Kritik Ekologi & Ekspresi Seni Bagus Pandega di Pameran O
04 April 2024 |
06:00 WIB
Instalasi berbentuk dua bilah lingkaran itu tampak mengambang di udara. Terikat senar sling, karya yang memproduksi oksigen itu, sesekali menyala dengan tempo cepat. Di tengah lingkaran, terpampang tabung kompresor yang diletakkan di dekat Sansevieria.
Sansevieria atau Lidah Mertua merupakan tanaman yang bisa meminimalkan kandungan karbondioksida dan memaksimalkan oksigen di dalam suatu ruangan. Oksigen murni itu lalu disalurkan ke tabung-tabung berisi air yang didalamnya terdapat ragam batuan mineral di Nusantara.
Baca juga: Profil Bagus Pandega, Seniman Patung Lokal yang Gelar Pameran Hingga ke Mancanegara
Berjudul Hyperpnea Green (2024) karya Bagus Pandega itu ditujukan untuk memproduksi oksigen murni. Bagus menggunakan metode dan perangkat teknologi untuk menyedot udara dan memampatkannya ke dalam tabung kompresor. Komposisi udara itu lalu diurai untuk dipetik kandungan oksigen murninya.
"Karya ini idenya jadi kayak semacam post-Covid ya. Karena awal mulanya bikin dari proses membuat mesin konsentrator [oksigen] mandiri. Sebab kita saat itu banyak kekurangan oksigen," kata seniman jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Hyperpnea Green merupakan satu dari enam karya seni media baru lain dari Bagus Pandega yang dipamerkan di Galeri ROH Project, Jakarta. Karya itu, dipaparkan untuk pers pada Sabtu (9/3/24), dan dibuka untuk publik pada 13 Maret sampai 28 April 2024.
Terdiri dari sulur selang dan kabel, Hyperpnea Green terlihat seperti instalasi dalam laboratorium. Ada 36 botol air diisi batuan mineral yang diilustrasikan laiknya polutan. Ketika diberi oksigen murni yang diibaratkan seperti halnya paru-paru manusia yang terus bernapas.
Namun, gas buang dari proses tersebut akan diolah dan dikonsentrasikan lagi menjadi oksigen murni. Ini seperti mencontoh metode alami pernapasan kita, yang sirkular atau melingkar. Tidak ada awal dan akhir, alias terus berkesinambungan selama manusia masih hidup dan pepohonan masih menghasilkan oksigen.
Masih mengetengahkan isu post-Covid, Bagus juga membuat instalasi Ocularflux/2 (2024). Tampak ledang, fokus karya ini memperlihatkan visual ekspresi mata para perawat dan dokter yang setelah pagebluk berakhir. Gambar tersebut diproyeksikan ke sebuah LED billboard bekas yang hanya terdiri dari tiga warna.
Uniknya, proyeksi mata itu digerakkan oleh tanaman Walisongo (Heptapleurum actinophyllum) yang terhubung lewat kabel-kabel optik. Hasilnya, adalah warna-warna RGB yang terdiri dari tiga elemen warna dasar. Yaitu merah, hijau, dan biru yang lekat dengan dunia elektronik, grafis, dan komputer.
Tema serupa juga digarap dalam Ocularflux/1 (2024). Bedanya, dalam karya ini sang seniman menggunakan tanaman Kemboja (Plumeria) sebagai penggerak visual mata dari lima dokter dan perawat yang direkam oleh Bagus.
"Pemilihan tanaman tersebut dari satu sisi karena mistis, juga ada ide-ide spiritual. Dari visual bagus, dan dari nama cukup mistis," katanya.
Beranjak ke bagian galeri apple, publik akan disuguhi karya berjudul A Diasporic Mythology (Diaspora Mitologi). Instalasi berbasis bebunyian senar dawai ini sebelumnya pernah ditampilkan di Triennial Seni Kontemporer Asia Pasifik ke-10 di Brisbane, Australia, pada 2021.
Terdiri dari sejumlah alat musik, A Diasporic Mythology terinspirasi dari dawai taishogoto. Taishogoto atau Harpa Nagoya, merupakan alat musik petik asal Jepang yang berasal dari zaman Taish (1912–1926). Cara memainkan alat ini adalah dengan cara seperti menekan tuts yang ada di mesin ketik.
Bagus juga memacak instrumen musik yang mirip yang ada di Indonesia. Seperti Kecapi Sijobang, Penting Bali, Mandaliong, dan Penting Lombok. Besar kemungkinan, alat musik taisho turut menyebar ke Indonesia pada perdagangan Hindia Belanda atau masa VOC, yang kemudian diakulturasikan ke instrumen musik tradisi setempat.
Namun, kritikus seni Harry Burke, asal Amerika Serikat, yang menulis kuratorial untuk pameran ini memiliki pandangan atas kemungkinan lain. Dia menengarai kemungkinan penyebaran itu terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, atau pada 1942-1945.
Dalam instalasi ini, Bagus masih menggunakan tumbuhan sebagai 'metafora' yang konkret dan yang abstrak. Yaitu lewat kumpulan tanaman teh sebagai simbol komoditas perdagangan masa lalu. Teh dipilih karena mampu menyediakan biofeedback atau sinyal listrik yang menghasilkan skor improvisasi.
"Di dalam Dispora Mitologi, kreativitas [Bagus Pandega] dipicu adanya pertukaran. Pertukaran itu terjadi secara diundang maupun tidak diundang. Atau, bahkan dipaksakan, antara orang dan tempat," papar Harry.
Lain dari itu, Bagus juga menampilkan karya video berjudul Nio (2024). Berdurasi 8 menit 9 detik, video ini merekam proses penyepuhan nikel atau vernikel, pada sebuah patung orang utan yang terbuat dari kuningan. Selama proses tersebut, dari tubuh patung tampak gelembung udara yang bergerak ke atas.
Keluarnya gelembung udara dari tubuh patung juga disertai melekatnya partikel nikel. Lama kelamaaan korosi di patung tersebut mengelupas dan nikel melapisi tubuh patung berukuran mini itu. Objek patung orang utan secara tidak sengaja ditemukan oleh Bagus saat melabang ke toko-toko barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta.
Proses perekaman Nio dilakukan secara terbalik. Sehingga, aliran gelembung udara yang semestinya bergerak ke atas menjadi sebaliknya, ke bawah. Arkian, visual yang dihadirkan adalah bentuk sebuah patung yang seolah ditimpa butiran-butiran udara atau air, yang secara estetis tampak seperti hewan yang sedang bersemedi.
"Karya ini ingin menceritakan ironi dari pertambangan yang selama ini merusak lingkungan. Meskipun orang utan tidak langsung berada di tempat penambangan nikel, tapi jadi analogi deforestasi yang terjadi. Proses vernikel juga jadi simbol agar orang utan tidak gampang hancur dan punah," katanya.
Baca juga: Boyong Karya Seni Media Baru, Bagus Pandega Gelar Pameran Tunggal O di ROH Project
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Sansevieria atau Lidah Mertua merupakan tanaman yang bisa meminimalkan kandungan karbondioksida dan memaksimalkan oksigen di dalam suatu ruangan. Oksigen murni itu lalu disalurkan ke tabung-tabung berisi air yang didalamnya terdapat ragam batuan mineral di Nusantara.
Baca juga: Profil Bagus Pandega, Seniman Patung Lokal yang Gelar Pameran Hingga ke Mancanegara
Berjudul Hyperpnea Green (2024) karya Bagus Pandega itu ditujukan untuk memproduksi oksigen murni. Bagus menggunakan metode dan perangkat teknologi untuk menyedot udara dan memampatkannya ke dalam tabung kompresor. Komposisi udara itu lalu diurai untuk dipetik kandungan oksigen murninya.
"Karya ini idenya jadi kayak semacam post-Covid ya. Karena awal mulanya bikin dari proses membuat mesin konsentrator [oksigen] mandiri. Sebab kita saat itu banyak kekurangan oksigen," kata seniman jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Hyperpnea Green merupakan satu dari enam karya seni media baru lain dari Bagus Pandega yang dipamerkan di Galeri ROH Project, Jakarta. Karya itu, dipaparkan untuk pers pada Sabtu (9/3/24), dan dibuka untuk publik pada 13 Maret sampai 28 April 2024.
Karya Bagus Pandega berjudul Hyperpnea Green
Terdiri dari sulur selang dan kabel, Hyperpnea Green terlihat seperti instalasi dalam laboratorium. Ada 36 botol air diisi batuan mineral yang diilustrasikan laiknya polutan. Ketika diberi oksigen murni yang diibaratkan seperti halnya paru-paru manusia yang terus bernapas.
Namun, gas buang dari proses tersebut akan diolah dan dikonsentrasikan lagi menjadi oksigen murni. Ini seperti mencontoh metode alami pernapasan kita, yang sirkular atau melingkar. Tidak ada awal dan akhir, alias terus berkesinambungan selama manusia masih hidup dan pepohonan masih menghasilkan oksigen.
Masih mengetengahkan isu post-Covid, Bagus juga membuat instalasi Ocularflux/2 (2024). Tampak ledang, fokus karya ini memperlihatkan visual ekspresi mata para perawat dan dokter yang setelah pagebluk berakhir. Gambar tersebut diproyeksikan ke sebuah LED billboard bekas yang hanya terdiri dari tiga warna.
Uniknya, proyeksi mata itu digerakkan oleh tanaman Walisongo (Heptapleurum actinophyllum) yang terhubung lewat kabel-kabel optik. Hasilnya, adalah warna-warna RGB yang terdiri dari tiga elemen warna dasar. Yaitu merah, hijau, dan biru yang lekat dengan dunia elektronik, grafis, dan komputer.
Tema serupa juga digarap dalam Ocularflux/1 (2024). Bedanya, dalam karya ini sang seniman menggunakan tanaman Kemboja (Plumeria) sebagai penggerak visual mata dari lima dokter dan perawat yang direkam oleh Bagus.
"Pemilihan tanaman tersebut dari satu sisi karena mistis, juga ada ide-ide spiritual. Dari visual bagus, dan dari nama cukup mistis," katanya.
Diaspora Mitologi
Beranjak ke bagian galeri apple, publik akan disuguhi karya berjudul A Diasporic Mythology (Diaspora Mitologi). Instalasi berbasis bebunyian senar dawai ini sebelumnya pernah ditampilkan di Triennial Seni Kontemporer Asia Pasifik ke-10 di Brisbane, Australia, pada 2021.Terdiri dari sejumlah alat musik, A Diasporic Mythology terinspirasi dari dawai taishogoto. Taishogoto atau Harpa Nagoya, merupakan alat musik petik asal Jepang yang berasal dari zaman Taish (1912–1926). Cara memainkan alat ini adalah dengan cara seperti menekan tuts yang ada di mesin ketik.
Bagus juga memacak instrumen musik yang mirip yang ada di Indonesia. Seperti Kecapi Sijobang, Penting Bali, Mandaliong, dan Penting Lombok. Besar kemungkinan, alat musik taisho turut menyebar ke Indonesia pada perdagangan Hindia Belanda atau masa VOC, yang kemudian diakulturasikan ke instrumen musik tradisi setempat.
Namun, kritikus seni Harry Burke, asal Amerika Serikat, yang menulis kuratorial untuk pameran ini memiliki pandangan atas kemungkinan lain. Dia menengarai kemungkinan penyebaran itu terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, atau pada 1942-1945.
Dalam instalasi ini, Bagus masih menggunakan tumbuhan sebagai 'metafora' yang konkret dan yang abstrak. Yaitu lewat kumpulan tanaman teh sebagai simbol komoditas perdagangan masa lalu. Teh dipilih karena mampu menyediakan biofeedback atau sinyal listrik yang menghasilkan skor improvisasi.
"Di dalam Dispora Mitologi, kreativitas [Bagus Pandega] dipicu adanya pertukaran. Pertukaran itu terjadi secara diundang maupun tidak diundang. Atau, bahkan dipaksakan, antara orang dan tempat," papar Harry.
Cuplikan video berjudul Nio (2024) karya Bagus Pandega
Lain dari itu, Bagus juga menampilkan karya video berjudul Nio (2024). Berdurasi 8 menit 9 detik, video ini merekam proses penyepuhan nikel atau vernikel, pada sebuah patung orang utan yang terbuat dari kuningan. Selama proses tersebut, dari tubuh patung tampak gelembung udara yang bergerak ke atas.
Keluarnya gelembung udara dari tubuh patung juga disertai melekatnya partikel nikel. Lama kelamaaan korosi di patung tersebut mengelupas dan nikel melapisi tubuh patung berukuran mini itu. Objek patung orang utan secara tidak sengaja ditemukan oleh Bagus saat melabang ke toko-toko barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta.
Proses perekaman Nio dilakukan secara terbalik. Sehingga, aliran gelembung udara yang semestinya bergerak ke atas menjadi sebaliknya, ke bawah. Arkian, visual yang dihadirkan adalah bentuk sebuah patung yang seolah ditimpa butiran-butiran udara atau air, yang secara estetis tampak seperti hewan yang sedang bersemedi.
"Karya ini ingin menceritakan ironi dari pertambangan yang selama ini merusak lingkungan. Meskipun orang utan tidak langsung berada di tempat penambangan nikel, tapi jadi analogi deforestasi yang terjadi. Proses vernikel juga jadi simbol agar orang utan tidak gampang hancur dan punah," katanya.
Baca juga: Boyong Karya Seni Media Baru, Bagus Pandega Gelar Pameran Tunggal O di ROH Project
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.