Kelompok Teater Mandiri mementaskan naskah Aum di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 4-5 Januari 2023. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung)

Putu Wijaya Bakal Pentaskan Aduh, Naskah Ikoniknya yang Berusia Setengah Abad

10 May 2024   |   21:56 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Bagi penikmat sastra, nama Putu Wijaya tentu sudah tidak asing lagi. Sebab, seniman gaek asal Bali itu dikenal sebagai esais, cerpenis, penulis naskah, hingga sutradara yang memiliki pengaruh kuat di lanskap kesenian, khususnya teater lewat grup asuhannya Teater Mandiri. 

Di usianya yang senja, penulis novel Bila Malam Bertambah Malam itu masih terus berkarya. Terbaru, sutradara yang dikenal dengan konsep teror mental itu akan mementaskan lagi salah satu naskah ikoniknya, Aduh yang memenangkan Lomba Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. 

Baca juga: Menilik Konsep Pagelaran Sabang Merauke, Bakal Hadirkan Sekuel Tema Pahlawan Nusantara

Pertunjukan ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Setengah Abad "Aduh" yang dihelat di Salihara pada 10-12 Mei 2024. Selain pertunjukkan, kegiatan ini juga akan menampilkan pembacaan fragmen karya-karya Putu Wijaya oleh alumni Kelas Akting Salihara hingga diskusi dengan Goenawan Mohamad. 

Kurator Teater Komunitas Salihara, Hendromasto, dalam siaran tertulis mengatakan, Aduh merupakan salah satu karya yang menandai jejak karier Putu Wijaya di dunia kepenulisan. Bertolak dari naskah inilah, menurutnya, Putu mulai menjauh dari realisme dengan menghadirkan absurditas manusia. 
 

Tak hanya itu, setelah Aduh, Putu juga konsisten menciptakan naskah teater atau karya sastra dengan judul-judul singkat dan hanya terdiri dari satu suku kata. Beberapa di antaranya seperti Keok, Blong, Gerr, Aum, Tai, Hah, Blong, Merdeka, Anu, Jprutt, dan masih banyak lagi. Idiomatika judul inilah yang juga menjadi ciri khas seorang Putu Wijaya. 

Hendro menjelaskan, cerita dalam naskah Aduh terinspirasi dari konflik manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. Namun, apakah komunitas yang sudah menzalimi individu atau individu yang sejatinya menindas komunitas, keputusannya anti akan diserahkan kepada penonton. 

Secara umum, Aduh menampilkan tokoh tanpa nama yang mengerang dan mengaduh kesakitan di tengah kesibukan orang banyak. Orang-orang sibuk berdebat, perlukah memberi pertolongan tanpa pernah bertindak hingga yang sakit akhirnya mati. Mereka panik lalu susah payah membuang mayat yang sakit ke sumur. 

Namun, tanpa sadar, di antara mereka ada yang terjebak di dalam sumur. Dari sumur itu lantas muncul suara mengaduh minta tolong di sela erangan. Lagi-lagi mereka berdebat perlukah menolong tanpa pernah bertindak hingga suara itu lenyap bersama ajal yang menjemputnya. 

"Naskah ini [Aduh] juga masih relevan dengan situasi di Indonesia saat ini, di mana banyak yang hanya berbicara tanpa bertindak, bahkan dalam situasi kritis.” ujar Hendromasto.


Profil Putu Wijaya 

Dalam dunia sastra dan teater Tanah Air, Putu Wijaya dikenal sebagai seorang seniman yang lengkap. Dia piawai dalam menulis esai, cerita pendek, novel, naskah lakon, dan juga cerita film. Namun, sosok lelaki berusia 80 tahun ini tidak bisa dilepaskan dari grup teater yang diasuhnya, Teater Mandiri.

Kekaryaan Putu Wijaya dan jejaknya terentang dari 1964 saat dia masih merantau di Yogyakarta. Pada dekade tersebut dia menghasilkan karya-karya yang dekat dengan realisme, antara lain Dalam Cahaya Bulan, Lautan Bernyanyi dan Bila Malam Bertambah Malam.
 

Putu merupakan seorang penulis yang mahir membangun cerita. Dia pernah menulis novel Telegram dan berhasil menjadi pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1972). Momen ini juga disusul oleh novel-novel lainnya yang memenangkan penghargaan seperti Stasiun, Pabrik, dan lain-lain. 

Sebagai penulis, dia piawai menjelajahi prosa dan produktif melahirkan karya beragam bentuk. Tidak hanya novel, karya dramanya pun juga menarik untuk disimak, salah satunya adalah naskah Aduh yang ditulisnya pada 1971. Naskah ini; seperti karya-karya lainnya juga memenangkan Lomba Penulisan Lakon DKJ dan dipentaskan pertama kali pada 1974. 

Selain pementasan, dalam rangkaian Setengah Abad “Aduh”, publik juga akan melihat naskah Telegram dan Aduh, yang dibahas secara mendalam bersama dengan tokoh-tokoh seni seperti Goenawan Mohamad dan Cobina Gillitt. Karya Aduh juga menjadi salah satu naskah karya Putu Wijaya yang kerap dimainkan oleh banyak kelompok teater di Indonesia hingga hari ini. 

Baca juga: Eksklusif Butet Kartaredjasa: Saat Seni Menjelma Laku Spiritual & Kritik Sosial Politik

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

5 Museum Teraneh di Dunia, Koleksi Barang Mantan Hingga Kotoran

BERIKUTNYA

5 Destinasi Anti Mainstream di Kepulauan Seribu, Bikin Long Weekend Jadi Lebih Seru

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: