Contoh nyamuk pembawa demam berdarah. (Sumber gambar : Pexels/Pixabay)

Pakar Ungkap Alasan Kasus DBD Tinggi dan Gejalanya Semakin Berat

03 April 2024   |   14:39 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Kasus demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Diprediksi kondisi ini akan berlanjut hingga musim pancaroba yang memungkinkan perkembanganbiakan nyamuk, sebagai pembawa virus ini, menjadi lebih mudah. 

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu menilai kasus yang ada sekarang belum sampai titik maksimal. Per Selasa (26/3/2024) atau pekan ke-13, kasus dengue di Indonesia dilaporkan mencapai 53.131 orang. Sementara itu, kasus kematian akibat dengue dilaporkan ada 404 orang. 

Baca juga: Waspadai Gejala dan Cara Pencegahan DBD pada Puncak Musim Hujan

Dari sistem pemantauan penyakit, Kota Bandung tercatat dengan jumlah kasus dengue sebanyak 1.741 kasus, disusul Kota Kendari dengan 1.195 kasus, Bandung Barat 1.143 kasus, Kota Bogor 939 kasus, dan Subang 909 kasus.

Untuk sebaran kematian akibat dengue, Jepara mencatat angka 17 kematian, disusul Subang dengan 15 kematian, Kabupaten Bandung 14 kematian, Kendal 13 kematian dan Bogor 12 kematian.

Epidemiolog dari Universitas Griffith menyebut peningkatan kasus DBD yang terjadi saat ini disebabkan oleh faktor perkembangbiakan nyamuk, lingkungan, dan kebiasaan manusia. Vektor atau dalam hal ini nyamuk pembawa virus DBD terpantau semakin menyebar.

Perkembangbiakan nyamuk DBD semakin mudah karena didukung faktor lingkungan seperti curah hujan tinggi, banyaknya genangan air, hingga suhu yang semakin hangat. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi di wilayah ASEAN.

Di sisi lain menurut Dicky, perilaku manusia yang cenderung abai dalam melakukan mitigasi, juga memudahkan perkembangbiakan nyamuk DBD, termasuk tidak terdeteksinya jentik dan abai menghindari gigitan nyamuk.

Oleh karena itu, untuk mencegah kasus DBD semakin besar, perlu intervensi berbasis epidemiologi, yakni menyasar pada manusia, vektor dalam hal ini virus dan nyamuknya, dan lingkungan. “Ini harus ada intervensi dengan komunikasi risiko, perbaikan lingkungan, sanitasi, termasuk pencegahan seperti fogging,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.

Dicky menilai penanganan efektif DBD tidak bisa tunggal atau hanya mengandalkan satu strategi saja. Adanya inisiatif seperti penyebaran nyamuk Wolbachia bisa menjadi bagian dari salah satu solusi yang ditawarkan.

Namun, kembali lagi bahwa faktor pada manusia, lingkungan, dan virus maupun vektor harus diintervensi masing-masing, termasuk menyediakan vaksin.

Vaksin DBD menurutnya menjadi kebutuhan. Hingga saat ini, para peneliti terus berupaya membuat vaksin untuk menangani penyakit ini. Namun memang, Dicky menyebut risetnya terbilang menantang karena karakter dari virus dengue seperti Antibody-Dependent Enhancement (ADE).

ADE merupakan reaksi yang memperkuat infeksi saat tubuh membentuk antibodi non-netralisasi baik akibat dari pemberian vaksin atau infeksi alami. “Jadi vaksin harus melindungi. Misal pasien terinfeksi dengue serotipe 1, dia bisa terinfeksi lagi serotipe 2,3, agak kompleks. Ini menantang sekali,” tambahnya. 

Soal apakah ada perbedaan kasus DBD yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dengan yang berlangsung hari ini, Dicky menyebut tidak ada perbedaan. Hanya saja saat ini terkesan banyak kasus yang lebih berat dengan kecenderungan dengue shock syndrome (DSS), karena infeksi merambah ke kelompok rawan seperti anak usia 5-10 tahun. “Kelompok rawan ini belum berhasil kita redam, lindungi,” imbuhnya.

Menurutnya yang terjadi sekarang bukan DBD baru, melainkan kemungkinan serotipe virus yang lebih kuat. Demam berdarah dapat disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dengue (DENV) yang terkait secara genetik tetapi berbeda secara antigen.

“Misal serotipe tinggi atau banyak yang terjadi reinfeksi akibat serotipe yang lain. Ini berkaitan dengan sebaran nyamuk yang semakin banyak,” tuturnya.

Faktor lain, beberapa kasus infeksi long covid sebelumnya berkontribusi mengganggu sistem imunitas. Kondisi ini yang membuat hipotesa terjadi perburukan karena adanya gangguan imunitas. Hal ini perlu dicari dan ditelusuri melalui studi maupun surveilans. 

Hal yang klasik, yakni masalah deteksi dini. Keterlambatan diagnosa dan keterlambatan datang ke fasilitas kesehatan yang membuat kasus menjadi berat. Dicky menegaskan bicara dengue shock syndrome, harus cepat ditangani dengan pemberian cairan. 

Baca juga: Menilik Pemanfaatan & Efektivitas Wolbachia untuk Penanggulangan DBD di Indonesia 

“Potensi mutasi evolusi memang ada tetapi dalam arti, hal tersebut masih perlu ditunggu hasil riset. Tetapi secara umum, saya belum melihat ada potensi jauh lebih ganas,” tambah Dicky.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Jungkook BTS Raih Sertifikat Emas di Prancis Berkat Single Seven

BERIKUTNYA

9 Tradisi Unik Ramadan di Dunia, dari Festival Mirip Halloween Hingga Berburu Gelang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: