Mengenal Arti Asian Value yang Viral di Media Sosial
06 June 2024 |
15:00 WIB
Frasa "Asian Value" mendadak viral di media sosial. Hal itu terjadi setelah salah satu pembawa acara siniar (podcast) Total Politik menyebutkan bahwa dinasti politik merupakan bagian dari salah satu Asian values. Pernyataannya itu pun kontroversial dan menjadi perbincangan di kalangan warganet.
Sampai artikel ini ditulis, kata kunci "Asian value" masih bertengger di jajaran trending topic X. Frasa tersebut sudah digunakan oleh lebih dari 37.000 cuitan di X. Banyak netizen yang mencoba mendefinisikan frasa Asian value menurut persepsi mereka masing-masing, mulai dari cuitan yang serius, sarkastik, hingga guyon.
Lantas, apa sebenernya yang dimaksud dengan Asian value? Mengutip dari situs Britannica, Asian value atau nilai-nilai Asia adalah serangkaian nilai yang dipromosikan oleh beberapa pemimpin politik dan intelektual Asia sejak akhir abad ke-20, sebagai cara pandang alternatif terhadap nilai-nilai politik Barat seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme.
Baca Juga: Resep Maliq & D'Essentials Bikin Lagu-lagu Viral, Strategi & Tim yang Solid Jadi Kunci
Baca Juga: Resep Maliq & D'Essentials Bikin Lagu-lagu Viral, Strategi & Tim yang Solid Jadi Kunci
Para pendukung nilai-nilai Asia biasanya menyatakan bahwa pesatnya perkembangan perekonomian di Asia Timur pada periode pasca-Perang Dunia II disebabkan oleh kesamaan budaya masyarakat mereka, khususnya warisan Konfusianisme.
Mereka juga menegaskan bahwa nilai-nilai politik Barat tidak cocok untuk Asia Timur karena nilai-nilai tersebut memupuk individualisme dan legalisme yang berlebihan, yang mengancam akan merusak tatanan sosial dan menghancurkan dinamisme ekonomi.
Sejumlah nilai Asia atau Asian value yang sering ditonjolkan adalah disiplin, kerja keras, berhemat, prestasi pendidikan, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, serta penghormatan terhadap otoritas.
Menukil dari situs South China Morning Post, konsep Asian value atau nilai-nilai Asia pertama kali muncul pada tahun 1990-an. Seorang profesor studi hubungan internasional di Flinders University, Michael Barr, dalam makalahnya yang diterbitkan tahun 2000 mengatakan konsep Asian value muncul ketika negara Barat sedang menikmati tingkat kepercayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bidang politik dan ekonomi.
Kala itu, negara Barat baru saja memenangkan Perang Dingin, Eropa merupakan sebuah Uni, dan pasar semakin berlipat ganda, tumbuh dan menjadi semakin terbuka. Hal ini mendorong Amerika Serikat dan Eropa untuk meresponsnya dengan antusiasme yang tidak seperti biasanya untuk menggaungkan nilai demokrasi dan hak asasi manusia ke seluruh dunia.
Namun, di belahan dunia lain, Asia-Pasifik memandang Barat secara berbeda. Negara-negara di Asia merayakan pencapaian sosial dan keberhasilan ekonomi tanpa menerapkan nilai individualisme yang berlebihan seperti yang digaungkan Barat.
Dengan kata lain, nilai-nilai liberalisasi Barat yang ditandai dengan individualisme berlebihan, dan kecenderungan protes serta konflik politik terbuka dianggap tidak cocok untuk Asia. Sebaliknya, para pendukung Asian value memperjuangkan nilai-nilai Asia, dimana pemerintah setempat mengadopsi bentuk otoritas yang lebih paternalistik.
Hoon Chang Yau, seorang profesor di Universiti Brunei Darussalam dalam sebuah makalah tahun 2004, menuliskan konsensus, harmoni, persatuan, dan komunitas adalah nilai-nilai yang umumnya diusulkan sebagai inti dari budaya dan identitas Asia.
Ada empat klaim yang muncul bersama teori tersebut. Pertama, hak asasi manusia tidak bersifat universal dan tidak dapat diglobalisasikan. Kedua, masyarakat Asia tidak berpusat pada individu namun pada keluarga. “Seharusnya merupakan hal yang alami bagi orang-orang Asia untuk mengutamakan kepentingan keluarga dan negara di atas kepentingan masing-masing individu,” kata Hoon.
Poin ketiga merupakan lanjutan dari poin kedua, dimana masyarakat Asia menempatkan hak-hak sosial dan ekonomi di atas hak-hak politik individu.
Terakhir, hak suatu negara untuk menentukan nasib sendiri mencakup yurisdiksi domestik pemerintah atas hak asasi manusia. Ini menyiratkan bahwa negara lain tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, termasuk kebijakan hak asasi manusianya.
"Para pendukung nilai-nilai Asia menegaskan bahwa sebuah bangsa adalah seperti sebuah keluarga besar, [dan] pemerintah dipandang sebagai ayah yang tidak dapat ditantang yang wajib menjalankan peran disipliner dan penjagaan. Masyarakat dianggap sebagai anak-anak yang harus menaati ayahnya dalam segala keadaan," kata Hoon.
Peran negara sebagai ayah, kata Hoon, secara tidak langsung melegitimasi pemerintah di Asia untuk campur tangan dalam kehidupan sehari-hari warga negara, termasuk seksualitas, perkawinan, dan hak reproduksi, atas nama pembangunan nasional.
Tak ayal, banyak pihak juga yang mengkritik Asian value atau nilai-nilai Asia dan membantah peran mereka dalam pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut digunakan untuk melindungi kepentingan elite otoriter di negara-negara Asia.
"Meskipun argumen nilai-nilai Asia mungkin berhasil selama beberapa dekade terakhir, efektivitasnya mungkin berkurang karena pemerintah menghadapi semakin banyaknya masyarakat terpelajar yang terpapar pada ide-ide global," kata Michael Barr.
Bilveer Singh, seorang profesor ilmu politik di Universitas Nasional Singapura, mengatakan konsep “perang budaya” antara Barat dan Asia tidak akan hilang begitu saja, karena Barat terus berjuang untuk mendapatkan pengaruh yang lebih besar di Asia.
Dia menambahkan bahwa masyarakat Asia yang berpendidikan tinggi, yang tersebar di beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, lebih cenderung untuk terlibat dengan nilai-nilai yang terkait dengan negara-negara Barat.
"Seiring dengan berkembangnya masyarakat Asia, masyarakat akan semakin berdaya dan Anda akan melihat masyarakat semakin menuntut mereka yang berkuasa, [tetapi] apakah hal ini bersifat Barat atau hanya bersifat manusiawi? Tentu saja, seiring dengan kemajuan yang terjadi, masyarakat yang lebih kuat akan berkembang dalam konteks nilai-nilai Asia dan Barat," katanya.
Baca Juga: 5 Video Essay Viral di YouTube: Dilema Cinta Gen Z hingga Teori Konyol
Editor: M. Taufikul Basari
Baca Juga: 5 Video Essay Viral di YouTube: Dilema Cinta Gen Z hingga Teori Konyol
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.