Ryan Luqman Hakim Tunjukkan Keindahan dari Karat dalam Pameran Reflectry_: So Far So Good
27 May 2024 |
13:33 WIB
Karat ada dalam setiap sudut dan dekat dengan kehidupan banyak orang. Namun, kehadirannya kerap tidak diinginkan, sehingga banyak orang ingin menghapus atau menghilangkannya. Meskipun begitu, tidak untuk seniman Ryan Luqman Hakim.
Lewat pameran bertajuk Reflectry_: So Far So Good, Ryan memperlihatkan keindahan dan gambaran berbeda dari karat. Berpadu dengan warna-warna lain, sang seniman merekam bagian tidak diinginkan yang kerap menempel dalam besi itu menjadi karya seni yang memukau.
Baca juga: Debut di Indonesia, Cek 5 Karya Seni Unik Patricia Piccinini di Pameran Care Museum MACAN
Ryan mengungkapkan bahwa penggunaan karat sebagai karya seni muncul lantaran tepat untuk menggambarkan usianya yang sudah mencapai 50 tahun. “Setelah panjang lebar, ketemu dengan karat. Kenapa karat? Mungkin 50 tahun adalah usia yang sudah berkarat,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Meskipun demikian, dia melihat karat memiliki keindahan yang tidak terduga. Karat yang cenderung untuk disingkirkan atau dihilangkan oleh banyak orang ternyata menyimpan keindahdan dan kesenangan tersendiri bagi diri.
Dalam karya-karya yang dipamerkan, Ryan juga menggunakan berbagai warna yang sangat kaya. Warna-warna ini merupakan simbol kehidupan selama 50 tahun yang telah berjalan sangat dinamis dan penuh dengan warna.
Perjalanan hidup penuh warna itu menjadi pilihannya. Selain sebagai seorang seniman, dia juga memiliki peran lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Karya hasil jepretan kameranya dalam pameran yang berlangsung hingga 3 Juni 2024 itu juga menyajikan bentuk baru kepada penikmat karyanya dalam pameran di Cemara 6 Galeri – Toety Herati Museum yang berlangsung hingga 3 Juni 2024.
Lewat karya-karyanya, sang seniman terlihat menyajikan isu dan tema yang sangat beragam, dari tentang sosial sampai cinta. Salah satu karya itu berjudul Rapat Umum Pemangku Nasib yang dibuat pada 2023. Dengan medium UV Lamination on Block berukuran 30 x 30 cm setiap bingkainya, dia menyusun karya ini menjadi bentuk meja dengan menyandingkan 8 potongan.
Warna kuning dari karat diubah oleh sang seniman sehingga terlihat begitu mewah dan elegan. Kemewahan dan kemegahan serta meja - sebagai bentuk baru yang ditampilkannya menjadi simbol bagi para pemegang kekuasaan.
Ryan mengungkapkan bahwa Rapat Umum Pemangku Nasib sebenarnya satu karya yang kemudian disusun sedemikian rupa. Dalam karya tersebut terdapat satu orang, penjaga, dan juga meja rapat yang digunakan.
Karya tersebut bercerita tentang cara orang memikirkan nasib orang lain. Namun, sebenarnya buat diri sendiri. Dalam deskripsinya, dia menuliskan bahwa sebagian orang merasa penting untuk menguasi, mengatur, dan menentukan nasib orang lain atas kepentingan dirinya.
Sementara itu, sebagian lagi menyediakan diri untuk membantu dan menemani perjalanan nasib orang lain sebagai saudaranya.
Kemudian, lewat karya berjudul Ain’t See Love Likes That, Ryan berbicara tentang rasa cinta. Karya ini menggambarkan cinta adalah kekuatan terbesar di dunia dan melebihi kebencian serta dapat memiliki kemampuan untuk menyembuhkan.
Karya yang terdiri dari 4 potongan dengan medium UV print on alumunium composite, 60 x 45 cm itu, Ryan bermain dengan lubang dan retak sebagai simbol luka.
Kurator Ismet Zainal Effendi mengatakan Ryan menghadirkan citra atau imaji pareidola dalam karya-karyanya. Imaji ini adalah fenomena psikologis yang melibatkan stimulus samar dan acak yang dianggap penting.
Pareidolia termasuk ilusi visual atau kekeliruan yang bersifat ambigu dari seorang dalam memaknai sebuah citra terhadap objek. Imaji-imaji itu tampak seperti datang begitu saja karena ditunjang oleh pengetahun individu yang sudah ada tentang sesuatu.
Sang seniman dengan kejeliannya berupaya menangkap citra pareidolia dengan kamera. Kejelian tersebut penting dan menjadi kemampuan khusus yang harus ada dalam diri seorang perupa fotografi.
“Berbeda dengan pelukis yang orientasinya menyampaikan pesan melalui citraan yang diciptakannya, perupa fotografi tidak menciptakan citra,” ujarnya.
Dia menuturkan bahwa perupa fotografi menangkap dan merekam citra. Dengan begitu, sang seniman harus memiliki ketajaman penglihatan. Visi seorang perupa fotografi harus lebih awas dan tajam jika dibandingkan dengan perupa lainnya.
Dalam pameran ini, Ryan mengumpulkan citra yang ditangkap dengan komposisi yang khas dengan nuansa non representatif. Jadi, hampir semua imajinya tidak mudah dikenali oleh para penikmat karya sebagai objek yang banal.
Dia menyembunyikan citra dengan perpaduan tekstur dan warna yang harmonis. Jadi, para penikmat karya akan seperti berhadapan dengan citra-citra enigmatic ketika melihat karyanya. Citra enigmatic adalah gambaran yang mistis dan misterius lantaran ada impresi kontras antara kegetiran dan keceriaan yang disuguhkan dalam satu frame.
Efek korosi dan rusak memberikan tekstur dan nuansa yang berkarakter kuat di setiap karyanya. Dia mencoba merefleksikan gagasan-gagasan yang dimiliki dalam karya fotografi secara detonatif dan konotatif.
Langkah itu terdapat dalam beberapa karya yang memang sengaja menggunakan efek pantulan cermin, sehingga jelas terlihat reflektif dan memunculkan imaji-imaji figuratif bersifat pareidolia.
Baca juga: Refleksi Kompleksitas Budaya yang Dinamis Tersaji dalam Pameran Tunggal Sasya Tranggono
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Lewat pameran bertajuk Reflectry_: So Far So Good, Ryan memperlihatkan keindahan dan gambaran berbeda dari karat. Berpadu dengan warna-warna lain, sang seniman merekam bagian tidak diinginkan yang kerap menempel dalam besi itu menjadi karya seni yang memukau.
Baca juga: Debut di Indonesia, Cek 5 Karya Seni Unik Patricia Piccinini di Pameran Care Museum MACAN
Ryan mengungkapkan bahwa penggunaan karat sebagai karya seni muncul lantaran tepat untuk menggambarkan usianya yang sudah mencapai 50 tahun. “Setelah panjang lebar, ketemu dengan karat. Kenapa karat? Mungkin 50 tahun adalah usia yang sudah berkarat,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Meskipun demikian, dia melihat karat memiliki keindahan yang tidak terduga. Karat yang cenderung untuk disingkirkan atau dihilangkan oleh banyak orang ternyata menyimpan keindahdan dan kesenangan tersendiri bagi diri.
Karya seniman Ryan Luqman Hakim (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Dalam karya-karya yang dipamerkan, Ryan juga menggunakan berbagai warna yang sangat kaya. Warna-warna ini merupakan simbol kehidupan selama 50 tahun yang telah berjalan sangat dinamis dan penuh dengan warna.
Perjalanan hidup penuh warna itu menjadi pilihannya. Selain sebagai seorang seniman, dia juga memiliki peran lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Karya hasil jepretan kameranya dalam pameran yang berlangsung hingga 3 Juni 2024 itu juga menyajikan bentuk baru kepada penikmat karyanya dalam pameran di Cemara 6 Galeri – Toety Herati Museum yang berlangsung hingga 3 Juni 2024.
Lewat karya-karyanya, sang seniman terlihat menyajikan isu dan tema yang sangat beragam, dari tentang sosial sampai cinta. Salah satu karya itu berjudul Rapat Umum Pemangku Nasib yang dibuat pada 2023. Dengan medium UV Lamination on Block berukuran 30 x 30 cm setiap bingkainya, dia menyusun karya ini menjadi bentuk meja dengan menyandingkan 8 potongan.
Karya Ryan Luqman Hakim, Rapat Umum Pemangku Nasib. (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Ryan mengungkapkan bahwa Rapat Umum Pemangku Nasib sebenarnya satu karya yang kemudian disusun sedemikian rupa. Dalam karya tersebut terdapat satu orang, penjaga, dan juga meja rapat yang digunakan.
Karya tersebut bercerita tentang cara orang memikirkan nasib orang lain. Namun, sebenarnya buat diri sendiri. Dalam deskripsinya, dia menuliskan bahwa sebagian orang merasa penting untuk menguasi, mengatur, dan menentukan nasib orang lain atas kepentingan dirinya.
Sementara itu, sebagian lagi menyediakan diri untuk membantu dan menemani perjalanan nasib orang lain sebagai saudaranya.
Kemudian, lewat karya berjudul Ain’t See Love Likes That, Ryan berbicara tentang rasa cinta. Karya ini menggambarkan cinta adalah kekuatan terbesar di dunia dan melebihi kebencian serta dapat memiliki kemampuan untuk menyembuhkan.
Karya yang terdiri dari 4 potongan dengan medium UV print on alumunium composite, 60 x 45 cm itu, Ryan bermain dengan lubang dan retak sebagai simbol luka.
Kurator Ismet Zainal Effendi mengatakan Ryan menghadirkan citra atau imaji pareidola dalam karya-karyanya. Imaji ini adalah fenomena psikologis yang melibatkan stimulus samar dan acak yang dianggap penting.
Pareidolia termasuk ilusi visual atau kekeliruan yang bersifat ambigu dari seorang dalam memaknai sebuah citra terhadap objek. Imaji-imaji itu tampak seperti datang begitu saja karena ditunjang oleh pengetahun individu yang sudah ada tentang sesuatu.
Sang seniman dengan kejeliannya berupaya menangkap citra pareidolia dengan kamera. Kejelian tersebut penting dan menjadi kemampuan khusus yang harus ada dalam diri seorang perupa fotografi.
“Berbeda dengan pelukis yang orientasinya menyampaikan pesan melalui citraan yang diciptakannya, perupa fotografi tidak menciptakan citra,” ujarnya.
Dia menuturkan bahwa perupa fotografi menangkap dan merekam citra. Dengan begitu, sang seniman harus memiliki ketajaman penglihatan. Visi seorang perupa fotografi harus lebih awas dan tajam jika dibandingkan dengan perupa lainnya.
Dalam pameran ini, Ryan mengumpulkan citra yang ditangkap dengan komposisi yang khas dengan nuansa non representatif. Jadi, hampir semua imajinya tidak mudah dikenali oleh para penikmat karya sebagai objek yang banal.
Dia menyembunyikan citra dengan perpaduan tekstur dan warna yang harmonis. Jadi, para penikmat karya akan seperti berhadapan dengan citra-citra enigmatic ketika melihat karyanya. Citra enigmatic adalah gambaran yang mistis dan misterius lantaran ada impresi kontras antara kegetiran dan keceriaan yang disuguhkan dalam satu frame.
Efek korosi dan rusak memberikan tekstur dan nuansa yang berkarakter kuat di setiap karyanya. Dia mencoba merefleksikan gagasan-gagasan yang dimiliki dalam karya fotografi secara detonatif dan konotatif.
Langkah itu terdapat dalam beberapa karya yang memang sengaja menggunakan efek pantulan cermin, sehingga jelas terlihat reflektif dan memunculkan imaji-imaji figuratif bersifat pareidolia.
Baca juga: Refleksi Kompleksitas Budaya yang Dinamis Tersaji dalam Pameran Tunggal Sasya Tranggono
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.