Instalasi Jompet Kuswidananto, Tafsir Kritis Sejarah Demokrasi Masa Lalu
23 April 2024 |
14:42 WIB
Ratusan pasang sepatu tampak berjajar rapi di lantai. Di atasnya bergelantungan setang motor, manekin berpenutup kepala dengan helm, dan sederet bendera dari berbagai ormas. Ditingkahi bunyi snare drum, sebuah video juga memperlihatkan ratusan orang sedang berkonvoi.
Visual yang terasa riuh itu menyeruak di depan mata. Dalam video, tampak kelimun orang berjalan mengendarai motor, sedang yang lain menaiki mobil di bak terbuka. Momen parade seolah dipindahkan ke sebuah galeri di bilangan Jakarta selatan itu.
Karya tersebut merupakan instalasi berjudul After Voices [Setelah Suara-suara] dalam pameran tunggal Jompet Kuswidananto bertajuk March, di Baik Art Jakarta. Pameran ini dihelat pada 22 Maret-27 April 2024, dan menampilkan sepilihan karya-karya terbaru dan lama Jompet.
Baca juga: Sambut Record Store Day, MataWaktu Gelar Pameran Sampul Vinyl No Music, Noise!
After Voices merupakan instalasi yang berusaha merefleksikan 15 tahun reformasi Indonesia. Menurut Jompet, dia ingin memvisualkan bagaimana demokrasi saat itu diolah dari sisi pertunjukan, yaitu lewat atribut-atribut dan mars lagu yang menarik perhatian di jalanan.
Seniman asal Yogyakarta itu menjelaskan, pasca-reformasi masyarakat mulai terlatih untuk memunculkan performativitas dalam berdemokrasi dan mengekspresikan suara politik. Puncaknya adalah momen mobilisasi massa yang menjadi salah satu kunci untuk mengamplifikasi satu suara demi kedaulatan rakyat.
Pengorganisasian massa pada saat itu juga masih signifikan untuk memengaruhi kebijakan. Namun, tren tersebut saat ini menurutnya agak bergeser, karena performativitas demokrasi sudah mulai berpindah ke media sosial. "Saat ini narasi-narasi politik sudah berkelindan dan pindah ke media sosial," katanya.
Refleksi Jompet terhadap riuh rendah demokrasi dan masa lalu juga terefleksi dalam seri karya berjudul Mnemonic #1 (flag, fan, mechanical machine, variable dimension, 2024). Mnemonic #1 merupakan instalasi bendera yang secara mekanis akan berkibar dan terempas secara berulang saat ditiup kompresor.
Uniknya, pada bendera tersebut tertulis serangkaian pendek notasi angka yang diambil dari musik latar film propaganda anti komunis. Bagi Jompet yang dididik pada masa orde baru, potongan nada musik latar tersebut, meski sederhana, berhasil mengunci ingatan seseorang atas kekejaman komunisme.
Karya dengan tema serupa dari ingatan sejarah pada era Orba dengan satir juga diejawantahkan lewat Mnemonic #2 (fabric, bucket, mechanical machine, digital audio player, variable dimension, 2024). Masih menggunakan bendera sebagai fokus utama objek, instalasi ini memvisualkan metafora mengenai pemberangusan ekspresi.
Hal itu terpampang lewat kain bertuliskan lirik sebuah lagu pop melankolik, yang secara mekanis dan berulang dicelup ke dalam sebuah ember berisi cairan pemutih. Instalasi ini seolah jadi semacam momen untuk mengingatkan publik pada peristiwa pelarangan lagu-lagu cengeng pada dekade 80-an.
Ihwal pelarangan tersebut terjadi saat Harmoko menjabat sebagai Menteri Penerangan, karena dianggap tidak sejalan dengan semangat pembangunan. Jompet mengungkap, kecenderungan untuk mengendalikan narasi secara paksa seperti ini memang lazim terjadi saat Orba, sehingga mewariskan banyak masalah hingga hari ini.
"Musik hanya bagian kecil dari banyak lini yang narasinya juga ingin dikendalikan. Dari sinilah saya tertarik mendalami bagaimana lagu cengeng bisa menjadi subversif secara politik," tuturnya.
Baca juga: Cermin Elastisitas Budaya & Agama dalam Pameran Harmony in Hues di WTC Jakarta
Seniman jebolan UGM ini mengaku, karya tersebut terinspirasi dari sebuah pola pada seni pertunjukan tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka memiliki nama-nama yang berbeda sesuai kultur yang berkembang di masyarakat. Yaitu Angguk, Ndolalak, Kubro Siswo, Rodat dan Glipang.
Dalam karya ini, Jompet memasang instalasi yang secara visual mengingatkan pengunjung pada kostum aparat kolonial. Sementara, pada aspek koreografinya tersirat banyak adegan pertarungan yang sudah diperhalus, yang mengikuti pola ketukan perkusi yang digerakkan secara ritmik oleh sebuah mesin kinetik.
Posisi kedua manekin yang memakai kostum juga tampak unik. Sebab, mereka berjongkok dan bertumpu pada lutut. Mereka tampak berhadapan, tapi dipisahkan dua drum yang diatur berbunyi secara mekanis. Sementara itu di belakangnya terdapat visual tali kekang, dua pelana dan ekor kuda yang tampak menggantung.
Tak hanya itu, di kejauhan juga tergambar bangunan dengan dua menara yang dilalap si jago merah. Bangunan tersebut mengingatkan pengunjung tehadap pabrik-pabrik gula yang pada masa kolonial terdapat banyak di Pulau Jawa. Secara keseluruhan karya ini tampak seperti arsip hidup masa lampau yang ditangkap sang seniman.
Menurut Devi Triasari, Gallery Manager Baik Art Gallery, Jompet memang memiliki ketertarikan pada warisan ingatan atas kekalahan perang Jawa (1825-1830). Sebab, Perang Jawa merupakan momen titik balik perubahan politik dan kebudayaan Jawa, serta bagaimana masyarakat merekam ingatan kekalahan atas perang dan lewat tubuh.
"Karya-karya Jompet banyak yang didasarkan dari riset sejarah. Pemacakan karya Grand Parade di galeri kami juga dilakukan agar masyarakat Indonesia bisa mengapresiasinya, sebelum diakuisisi oleh sebuah museum di Los Angeles, Amerika Serikat," katanya.
Akhir kata, menikmati pameran March seperti sedang menelusuri gema gaduh dari suara-suara masa lalu. Karya-karya yang dipacak, menjadi semacam ikhtiar untuk mengenang perjalanan melintasi belantara gema yang penuh kelok, atau jalan buntu dari gumaman lirih yang memproyeksikan nada-nada di telinga.
Dalam March, Jompet menggemakan kembali suara-suara samar dan hantu-hantu yang terjebak di antara derap perjalanan sejarah Indonesia. Mulai sejarah kolonialisme, nada-nada melankolis tahun 80-an, lagu-lagu pasca-reformasi yang hiruk-pikuk, hingga partitur musik dalam film propaganda negara.
Baca juga: Kritik Ekologi & Ekspresi Seni Bagus Pandega di Pameran O
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Visual yang terasa riuh itu menyeruak di depan mata. Dalam video, tampak kelimun orang berjalan mengendarai motor, sedang yang lain menaiki mobil di bak terbuka. Momen parade seolah dipindahkan ke sebuah galeri di bilangan Jakarta selatan itu.
Karya tersebut merupakan instalasi berjudul After Voices [Setelah Suara-suara] dalam pameran tunggal Jompet Kuswidananto bertajuk March, di Baik Art Jakarta. Pameran ini dihelat pada 22 Maret-27 April 2024, dan menampilkan sepilihan karya-karya terbaru dan lama Jompet.
Baca juga: Sambut Record Store Day, MataWaktu Gelar Pameran Sampul Vinyl No Music, Noise!
After Voices merupakan instalasi yang berusaha merefleksikan 15 tahun reformasi Indonesia. Menurut Jompet, dia ingin memvisualkan bagaimana demokrasi saat itu diolah dari sisi pertunjukan, yaitu lewat atribut-atribut dan mars lagu yang menarik perhatian di jalanan.
Seniman asal Yogyakarta itu menjelaskan, pasca-reformasi masyarakat mulai terlatih untuk memunculkan performativitas dalam berdemokrasi dan mengekspresikan suara politik. Puncaknya adalah momen mobilisasi massa yang menjadi salah satu kunci untuk mengamplifikasi satu suara demi kedaulatan rakyat.
Pengorganisasian massa pada saat itu juga masih signifikan untuk memengaruhi kebijakan. Namun, tren tersebut saat ini menurutnya agak bergeser, karena performativitas demokrasi sudah mulai berpindah ke media sosial. "Saat ini narasi-narasi politik sudah berkelindan dan pindah ke media sosial," katanya.
Refleksi Jompet terhadap riuh rendah demokrasi dan masa lalu juga terefleksi dalam seri karya berjudul Mnemonic #1 (flag, fan, mechanical machine, variable dimension, 2024). Mnemonic #1 merupakan instalasi bendera yang secara mekanis akan berkibar dan terempas secara berulang saat ditiup kompresor.
Uniknya, pada bendera tersebut tertulis serangkaian pendek notasi angka yang diambil dari musik latar film propaganda anti komunis. Bagi Jompet yang dididik pada masa orde baru, potongan nada musik latar tersebut, meski sederhana, berhasil mengunci ingatan seseorang atas kekejaman komunisme.
Beberapa bagian karya dalam After Voice di pameran March (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar).
Hal itu terpampang lewat kain bertuliskan lirik sebuah lagu pop melankolik, yang secara mekanis dan berulang dicelup ke dalam sebuah ember berisi cairan pemutih. Instalasi ini seolah jadi semacam momen untuk mengingatkan publik pada peristiwa pelarangan lagu-lagu cengeng pada dekade 80-an.
Ihwal pelarangan tersebut terjadi saat Harmoko menjabat sebagai Menteri Penerangan, karena dianggap tidak sejalan dengan semangat pembangunan. Jompet mengungkap, kecenderungan untuk mengendalikan narasi secara paksa seperti ini memang lazim terjadi saat Orba, sehingga mewariskan banyak masalah hingga hari ini.
"Musik hanya bagian kecil dari banyak lini yang narasinya juga ingin dikendalikan. Dari sinilah saya tertarik mendalami bagaimana lagu cengeng bisa menjadi subversif secara politik," tuturnya.
Baca juga: Cermin Elastisitas Budaya & Agama dalam Pameran Harmony in Hues di WTC Jakarta
Perang Jawa & Kolonialisme
Upaya Jompet untuk mengungkai sejarah juga melompat jauh pada masa-masa kolonialisme dan Perang Jawa. Yaitu lewat karya instalasi berjudul Grand Parade (costume on mannequins, leather, saddle, percussion, digital audio player, acrylic on fabric, variable dimension, 2024).Seniman jebolan UGM ini mengaku, karya tersebut terinspirasi dari sebuah pola pada seni pertunjukan tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka memiliki nama-nama yang berbeda sesuai kultur yang berkembang di masyarakat. Yaitu Angguk, Ndolalak, Kubro Siswo, Rodat dan Glipang.
Dalam karya ini, Jompet memasang instalasi yang secara visual mengingatkan pengunjung pada kostum aparat kolonial. Sementara, pada aspek koreografinya tersirat banyak adegan pertarungan yang sudah diperhalus, yang mengikuti pola ketukan perkusi yang digerakkan secara ritmik oleh sebuah mesin kinetik.
Posisi kedua manekin yang memakai kostum juga tampak unik. Sebab, mereka berjongkok dan bertumpu pada lutut. Mereka tampak berhadapan, tapi dipisahkan dua drum yang diatur berbunyi secara mekanis. Sementara itu di belakangnya terdapat visual tali kekang, dua pelana dan ekor kuda yang tampak menggantung.
Tak hanya itu, di kejauhan juga tergambar bangunan dengan dua menara yang dilalap si jago merah. Bangunan tersebut mengingatkan pengunjung tehadap pabrik-pabrik gula yang pada masa kolonial terdapat banyak di Pulau Jawa. Secara keseluruhan karya ini tampak seperti arsip hidup masa lampau yang ditangkap sang seniman.
Karya instalasi berjudul Grand Parade dalam pameran March (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar).
"Karya-karya Jompet banyak yang didasarkan dari riset sejarah. Pemacakan karya Grand Parade di galeri kami juga dilakukan agar masyarakat Indonesia bisa mengapresiasinya, sebelum diakuisisi oleh sebuah museum di Los Angeles, Amerika Serikat," katanya.
Akhir kata, menikmati pameran March seperti sedang menelusuri gema gaduh dari suara-suara masa lalu. Karya-karya yang dipacak, menjadi semacam ikhtiar untuk mengenang perjalanan melintasi belantara gema yang penuh kelok, atau jalan buntu dari gumaman lirih yang memproyeksikan nada-nada di telinga.
Dalam March, Jompet menggemakan kembali suara-suara samar dan hantu-hantu yang terjebak di antara derap perjalanan sejarah Indonesia. Mulai sejarah kolonialisme, nada-nada melankolis tahun 80-an, lagu-lagu pasca-reformasi yang hiruk-pikuk, hingga partitur musik dalam film propaganda negara.
Baca juga: Kritik Ekologi & Ekspresi Seni Bagus Pandega di Pameran O
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.