Ilustrasi kesehatan mental (Sumber gambar: Pexels/Liza Summer)

Dialami Erika Carlina, Apa Kaitan Penyakit Autoimun dengan Kesehatan Mental?

23 April 2024   |   08:01 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Bermula dari cerita Erika Carlina, penyakit autoimun kembali ramai dibahas di jagat media sosial. Kali ini, penyakit yang mendera sistem imun manusia tersebut dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental. Kepada awak media, Erika sendiri mengungkap jika penyakit autoimun yang dideritanya bermula dari gangguan kecemasan yang sudah lama dialaminya.

Erika yang mulanya didiagnosa generalized anxiety disorder tersebut berujung pada serangan autoimun yang sudah dialaminya 3 tahun ke belakang.

Baca juga: Awas, Kekurangan Vitamin D Bisa Memicu Autoimun
 
Di Indonesia, penyakit autoimun masih dianggap sebagai momok. Sebab, penyakit yang dijuluki seribu wajah ini memerlukan penanganan khusus yang personal antara satu pasien dengan yang lainnya. Autoimun terjadi karena adanya ketidakseimbangan sel kekebalan tubuh yang bisa menyerang sel dan organ tubuh sendiri.
 
Beberapa gejala yang bisa saja timbul akibat adanya penyakit autoimun antara lain nyeri otot dan kelelahan luar biasa. Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Alergi Imunologi Mayapada Hospital Jakarta Selatan Iris Rengganis menyebutkan penanganan autoimun bukan berfokus pada penyembuhan.

Sebab, belum ada perawatan yang bisa menyembuhkan penyakit ini secara penuh. Dokter dan obat-obatan hanya dapat mengontrol respons imun yang terlalu aktif, kemudian menurunkan tingkat inflamasi dan rasa sakitnya.
 
Autoimun bisa terjadi karena beragam latar gaya hidup, termasuk pola makan dan buruknya manajemen stress. Makanan yang berisiko mengandung radikal bebas seperti junk food, makanan berlemak trans, hingga alkohol juga bisa menjadi pemicunya.

Iris menyarankan, penderita autoimun sebaiknya mendorong penyembuhan perlahan dan meringankan gejalanya dengan melakukan diet gluten. Sebab tepung terigu atau tepung gandum ditengarai memiliki protein yang mampu mendorong terjadinya kebocoran usus bagi penderita autoimun.
 
“Kita banyak berkomunikasi dengan ahli-ahli autoimun lainnya (untuk) mencoba supaya diet gluten-free. Dengan diet gluten untuk sementara waktu, bisa lebih efektif hingga mereka bisa terlepas dari obat-obatan yang selama ini dikonsumsi,” kata Iris.
 
Faktor eksternal seperti polusi udara, asap rokok, hingga zat pembakaran yang mengandung radikal bebas juga berdampak pada kerusakan DNA dari sel-sel imun. Sistem imun yang mampu bekerja dengan baik akan bisa mengidentifikasi jenis sel normal dan asing.

Maka kunci utamanya adalah melengkapi nutrisi yang bermanfaat mencegah risiko autoimun makin parah, dengan mengonsumsi jenis vitamin C, vitamin D, vitamin E, zinc, serta makanan kaya antioksidan lainnya.
 

Setengah Penderita Autoimun Didera Gangguan Mental

 

Ilustrasi kesehatan mental (Sumber gambar: Sydney Sims/Unsplash)

Ilustrasi kesehatan mental (Sumber gambar: Sydney Sims/Unsplash)


Di luar pola makan, tekanan stress dan mental juga mengambil pengaruh besar. Sebuah studi yang dipublikasikan Rheumatology menjelaskan, lebih dari 50% pasien autoimun mengalami gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan.

Dari survei yang dilakukan tersebut, ditemukan sebanyak 55 % pasien autoimun mengalami depresi, 57 % pasien autoimun mengalami gangguan kecemasan, 70 % pasien mengalami gangguan kognitif, dan sebanyak 89 % pasien autoimun mengalami kelelahan ekstrim.
 
Menjalani pengobatan dalam jangka panjang, kesehatan mental pasien autoimun perlu kembali menjadi perhatian. Iris menyebut, pasien autoimun sangat membutuhkan dukungan dan dorongan positif dari lingkungannya. Karena penyakit yang tak pernah sepenuhnya sembuh ini, penderita autoimun akan terlibat dalam keadaan-keadaan yang terkat dengan psikis dan mentalnya untuk melewati hari dan sembuh.
 
Mengutip laman Health, Psikiater PrairieCare Brent Nelson menyebutkan bahwa dunia medis belum menemukan fakta penuh dari kaitan antara penyakit autoimun dan kesehatan mental. Namun, kaitan antara kinerja sel otak dengan sel yang berperan menjaga imunitas tubuh manusia disebut sebagai faktor secara umum. Karena sel kekebalan tubuh pada penderita autoimun berusaha menyerang diri sendiri, sel tubuh dan otak juga ikut terpengaruh.

Nelson menjelaskan, koneksi antara sel kekebalan tubuh dan sel otak ini juga bisa dipengaruhi karena adanya inflamasi dan kinerja pada sistem imunitas pada otak. Inflamasi ini bisa meluas ke otak, kemudian mempengaruhi neurotransmitter yang mengatur suasana hati yang menyebabkan peningkatan risiko gangguan mood.
 
Hidup dengan penyakit kronis mendorong stress, kecemasan, dan depresi makin tinggi. Diperlukan perhatian khusus untuk mengelola beragam tantangan emosional yang tak jarang menyebabkan rasa frustasi dan tak berdaya.

“Menghadapi tantangan penyakit autoimun dapat mempengaruhi mekanisme penanggulangan seseorang, di mana seseorang merasa kurang mampu mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari karena mereka menghabiskan banyak sumber daya untuk mengatasi penyakitnya,” kata Nelson.

Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan penyakit autoimun dengan gangguan kesehatan. Namun, korelasi keduanya ditemukan makin jelas. Psikolog Klinik di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak (UPTD PPA) Depok Rolla Apnoza mengatakan, autoimun dengan kesehatan mental memang bisa saling mempengaruhi. Secara umum, Rolla menyebut banyak penderita autoimun yang memiliki gangguan kesehatan mental.

“Paling banyak depresi dan kecemasan. Namun tidak musti sampai gangguan kesehatan mental yang berat, hal terkait seperti moody, tidur yang tidak cukup, hingga kualitas hidup yang kurang juga jadi bagiannya,” kata Rolla.

Menurut Rolla, ada beberapa kemungkinan mengapa autoimun bisa menyebabkan kesehatan mental ikut terganggu. Pertama, kemungkinan adanya peradangan yang secara langsung mempengaruhi otak. Rolla menyebut, inflamasi ini mempengaruhi bagaimana senyawa kimia di otak yang berperan terhadap suasana hati (mood) manusia.

“Kondisi autoimun pasti membuat stress penderitanya. Bayangkan saja, seseorang harus berjuang dengan penyakitnya yang bisa tiba-tiba muncul, pastinya sangat menganggu kehidupa sehari-hari,” katanya.

Kemungkinan lainnya adalah faktor medikasi atau obat-obatan yang dikonsumsi yang bisa saja mempengaruhi kondisi psikis penderita autoimun. Pengaruh ini biasanya terkait dengan gangguan tidur atau psikosis. Namun, dunia medis masih memerlukan penelitian lebih lanjut terkait faktor medikasi di balik kaitan autoimun dan gangguan kesehatan mental ini. 

Depresi pada penderita autoimun juga bisa diakibatkan oleh banyak faktor. Sala satu faktor yang jarang dilirik adalah faktor sosial. Menurut Rolla, penderita autoimun memerlukan dukungan yang sangat kuat tidak hanya dari dirinya saja, tetapi juga orang sekitarnya.

“Selain penderitanya sendiri yang bisa terdampak stress, orang terdekatnya juga ikut terdampak karena berperan menjadi supporting system penderita autoimunnya,” jelasnya.

Baca juga: Mengenal Vaskulitis, Penyakit Autoimun Langka yang Sempat Diderita Ashton Kutcher

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Idulfitri Usai, Yuk Ketahui Tips Kembali Fit Pascalibur Panjang

BERIKUTNYA

Genhype Kecanduan Gadget? Cek Tanda-tanda dan Cara Mengatasinya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: