Kebun Teh Tambi. (Sumber : Laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo)

Kebun Teh Tambi, Pesona Agrowisata Sarat Sejarah & Cita Rasa

29 May 2024   |   13:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Indonesia begitu kaya dengan potensi alam yang melimpah. Salah satu produk alam yang menjadi primadona adalah teh, dengan ragam jenisnya. Minuman yang terbuat dari seduhan daun dan bunga ini biasa menemani pagi masyarakat. Tak jarang, secangkir teh menjadi teman untuk bersantai atau suguhan dalam suasana hangat perbincangan.

Indonesia pun tercatat sebagai salah satu negara penghasil teh di dunia, dengan produksi 139.362 ton per tahun. Teh Indonesia pun telah diekspor ke 61 negara, dengan Malaysia menjadi negara tujuan ekspor teh terbesar. Pada 2022, Badan Pusat Statistik mencatat volume ekspor teh Indonesia sebanyak 44.979 ton atau setara dengan US$89,99 juta.

Potensi ini yang menarik Owner Depo Group, Herman Hutanto, untuk melakukan investasi ke Kebun Teh Tambi di Wonosobo. Dia melihat potensi wisata yang memiliki luas 830 hektare itu. Terlebih, masyarakat saat ini lebih memilih untuk wisata alam ketika berlibur. 

“Wisata alam itu kan nggak pernah ada habisnya dan nggak bisa ditiru orang, jadi kita memberanikan diri untuk menginvestasikan ke sana,” ujarnya. 

Baca juga: Menyibak Khazanah Teh dari Masa ke Masa: Dari Negeri China Hingga Tradisi Jawa

Kebun Teh Tambi mengedepankan wisata olahraga dan kesehatan. Seperti Tour Depo Tambi yang diikuti 100 pesepeda untuk menempuh perjalanan dari Depo Pelita Sokaraja menuju ke Kebun Teh Tambi beberapa waktu lalu. Herman menyebut Kebun Teh Tambi juga menjadi tempat yang tepat untuk healing.

Berinvestasi sejak 2022, Herman bersama pengelola Kebun Teh Tambi melakukan tata ulang untuk menarik minat wisatawan. “Ternyata potensi wisatanya bagus. Jadi agrowisatanya naik,” imbuhnya.

Selain agrowisata, Herman melihat besarnya potensi pasar teh retail. Ya, pasar domestik menjadi daya tarik baginya mengingat kebiasaan masyarakat Indonesia yang tidak lepas dari teh pada setiap kesempatan. Adapun, selama ini, produksi teh tambi 95% diekspor tetapi kurang menguntungkan. Oleh karena itu, dia ingin mengurangi porsi ekspor dari produk Teh Tambi.

“Kita mau fokus ke retail ke depannya karena retail lebih menguntungkan,” tuturnya. 

Herman juga tertarik untuk mengubah cara dagang Teh Tambi yang masih tradisional. Inovasi pun akan digalakkan mengingat di sektor minuman, teh saat ini bisa dibuat menjadi ragam produk kekinian hingga mendukung gaya hidup sehat yang tengah digandrungi kaum urban. 

Kebun Teh Tambi sendiri menghasilkan berbagai produk dan merek teh, termasuk teh herbal Wulandari yang diklaim berkhasiat meningkatkan kesuburan wanita dan memperhalus kulit. “Jadi lebih ke refreshment drink yang juga bermanfaat buat kesehatan,” jelasnya. 

Dia berharap Teh Tambi semakin dikenal seluruh masyarakat Indonesia, begitu pula dengan agrowisatanya dengan pemandangan alam Wonosobo yang indah dengan latar Gunung Sindoro. 
 
 

Sejarah Kebun Teh Tambi 

Kebun Teh Tambi terbilang memiliki sejarah panjang. Perkebunan yang berada pada ketinggian 800-2.000 meter di atas permukaan laut ini berdiri sejak1865, ketika era penjajahan Belanda. 

Awalnya, kebun ini bernama Bagelen Thee & Kina Maatschappij yang dikelola NV John Pete dalam program tanam paksa pemerintahan Belanda. Kala itu, hasil perkebunan sudah diekspor melalui tangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan yang didirikan pemerintah Belanda untuk menguasai perdagangan rempah di Indonesia dan Asia. 

