Epidemiolog Ingatkan Rekayasa Wolbachia Agar Waspadai Faktor Risikonya
28 November 2023 |
11:35 WIB
Penggunaan bakteri wolbachia untuk pengendalian kasus demam berdarah dengue (DBD) di Tanah Air diklaim efektif menurunkan angka penurunan penyakit tersebut. Sebab beberapa daerah yang telah mengimplementasikan teknologi ini mengalami penurunan kasus DBD lebih dari 70 persen.
Kementerian Kesehatan belum lama ini juga telah menyebar nyamuk wolbachia di tiga kota di Indonesia. Yaitu di Semarang, Jawa Tengah; Bontang, Kalimantan Timur; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menurunkan potensi penyebaran DBD yang saat ini masih menjadi momok di masyarakat.
Baca juga: Cukup Pakai Ember Kecil, Begini Pola Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai teknologi wolbachia untuk mengendalikan DBD di Indonesia masih harus diteliti lebih jauh oleh para ahli kesehatan. Termasuk, faktor risiko terhadap nyamuk yang direkayasa dengan menyuntikkan bakteri wolbachia di dalamnya.
Menurut dia, untuk mengatasi atau mengendalikan nyamuk, para ilmuwan harus memiliki prinsip yang merujuk pada ethic public health. Secara umum, prinsip dari etika ini dalam konteks riset adalah tidak menyebabkan kerusakan, baik pada manusia, hewan, dan lingkungan.
"Dampak positif metode wolbachia ini tidak hanya bisa dilihat dari penurunan kasus DBD saja. Artinya, harus ada kehati-hatian terhadap prinsip riset yang fokusnya tak hanya pada manusia, tapi juga dampaknya pada lingkungan harus ditunggu," katanya.
Teknologi wolbachia, katanya, dapat disebut dengan metode patogen blocking mechanism atau mekanisme dalam mencegah replikasi dari virus. Dia menyebut teknologi ini merupakan salah satu pendekatan modifikasi genetik yang harus dilakukan secara cermat oleh para ahli.
Adapun, mengenai keamanan terhadap metode wolbachia untuk menanggulangi penyebaran DBD, Dicky mengatakan juga masih harus diteliti oleh para pakar kesehatan. Sebab, sejauh ini belum ada yang bisa menjamin kesangkilan metode tersebut dalam berbagai riset yang diterbitkan ahli.
"Sejauh ini juga belum ada yang menjadikan metode ini sebagai program nasional. Ini masih dalam tahapan riset, yang bahkan World Mosquito Program sendiri menargetkan riset ini selama 30 tahun," katanya.
Kendati begitu, secara teoritis potensi metode wolbachia menurutnya cukup efektif untuk mencegah penyebaran penyakit lain, seperti zika, chikungunya, dan demam kuning. Sebab berbagai jenis penyakit tersebut sejauh ini juga ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti.
Tantangan lain dari metode ini menurutnya adalah masalah dana. Sebab saat ini memang program pendanaan yang salah satunya disosialisasikan oleh pemerintah Indonesia itu didanai oleh Bill Gates, serta lembaga lain yang memiliki fokus terhadap masalah kesehatan di dunia.
Namun, ketika pendanaan dari berbagai lembaga tersebut berhenti, dipastikan bakal mengalokasikan dana negara yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah juga harus menyiapkan diri dengan seksama mengenai kelanjutan project pilot wolbachia dengan menggandeng berbagai pihak.
"Jadi, setidaknya masih ada waktu sekitar 2 dekade ke depan untuk membuktikan apakah inovasi ini betul-betul bisa dipakai untuk kemaslahatan manusia atau tidak," katanya.
Sebagai tambahan informasi, wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada lebih 60 persen serangga, seperti lalat buah, capung, dan kupu-kupu. Dalam penanganan DBD, bakteri ini disuntikkan ke telur nyamuk aedes aegypti, di mana saat telur menetas, nyamuk yang lahir akan mengandung bakteri wolbachia.
Baca juga: Nyamuk Berwolbachia Diklaim Bisa Meringankan Beban BPJS Kesehatan, Ini Penjelasannya
Ketika disebarkan ke masyarakat, nantinya saat nyamuk itu dewasa, nyamuk jantan yang mengandung wolbachia yang kawin dengan nyamuk betina yang tidak mengandung wolbachia, maka nyamuk betina tetap akan bertelur, tetapi telurnya tidak bisa menetas.
Namun, jika nyamuk jantan dan betina yang sama-sama mengandung wolbachia kawin, keturunannya otomatis akan mengandung wolbachia. Sedangkan, saat nyamuk betina berwolbachia kawin dengan pejantan yang tidak ber-Wolbachia, semua anaknya akan tetap mengandung wolbachia.
Editor: Fajar Sidik
Kementerian Kesehatan belum lama ini juga telah menyebar nyamuk wolbachia di tiga kota di Indonesia. Yaitu di Semarang, Jawa Tengah; Bontang, Kalimantan Timur; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menurunkan potensi penyebaran DBD yang saat ini masih menjadi momok di masyarakat.
Baca juga: Cukup Pakai Ember Kecil, Begini Pola Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai teknologi wolbachia untuk mengendalikan DBD di Indonesia masih harus diteliti lebih jauh oleh para ahli kesehatan. Termasuk, faktor risiko terhadap nyamuk yang direkayasa dengan menyuntikkan bakteri wolbachia di dalamnya.
Menurut dia, untuk mengatasi atau mengendalikan nyamuk, para ilmuwan harus memiliki prinsip yang merujuk pada ethic public health. Secara umum, prinsip dari etika ini dalam konteks riset adalah tidak menyebabkan kerusakan, baik pada manusia, hewan, dan lingkungan.
"Dampak positif metode wolbachia ini tidak hanya bisa dilihat dari penurunan kasus DBD saja. Artinya, harus ada kehati-hatian terhadap prinsip riset yang fokusnya tak hanya pada manusia, tapi juga dampaknya pada lingkungan harus ditunggu," katanya.
Teknologi wolbachia, katanya, dapat disebut dengan metode patogen blocking mechanism atau mekanisme dalam mencegah replikasi dari virus. Dia menyebut teknologi ini merupakan salah satu pendekatan modifikasi genetik yang harus dilakukan secara cermat oleh para ahli.
Adapun, mengenai keamanan terhadap metode wolbachia untuk menanggulangi penyebaran DBD, Dicky mengatakan juga masih harus diteliti oleh para pakar kesehatan. Sebab, sejauh ini belum ada yang bisa menjamin kesangkilan metode tersebut dalam berbagai riset yang diterbitkan ahli.
"Sejauh ini juga belum ada yang menjadikan metode ini sebagai program nasional. Ini masih dalam tahapan riset, yang bahkan World Mosquito Program sendiri menargetkan riset ini selama 30 tahun," katanya.
Kendati begitu, secara teoritis potensi metode wolbachia menurutnya cukup efektif untuk mencegah penyebaran penyakit lain, seperti zika, chikungunya, dan demam kuning. Sebab berbagai jenis penyakit tersebut sejauh ini juga ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti.
Tantangan lain dari metode ini menurutnya adalah masalah dana. Sebab saat ini memang program pendanaan yang salah satunya disosialisasikan oleh pemerintah Indonesia itu didanai oleh Bill Gates, serta lembaga lain yang memiliki fokus terhadap masalah kesehatan di dunia.
Namun, ketika pendanaan dari berbagai lembaga tersebut berhenti, dipastikan bakal mengalokasikan dana negara yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah juga harus menyiapkan diri dengan seksama mengenai kelanjutan project pilot wolbachia dengan menggandeng berbagai pihak.
"Jadi, setidaknya masih ada waktu sekitar 2 dekade ke depan untuk membuktikan apakah inovasi ini betul-betul bisa dipakai untuk kemaslahatan manusia atau tidak," katanya.
Sebagai tambahan informasi, wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada lebih 60 persen serangga, seperti lalat buah, capung, dan kupu-kupu. Dalam penanganan DBD, bakteri ini disuntikkan ke telur nyamuk aedes aegypti, di mana saat telur menetas, nyamuk yang lahir akan mengandung bakteri wolbachia.
Baca juga: Nyamuk Berwolbachia Diklaim Bisa Meringankan Beban BPJS Kesehatan, Ini Penjelasannya
Ketika disebarkan ke masyarakat, nantinya saat nyamuk itu dewasa, nyamuk jantan yang mengandung wolbachia yang kawin dengan nyamuk betina yang tidak mengandung wolbachia, maka nyamuk betina tetap akan bertelur, tetapi telurnya tidak bisa menetas.
Namun, jika nyamuk jantan dan betina yang sama-sama mengandung wolbachia kawin, keturunannya otomatis akan mengandung wolbachia. Sedangkan, saat nyamuk betina berwolbachia kawin dengan pejantan yang tidak ber-Wolbachia, semua anaknya akan tetap mengandung wolbachia.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.