Review Film Malam Pencabut Nyawa, Menyibak Dunia Alam Mimpi yang Misterius
22 May 2024 |
13:51 WIB
1
Like
Like
Like
Butuh banyak peristiwa, perkenalan, dan dukungan dari orang-orang terdekat sebelum akhirnya tokoh utama, Respati, yang diperankan Devano Danendra, berhasil lepas dari belantara alam mimpi misterius yang selalu menghantuinya sepanjang malam.
Dalam film Malam Pencabut Nyawa, Respati, seorang anak SMA yang malang itu memang digambarkan punya semacam kekuatan khusus. Dia bisa dengan mudah mengalami lucid dream, yakni ketika seseorang berada dalam alam mimpi, tetapi dia tetap berada dalam kesadaran penuh.
Fenomena ini membuat Respati bisa berpetualang di dalam mimpinya. Namun, petualangan di alam mimpi tersebut rupanya bukanlah hal yang menyenangkan, sebaliknya, justru adalah hal yang menakutkan dan meneror.
Baca juga: Review Badarawuhi di Desa Penari: Penuh Mistik Berbalut Folklor yang Kuat
Hidup Respati pun jadi berubah. Dia yang awalnya begitu ramah dan ceria, mendadak jadi penuh ketakutan. Di kehidupan nyata, dia jadi pribadi yang mudah marah, bahkan terhadap kakeknya, satu-satunya keluarga yang tersisa di hidupnya.
Oleh karenanya, ketika akhirnya arti mimpinya itu bisa dipahaminya sepenuhnya, dan dirinya bisa keluar dari belantara alam aneh yang menyeramkan, hidupnya kembali ceria. Setelah malam-malam yang panjang dan penuh ketakutan, Respati akhirnya bisa hidup normal kembali.
Ini adalah kali kedua bagi Respati merasakan kembali hidup, setelah sempat terasa seperti mati. Hidup pertama terjadi ketika Respati lahir ke dunia dan tumbuh jadi anak-anak seperti umumnya. Dia dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang begitu sayang kepadanya.
Hidup kedua adalah saat ini, hanya bersama kakeknya, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam sebuah upaya perampokan yang sadis.
Di dalam hutan tersebut, terdapat pohon-pohon tua dan besar dengan batangnya runcing, seolah siap menusuk siapa saja yang lengah. Kabut putih juga selalu menyelimuti hutan di alam mimpi tersebut.
Sepanjang film Malam Pencabut Nyawa, kamera akan mengajak penonton untuk memasuki alam mimpi Respati yang penuh misteri. Kerap kali, kamera mengajak mata penonton mengikuti pandangan dari Respati melihat hutan yang terasa sepi dan hampa tersebut.
Keberadaan alam mimpi yang digambarkan sebagai hutan belantara yang hampa tampak jadi sesuatu yang menarik. Hutan ini seperti sebuah realitas abu-abu seseorang yang sedang dihinggapi perasaan trauma. Begitu gelap, menakutkan, dan dingin.
Dalam adegan-adegan awal, Respati kerap kali merasa kebingungan dengan alam mimpi tersebut. Dia mencoba mencerna apa itu dunia mimpi sebenarnya. Namun, tak juga menemukan petunjuk yang didapatnya.
Saat terbangun, dia pun masih tak paham. Ketika kakeknya menyadari kejanggalan di hidupnya, Respati juga tak bisa bercerita, hanya bingung mencerna. Pun ketika dia juga dibawa ke psikolog, tak ada satu pun kata terucap. Respati masih mengurung diri.
Berduka memang hal yang kompleks. Psikiater Elisabeth Kubler-Ross pernah menyebut orang berduka biasanya akan mengalami beberapa fase, dari menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan menerima. Seiring berjalannya film, Respati melewati fase-fase tersebut dalam beberapa adegan penting di filmnya.
Beruntungnya, Respati juga dikelilingi oleh support system yang baik di lingkungannya, baik dari pertemanan maupun keluarganya. Bersama dengan orang-orang terdekatnya, Respati mencoba memahami arti mimpinya dan perlahan keluar dari belantara gelapnya hutan yang ada di pikirannya.
Baca juga: Review Film Siksa Kubur, Minim Parade Jumpscare Tapi Penuh Kengerian
Tak hanya menyentil isu penting soal trauma, Malam Pencabut Nyawa juga membawa hal menarik untuk makin meregenerasi horor Indonesia. Alih-alih menjual jumpscare semata, sutradara Sidharta Tata memainkan banyak genre yang membuat film ini makin berwarna.
Film ini dengan cerdik menyelipkan elemen heroik dari kisah perjalanan Respati menelusuri alam mimpinya. Kemasannya memang horor, tetapi rasanya adalah superhero lokal. Pendekatan ini membuat pertarungan antara ‘setan’ dan ‘manusia’ jadi lebih seru.
Kapan lagi melihat entitas hantu yang tidak hanya muncul hanya untuk mengagetkan, tetapi justru harus dilawan. Layaknya formula superhero, hantu tersebut digambarkan sebagai sosok yang punya kekuatan super.
Namun, dia masih bisa dikalahkan dengan cara tertentu. Sepanjang film, Respati dan kawan-kawannya pun mencari berbagai cara untuk memahami hal tersebut untuk kemudian bisa bertarung melawan setan.
Dengan menggabungkannya dengan unsur lokalitas yang kuat, film ini jadi sajian yang apik dalam menggali mitologi mistis lokal yang memang sudah menarik. Dalam film ini, Tata menggunakan mitologi jenglot yang dibangun secara segar dan mudah dimengerti.
Dia meramu itu dengan baik, dari desain karakter hingga konteks ritual yang muncul di dalamnya. Film ini juga tak segan memberikan background karakter dan cerita sehingga narasinya menjadi lengkap. Hal ini membuat world building yang coba disusun Tata melebur dengan baik.
Dia bermain-main dengan rasa percaya dan tidak, mitos atau fakta, dunia nyata atau alam mimpi, yang menjadi kekuatan besar di film ini. Penulisannya yang rapi dan eksekusinya yang tidak terburu-buru juga membuat film ini memberi ruang eksplorasi yang megah.
Dalam setiap babaknya, penonton diberikan petunjuk satu demi satu untuk terus menerka ujung filmnya akan seperti apa, dengan cara yang begitu khidmat. Terasa betul kalau sutradara diberi kebebasan penuh dalam ruang kreatifnya. Rasanya, Tata benar-benar diberi ruang bermain yang besar di film ini.
Di film ini, Tata juga banyak mengeksplorasi pengambilan gambar. Ada banyak shot menarik dan eksperimental. Salah satu yang menarik adalah adegan Respati keluar dari kamar rumahnya, tetapi langsung menuju jalan raya.
Lalu, adegan berkelahi dengan setan yang ikonik, terutama ketika sati di antaranya terlempar, lalu muncul kaki yang mengepot [drifting] seperti superhero. Hal itu, masih didukung oleh penggunaan CGI yang keren, Terlebih yang berkaitan dengan karakter Sukma yang diperankan Ratu Felisha.
Setiap karakter yang muncul di film ini berhasil dieksekusi dengan baik. Karakter tersebut meski muncul sekilas, tetap punya peran untuk membuat film ini makin maju ke depan. Tak ada yang terasa sia-sia di film ini.
Devano Danendra yang menjadi karakter utama, Respati, tampil dengan gemilang. Dia menunjukan range emosi yang lebar saat perasaanya mesti ditahan hingga pada saatnya akan meledak juga.
Keisya Levronka juga menjadi pemain yang patut diacungi jempol. Pembawaannya yang misterius membuat film ini penuh dengan tebak-tebakan. Adegan kesurupannya selalu istimewa, beringas, dan mencekam.
Selain itu, Ratu Felisha juga bermain sangat baik. Dia memerankan sosok hantu sebagai entitas yang punya kekuatan super yang patut ditakuti. Kedigdayaannya benar-benar terasa hingga siapa pun yang akan melawannya perlu strategi yang matang.
Film Malam Pencabut Nyawa kini sudah bisa ditonton di bioskop mulai Rabu (22/5/2024).
Baca juga: Review Film The Architecture of Love, Perjalanan Cinta untuk Memeluk Trauma
.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dalam film Malam Pencabut Nyawa, Respati, seorang anak SMA yang malang itu memang digambarkan punya semacam kekuatan khusus. Dia bisa dengan mudah mengalami lucid dream, yakni ketika seseorang berada dalam alam mimpi, tetapi dia tetap berada dalam kesadaran penuh.
Fenomena ini membuat Respati bisa berpetualang di dalam mimpinya. Namun, petualangan di alam mimpi tersebut rupanya bukanlah hal yang menyenangkan, sebaliknya, justru adalah hal yang menakutkan dan meneror.
Baca juga: Review Badarawuhi di Desa Penari: Penuh Mistik Berbalut Folklor yang Kuat
Still Photo Malam Pencabut Nyawa (Sumber gambar: Base Entertainment)
Oleh karenanya, ketika akhirnya arti mimpinya itu bisa dipahaminya sepenuhnya, dan dirinya bisa keluar dari belantara alam aneh yang menyeramkan, hidupnya kembali ceria. Setelah malam-malam yang panjang dan penuh ketakutan, Respati akhirnya bisa hidup normal kembali.
Ini adalah kali kedua bagi Respati merasakan kembali hidup, setelah sempat terasa seperti mati. Hidup pertama terjadi ketika Respati lahir ke dunia dan tumbuh jadi anak-anak seperti umumnya. Dia dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang begitu sayang kepadanya.
Hidup kedua adalah saat ini, hanya bersama kakeknya, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam sebuah upaya perampokan yang sadis.
Tersesat di Alam Mimpi
Setelah orang tuanya meninggal, Respati memang jadi mudah terbawa ke alam mimpi. Ketika tengah malam, dirinya bisa masuk ke alam mimpi dengan mudah. Alam mimpi yang selalu dimasuki oleh Respati berbentuk hutan belantara yang mencekam.Di dalam hutan tersebut, terdapat pohon-pohon tua dan besar dengan batangnya runcing, seolah siap menusuk siapa saja yang lengah. Kabut putih juga selalu menyelimuti hutan di alam mimpi tersebut.
Sepanjang film Malam Pencabut Nyawa, kamera akan mengajak penonton untuk memasuki alam mimpi Respati yang penuh misteri. Kerap kali, kamera mengajak mata penonton mengikuti pandangan dari Respati melihat hutan yang terasa sepi dan hampa tersebut.
BTS Malam Pencabut Nyawa (Sumber gambar: Base Entertainment)
Dalam adegan-adegan awal, Respati kerap kali merasa kebingungan dengan alam mimpi tersebut. Dia mencoba mencerna apa itu dunia mimpi sebenarnya. Namun, tak juga menemukan petunjuk yang didapatnya.
Saat terbangun, dia pun masih tak paham. Ketika kakeknya menyadari kejanggalan di hidupnya, Respati juga tak bisa bercerita, hanya bingung mencerna. Pun ketika dia juga dibawa ke psikolog, tak ada satu pun kata terucap. Respati masih mengurung diri.
Berduka memang hal yang kompleks. Psikiater Elisabeth Kubler-Ross pernah menyebut orang berduka biasanya akan mengalami beberapa fase, dari menyangkal, marah, tawar-menawar, depresi, dan menerima. Seiring berjalannya film, Respati melewati fase-fase tersebut dalam beberapa adegan penting di filmnya.
Beruntungnya, Respati juga dikelilingi oleh support system yang baik di lingkungannya, baik dari pertemanan maupun keluarganya. Bersama dengan orang-orang terdekatnya, Respati mencoba memahami arti mimpinya dan perlahan keluar dari belantara gelapnya hutan yang ada di pikirannya.
Baca juga: Review Film Siksa Kubur, Minim Parade Jumpscare Tapi Penuh Kengerian
Horor dengan Rasa Superhero
Tak hanya menyentil isu penting soal trauma, Malam Pencabut Nyawa juga membawa hal menarik untuk makin meregenerasi horor Indonesia. Alih-alih menjual jumpscare semata, sutradara Sidharta Tata memainkan banyak genre yang membuat film ini makin berwarna.Film ini dengan cerdik menyelipkan elemen heroik dari kisah perjalanan Respati menelusuri alam mimpinya. Kemasannya memang horor, tetapi rasanya adalah superhero lokal. Pendekatan ini membuat pertarungan antara ‘setan’ dan ‘manusia’ jadi lebih seru.
Kapan lagi melihat entitas hantu yang tidak hanya muncul hanya untuk mengagetkan, tetapi justru harus dilawan. Layaknya formula superhero, hantu tersebut digambarkan sebagai sosok yang punya kekuatan super.
Namun, dia masih bisa dikalahkan dengan cara tertentu. Sepanjang film, Respati dan kawan-kawannya pun mencari berbagai cara untuk memahami hal tersebut untuk kemudian bisa bertarung melawan setan.
Still Photo Malam Pencabut Nyawa (Sumber gambar: Base Entertainment)
Dia meramu itu dengan baik, dari desain karakter hingga konteks ritual yang muncul di dalamnya. Film ini juga tak segan memberikan background karakter dan cerita sehingga narasinya menjadi lengkap. Hal ini membuat world building yang coba disusun Tata melebur dengan baik.
Dia bermain-main dengan rasa percaya dan tidak, mitos atau fakta, dunia nyata atau alam mimpi, yang menjadi kekuatan besar di film ini. Penulisannya yang rapi dan eksekusinya yang tidak terburu-buru juga membuat film ini memberi ruang eksplorasi yang megah.
Dalam setiap babaknya, penonton diberikan petunjuk satu demi satu untuk terus menerka ujung filmnya akan seperti apa, dengan cara yang begitu khidmat. Terasa betul kalau sutradara diberi kebebasan penuh dalam ruang kreatifnya. Rasanya, Tata benar-benar diberi ruang bermain yang besar di film ini.
Di film ini, Tata juga banyak mengeksplorasi pengambilan gambar. Ada banyak shot menarik dan eksperimental. Salah satu yang menarik adalah adegan Respati keluar dari kamar rumahnya, tetapi langsung menuju jalan raya.
Lalu, adegan berkelahi dengan setan yang ikonik, terutama ketika sati di antaranya terlempar, lalu muncul kaki yang mengepot [drifting] seperti superhero. Hal itu, masih didukung oleh penggunaan CGI yang keren, Terlebih yang berkaitan dengan karakter Sukma yang diperankan Ratu Felisha.
Range Emosi Aktor yang Memukau
Setiap karakter yang muncul di film ini berhasil dieksekusi dengan baik. Karakter tersebut meski muncul sekilas, tetap punya peran untuk membuat film ini makin maju ke depan. Tak ada yang terasa sia-sia di film ini. Devano Danendra yang menjadi karakter utama, Respati, tampil dengan gemilang. Dia menunjukan range emosi yang lebar saat perasaanya mesti ditahan hingga pada saatnya akan meledak juga.
Keisya Levronka juga menjadi pemain yang patut diacungi jempol. Pembawaannya yang misterius membuat film ini penuh dengan tebak-tebakan. Adegan kesurupannya selalu istimewa, beringas, dan mencekam.
Selain itu, Ratu Felisha juga bermain sangat baik. Dia memerankan sosok hantu sebagai entitas yang punya kekuatan super yang patut ditakuti. Kedigdayaannya benar-benar terasa hingga siapa pun yang akan melawannya perlu strategi yang matang.
Film Malam Pencabut Nyawa kini sudah bisa ditonton di bioskop mulai Rabu (22/5/2024).
Baca juga: Review Film The Architecture of Love, Perjalanan Cinta untuk Memeluk Trauma
.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.