Kala Indonesia merdeka pada 1945, sisa-sisa peninggalan pabrik teh dibumihanguskan masyarakat Tambi bersama dengan tentara rakyat. Alhasil kini tidak ada lagi bangunan sejarah yang tersisa. “Semuanya dihancurkan supaya Belandanya nggak balik,” ujar Rachmad Gunadi, Direktur PT Tambi.

Singkat cerita, pada 1954 kebun dijual kepada NV Eks Pegawai Perkebunan Negara Sindoro Sumbing dan kepengurusannya bekerja sama dengan Pemda Wonosobo. Kerja sama itu melahirkan perusahaan baru yang bernama NV Tambi dan kini beralih nama menjadi PT Tambi. “Maka di Tambi kepemilikannya adalah 50% swasta, 50% pemerintah,” ujarnya.

Tak dimungkiri, mayoritas hasil produksi di Kebun Teh Tambi yang memiliki kualitas premium masuk ke pasar global. Begitu pula dengan produksi perkebunan teh lainnya. Pasalnya, demand pasar domestik tidak mampu menopang hasil produksi untuk teh yang memiliki kualitas tinggi ini.

Masyarakat Indonesia sejak lama disuguhkan teh dengan mutu rendah yang harganya lebih murah. Alhasil sebagai produsen teh, pihaknya tidak bisa menjual teh premium dengan harga yang bagus. 

Kendati demikian, di pasar global pun industri teh tengah dihadapkan isu lingkungan yang berdampak pada penurunan harga dan terjadinya perang dagang. “Perkebunan-perkebunan teh sekarang sedang sakit,” ungkap Gunadi. 

Baca juga: 5 Jenis Teh Termahal di Dunia, Ada yang Harganya Rp29 Miliar per Kilogram
 

Bisnis dan Industri Teh 

Di tengah kondisi mayoritas perkebunan teh yang lesu, Gunadi menyampaikan PT Tambi justru terus mengembangkan bisnis dari yang hanya memproduksi sendiri, kini menjadi salah satu pusat dari supply chain teh ke industri. Dengan demikian, produk teh yang dikelola di kebun sendiri maupun kebun mitra, mendapatkan harga yang bagus.

Tercatat sejak Januari-Maret 2024, 50% produk teh diproduksi PT Tambi dan 50% lainnya diproduksi oleh mitra-mitra perkebunan yang selama ini berbisnis dengan mereka.

Adapun, Kebun Teh Tambi mampu memproduksi maksimal 2.700 ton teh per tahun atau 225 ton per bulan. Nilai omzet per bulannya mencapai Rp4,95 miliar jika dikalikan dengan harga Rp22.000 per produk. Akan tetapi dengan mitra perkebunan lain, selama Februari-Maret 2024 penjualan PT. Tambi menembus angka di atas Rp8,5 miliar.

Untuk varian produk PT. Tambi sendiri terbilang sangat banyak. Namun pada prinsipnya, produk yang dihasilkan berupa teh hitam, teh hijau, dan teh putih.

Bicara tantangan lain di bisnis teh, Gunadi menjelaskan bahwa rata-rata produsen teh di Indonesia belum bisa berperilaku seperti sebuah industri. Pengelola masih bersikap agraris, lebih suka punya produk banyak daripada mendapat duit banyak. Mereka selalu berorientasi kepada aset daripada industri dan pemasaran, sehingga enggan berinvestasi pada promosi.

Gunadi mengatakan sasaran market para pengusaha teh yakni mengedukasi orang yang belum mengenal teh atau merebut pasar dari pengguna atau peminum teh merek lain. Untuk merebut itu, perlu dilakukan dengan promosi yang biayanya sekitar 30-40 persen dari biaya produksi.

“Jadi menghilirkan itu masih menjadi pekerjaan sampingan. Kita harus keluar dari commodity trap. Caranya harus ke manufaktur, tidak cukup hanya agrikultur,” tegasnya.

Oleh karena itu, Gunadi menyebut Tambi sedang berproses untuk turut mengarah ke hilirisasi. Namun memang butuh waktu untuk semua pihak memahami kebutuhan ini. 

Baca juga: Berkunjung ke House of Tea, Hidden Gem Bagi Penikmat Teh di Ibu Kota

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Rekomendasi Lembaga Kursus Bahasa Inggris, Belajarnya Anti Mainstream

BERIKUTNYA

Fitur Kamera Samsung Galaxy A35 5G vs Vivo V30e, Mana yang Unggul?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: