Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)

Review Film Siksa Kubur, Minim Parade Jumpscare Tapi Penuh Kengerian

11 April 2024   |   08:41 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Film Siksa Kubur mewujudkan konsep menarik dari hukum sebab-akibat yang membawa karakter di dalamnya ke sebuah petualangan ekstrem pencarian keadilan. Dibalut dengan bumbu religi yang pas dan tidak menggurui, Siksa Kubur juga membawa warna baru dalam pandemi film horor yang sedang terjadi di Indonesia.

Selayaknya kehadiran Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar juga menyuguhkan Siksa Kubur (2024) sebagai alternatif, atau bisa jadi masa depan, wajah horor Indonesia. Ini adalah tipikal film slow burn (kelambanan), yang menawarkan kengerian lewat suasana yang dialami karakter di dalamnya, alih-alih hanya menjual parade jumpscare

Baca juga: Lokasi Bioskop dan Jadwal Tayang Film Siksa Kubur di Jakarta, Bandung hingga Solo

Sebelumnya, Joko Anwar juga pernah memakai formula ini di beberapa filmnya, termasuk Grave Torture, film pendek produksi 2012 yang punya hubungan erat dengan film ini Namun, di Siksa Kubur, eksplorasi yang dilakukannya jauh lebih dalam.

Film yang diproduksi oleh Come and See Pictures ini berhasil mencuri perhatian sejak awal film berjalan. Film ini menegaskan kembali kalau Joko Anwar punya keahlian spesial dalam menyusun world building film-filmnya.
 

Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)

Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)


Meski rasanya belum sebombastis opening Perempuan Tanah Jahanam (2019), yang ketika dipotong bisa jadi film pendek sendiri, Siksa Kubur tetap menyuguhkan pembuka film yang langsung bikin mata melek.

Set toko roti jadulnya dipertontonkan dengan premis. Motivasi dari para aktor di dalamnya jelas, sehingga memancing film ini untuk terus bergerak maju ke depan dengan fondasi awal yang kuat.

Sekitar 5-10 menit pertama adalah momen yang sangat penting di film ini. Sebaiknya, tidak terlambat masuk ke bioskop karena bisa mengurangi emosi penonton terhadap perjalanan spiritual karakternya.

Film Siksa Kubur bercerita tentang Sita yang tidak lagi percaya dengan agama setelah kedua orang tuanya jadi korban bom bunuh diri. Sejak saat itu, tujuan hidup Sita hanya satu: mencari orang paling berdosa dan ketika orang itu meninggal, Sita ingin ikut ke dalam kuburannya untuk membuktikan bahwa siska kubur dan agama tidak nyata.

Joko dengan piawai menyeret isu sosial yang sebenarnya cukup sensitif, tentang bom bunuh diri, pelecehan seksual di kalangan santri, dan kehidupan panti jompo. Joko menyentil relasi kuasa, uang, dan agama yang bisa membuat manusia terlena dan berbuat dosa.

Dengan melakukan penekanan pada aspek cerita yang intens, departemen aktor memang menjadi andalan untuk menghidupkan filmnya. Tak mengherankan jika Joko Anwar kemudian memilih aktor dan aktris terbaik Tanah Air.

Siksa Kubur dimainkan oleh para aktor terbaik nomine dan penerima Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI). Jika ditotal secara keseluruhan, para aktor dan kru di film ini punya koleksi 51 peraih Piala Citra.

Mereka adalah Faradina Mufti, Widuri Puteri Sasono, Reza Rahadian, Muzakki Ramdhan, Happy Salma, dan Fachry Albar. Tak hanya itu, film ini juga dibintangi oleh maestro seni peran seperti Christine Hakim, Slamet Rahadjo, Arswendy Bening Swara, Jajang C. Noer, Niniek L Karim, Djenar Maesa Ayu, Putri Ayudya.

 
Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)
Akting dari Widuri Puteri dan Faradina Mufti yang memerankan Sita kecil dan Sita Dewasa, lalu Muzakki Ramdhan dan Reza Rahadian yang memerankan Adil kecil dan Adil dewasa patut jadi sorotan utama sepanjang film berlangsung.

Transisi karakter dari anak-anak, remaja, hingga dewasa benar-benar berjalan mulus. Jiwa dan karakter mereka terbentuk perlahan dan makin menguat setelahnya. Penonton pun dibuat percaya dengan ragam motivasi kuat yang muncul di setiap kisah perjalanan kehidupan mereka.

Di luar itu, nama-nama maestro yang hadir, seperti Christine Hakim, Slamet Rahardjo, hingga Awswendy Bening juga tak kalah dalam hal mencuri perhatian. Bisa dibilang, kemunculan setiap karakter di film ini, baik yang punya screen time banyak dan sedikit, sama-sama berkesan dan punya arti penting. 

Baca juga: 7 Rekomendasi Film Sutradara Joko Anwar, Terbaru Siksa Kubur Tayang 11 April 2024

Adegan Slamet Rahardjo di ruang kamarnya ketika bermonolog dengan iringan lagu lawas dari Gesang adalah salah satu part ikonik. Kemunculan Afrian Arisandy yang singkat di awal film juga jadi sesuatu yang fenomenal.
Kualitas pemain yang mentereng juga didukung dengan sinematografi yang tak kalah memanjakan mata.

Camera works yang dipakai Jaisal Tanjung sukses membuat film ini terasa realistis. Sepanjang film, penonton dibuat tidak nyaman lewat bahasa visual yang meyakinkan tersebut.

Visual tersebut makin terasa creepy ketika berpadu dengan sound design yang dibangun Aghi Narottama. Suara latar yang muncul bukan hanya sebagai pengiring, melainkan punya nyawa lain yang ikut memperdalam layer ceritanya.

Aghi kerap memainkan suara-suara ritmis statis yang bikin begidik. Formula ini agaknya menjadi obat dari film ini yang memang diset untuk minim jumpscare, terutama pada sekitar satu jam pertamanya.

 
Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)
Namun, Joko tetap memainkan sedikit jumpscare di beberapa adegannya, walau ya terkesan mudah ditebak. Namun, di luar itu, Joko tetap memunculkan adegan ikonik yang seketika mengingatkan penonton pada scene lift di film Pengabdi Setan 2, tetapi kali ini medium yang dipakai lebih dekat dengan keseharian ‘orang rumahan’.

Joko memang piawai dalam memanfaatkan latar tempat. Selain adegan ikonik, set terowongan di film ini juga jadi nyawa yang penting di film ini, selain tentu saja kuburan. Semuanya benar-benar dieksekusi dengan baik.

Sayangnya, di pertengahan film, penonton mungkin akan disuguhkan semesta yang agaknya sudah terlalu meluas. Ada banyak metafora yang coba dihadirkan oleh Joko, tetapi rasanya itu membuat film ini jadi terlewat panjang dan lebar.

Namun, slow burn (kelambanan) ini bisa jadi adalah tahapan untuk makin memperkuat pengembangan karakternya. Walau memang kekosongan motivasi masih tampak di beberapa adegan tertentu, hal ini ditambah dialog yang memunculkan perasaan ‘lah kok bisa begitu’ jadi hal minor yang sebenarnya bikin sebal.

Di luar kekurangan itu, adegan klimaks akan menjadi penawar yang seru. Bangunan cerita yang telah kokoh akan terbayar tuntas di akhirnya. Rasa gelisah, sedih, pasrah, takut, dan mungkin reflektif bagi sebagian orang akan saling bercampur aduk.

Kemudian, elemen interakivitas juga jadi hal lain yang memberi sensasi unik. Joko bilang penonton mesti ‘berserah’, tetapi dia juga membiarkan penontonnya untuk mengalami apa yang mungkin setiap individu akan berbeda.

Khas seperti film Joko yang lain, ada part tertentu yang memang tak selalu dijelaskan gamblang. Bahkan, meski ending film ini terasa sudah tuntas, penonton masih akan bertanya-tanya soal ‘mengapa begini? Atau itu apa tadi? Atau jadi gitu ya?’ yang memancing diskusi menarik setelah film selesai.
 

Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)

Still Photo Siksa Kubur (Sumber gambar: Come and See Pictures)


Terakhir, meski film ini diplot sebagai horor religi, Siksa Kubur sebenarnya bisa dinikmati oleh semua kalangan. Tentu, ini akan menciptakan efek reflektif yang berbeda-beda. Kemudian, persiapkanlah diri kalian dengan aspek slowburn yang muncul di film ini. 

Baca juga: Film Horor Siksa Kubur dan Badarawuhi di Desa Penari Tayang di Bioskop, Cek Sinopsisnya

Seperti kata Jokan yang sering diucapkan pada saat konferensi pers, ‘penonton mesti berserah’. Sisanya, tentukan sendiri konklusi dari film ini lewat pengetahuan dan pengalaman hidup masing-masing. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Film Horor Siksa Kubur dan Badarawuhi di Desa Penari Tayang di Bioskop, Cek Sinopsisnya

BERIKUTNYA

Review Badarawuhi di Desa Penari: Penuh Mistik Berbalut Folklor yang Kuat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: