas-pentas yang digarap Nano mengubah semua bayangan pelaku seni memiliki masa depan suram (madesu). “Sungguh saya berhutang pada karya-karya Mas Nano dan Teater Koma. Utang rasa yang tak akan terbayarkan,” tegasnya.
Ketika mendengar Nano sakit, sekitar awal Desember 2022 lalu, Agus Noor terpikirkan untuk menggarap lakon yang terinspirasi dari Opera Kecoa. Menurutnya itu sebagai tanda hormat dan penghargaan pada Nano, sekaligus ingin memberinya semangat.
Dia menyiapkan cerita Julini Tak Pernah Mati yang merupakan elaborasinya atas naskah Opera Kecoa. “Selamat jalan, Mas Nano Riantiarno,” tulis Agus Noor.
Baca juga: Nano Riantiarno, Sosok Dramawan yang Menjadi Legenda Teater di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Suami dari Ratna Riantiarno ini mendirikan sebuah kelompok seni yang usianya hampir setengah abad dan masih aktif melestarikan budaya melalui ragam penampilan yang erat dengan budaya serta kehidupan masyarakat. Teater Koma namanya.
Kala itu, Nano dan 11 seniman, bertekad mendirikan sebuah kelompok teater pada 1 Maret 1977. Prioritas utamanya ingin mencari wujud dan isi yang lebih kaya warna, dibandingkan teater yang sudah ada sebelumnya.
Pertunjukkan pertama Teater Koma digelar pada awal Agustus 1977 di Teater Tertutup TIM. Berjudul Rumah Kertas yang merupakan karya dari Nano dan disutradarai Teguh Karya.
Baca juga: Mengenang Nano Riantiarno, Gerak yang Tak Pernah Selesai & Keberpihakannya Pada Masyarakat Kelas Bawah
Nano dalam catatannya di website resmi Teater Koma mengatakan pasti banyak kekurangan dalam pentas Rumah Kertas. Walaupun tidak berani mengatakan apa yang disajikan Teater Koma adalah sesuatu yang baru, Nano ingin berupaya membuat pertunjukkan yang bisa dipahami masyarakat umum bukan kalangan seniman saja.
“Ketika hal itu terus terjadi, teater menjadi ‘benda yang aneh’. Seakan ada di dalam lemari besi terkunci, sulit dijamah dan dijauhi,” tulis Nano dalam memoarnya.
Menurutnya jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya semua itu ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. “Mungkin ada bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk,” tuturnya.
Memang Teater Koma sangat lekat dengan sosok Nano. Mayoritas pementasan berasal dari karyanya. Selain Rumah Kertas, karya lainnya yang pernah dipentaskan yakni Maaf.Maaf.Maaf., J.J, dan Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini).
Ada pula karya berjudul Opera Primadona, Sampek Engtay, Semar Gugat, Opera Ular Putih, Republik Bagong, hingga Republik Togog. Kemudian Republik Petruk, Sie Jin Kwie, Rumah Pasir, Sie Jin Kwie Kena Fitnah, Sie Jin Kwie di Negri Sihir, Demonstran, dan Republik Cangik.
Teater Koma juga menggelar karya dramawan kelas dunia, antara lain William Shakespeare, Georg Buchner, Bertolt Brecht, Moliere. Lalu, Aristophanes, Arthur Miller, Beaumarchaise, George Orwell, Alfred Jarre, Freidrich Schiller, Friedrich Durrenmatt, dan Evald Flisar.
Hingga 2015, Teater Koma tercatat sudah memproduksi 140 pementasan, baik di televisi maupun di panggung. Kiprah kreatifitasnya biasa digelar di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta.
Kelompok kesenian nirlaba yang konsisten dan produktif ini dikenal punya banyak penonton yang setia. Pentas-pentasnya sering digelar lebih dari 2 minggu, bahkan pernah berpentas lebih dari satu bulan.
Nano dan Teater Koma tetap yakin, teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani.
Sementara itu, kepergian Nano Riantiarno menimbulkan duka di kalangan para seniman. Seperti yang ditunjukkan Butet Kertaredjasa. Dia mengunggah kebersamaan terakhir bersama Nano yang tengah berbaring saat melawan penyakitnya. “SUMANGGA GUSTI. Selamat jalan sahabat dan guruku, Mas Nano Riantiarno,” tulis Butet dengan banyak emoticon sedih.
Di sisi lain, sastrawan Agus Noor menuliskan salam perpisahan yang begitu panjang di Facebook pribadinya. Dia bercerita tentang pementasan teater yang begitu membekas dalam ingatannya, mempengaruhi dan turut menentukan jalan hidupnya sebagai seorang seniman.
Pementasan itu tak lain adalah lakon Opera Kecoa yang dipentaskan Teater Koma pada 1985, yang naskahnya ditulis N. Riantiarno dan juga menyutradarainya. “Pementasan itu, membuat saya teryakinkan untuk memilih jalan hidup sebagai pekerja teater,” tuturnya.
Lakon itu menurutnya menarik sebagai naskah. Saat dipanggungkan Teater Koma, Opera Kecoa juga mendapat respon bagus dari media dan penonton yang antusias. Terutama ketika dunia teater di Indonesia dianggap sepi penonton atau mulai ditinggalkan penonton.
Bengkel Teater Rendra dan N. Riantiarno dengan Teater Koma seakan menepis anggapan itu. Menurut Agus Noor, ada basis penonton yang bisa digarap untuk memperkuat ekosistem pertunjukan teater.
“Usai menonton pementasan Opera Kecoa itu, saya meyakinkan diri dalam hati: bahwa saya telah menemukan peta untuk pertunjukan-pertunjukan teater yang ingin saya garap dan wujudkan. Setidaknya saya jadi tidak ragu lagi untuk berkecimpung di dunia seni pertunjukan,” tulisnya.
Agus Noor berpendapat pentas-pentas yang digarap Nano mengubah semua bayangan pelaku seni memiliki masa depan suram (madesu). “Sungguh saya berhutang pada karya-karya Mas Nano dan Teater Koma. Utang rasa yang tak akan terbayarkan,” tegasnya.
Ketika mendengar Nano sakit, sekitar awal Desember 2022 lalu, Agus Noor terpikirkan untuk menggarap lakon yang terinspirasi dari Opera Kecoa. Menurutnya itu sebagai tanda hormat dan penghargaan pada Nano, sekaligus ingin memberinya semangat.
Dia menyiapkan cerita Julini Tak Pernah Mati yang merupakan elaborasinya atas naskah Opera Kecoa. “Selamat jalan, Mas Nano Riantiarno,” tulis Agus Noor.
Baca juga: Nano Riantiarno, Sosok Dramawan yang Menjadi Legenda Teater di Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.