Produser Hanung Bramantyo (tengah) bersama dengan Aktor Chelsea Islan (kiri) dan Penulis Skenario Irfan Ramli saat acara Diskusi Panel spesial bertajuk Good Story, Great Actors di Jakarta, Sabtu (30/3/2024). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )

Hanung Bramantyo Ungkap Formula Jam Syuting Sehat & Bujet Produksi

30 March 2024   |   20:18 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Di balik gilang-gemilangnya pencapaian perfilman Indonesia, terdapat beberapa isu pelik yang masih menghantui para pekerjanya. Salah satu yang kerap jadi sorotan adalah perihal jam kerja yang sering kali berdurasi begitu panjang dan terkesan tak manusiawi.

Dalam satu hari syuting, para pelaku film bisa bekerja 15 jam bahkan hingga hampir seharian untuk hanya beberapa adegan. Hal ini membuat para pekerja film berada dalam situasi kesehatan fisik dan mental yang berbahaya.

Namun, persoalan jam kerja ini rupanya adalah bagian dari ekosistem kusut yang tak bisa diuraikan begitu saja. Jam kerja juga berkaitan pada elemen-elemen lain yang seolah memaksanya menjadi terkesan ‘normal-normal’ saja untuk dilakukan. 

Baca juga: Begini Skenario Pemerintah Memperkuat Ekosistem Perfilman Indonesia

Produser dan sutradara Hanung Bramantyo mengungkapkan bahwa jam kerja yang panjang dalam sebuah produksi film adalah bagian dari efek bola salju dari masalah yang sebenarnya lebih besar. Ini tidak hanya soal mau atau tidak mau mengefektifkan jam syuting, tetapi butuh perubahan ekosistem yang lebih menyeluruh.

Hanung mengatakan jam kerja tak bisa jadi sebuah masalah yang berdiri sendiri. Isu ini juga mesti dikaitkan dengan banyak hal, dari bujet produksi, visi produser, hingga gaji untuk pemain-pemain utama sebuah film.

Menurutnya, ada sebuah standar yang belakangan muncul di perfilman bahwa bujet produksi itu tak bisa jauh-jauh dari Rp6 miliar. Hanung mengaku heran sekaligus tak paham apa alasan angka tersebut muncul.

Namun, sering kali sebuah produksi kini memiliki bujet demikian. Hal ini membuat beberapa aspek mesti diimprovisasi demi syuting tetap berjalan dan lancar. Sebab, menolak atau menegosiasi pun menurutnya bukan sesuatu yang mudah.

“Saya enggak tahu mengapa begitu dan kalau ada yang menolak angka tersebut, pasti ada yang lain yang mau mengambil. Jadi kami ini seperti sebuah perdagangan bebas,” ungkap Hanung di Pita Sequis Center, Jakarta, Sabtu (30/3/2024).
 

Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina (kedua kanan) bersama dengan Aktor Senior Rano Karno (dari kiri) bersama dengan Aktor Chelsea Islan, Produser Hanung Bramantyo, Penulis Skenario Irfan Ramli, Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina dan Deputi Bidang Ekonomi Digital & Produk Kreatif Muhammad Neil El Himam saat acara Diskusi Panel spesial bertajuk

Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina (kedua kanan) bersama dengan Aktor Senior Rano Karno (dari kiri) bersama dengan Aktor Chelsea Islan, Produser Hanung Bramantyo, Penulis Skenario Irfan Ramli, Wakil Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 Prilly Latuconsina dan Deputi Bidang Ekonomi Digital & Produk Kreatif Muhammad Neil El Himam saat acara Diskusi Panel spesial bertajuk Good Story, Great Actors di Jakarta, Sabtu (30/3/2024). JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti )


Dari bujet Rp6 miliar tersebut, Hanung menyebut sepertiganya langsung habis untuk pemain utama film. Menurutnya, bujet untuk pemain utama sebuah film bisa menyedot anggaran hingga Rp2 miliar. Itu pun, kata dia, paling hanya mendapatkan 4 pemain utama saja.

Kemudian, untuk pemain tambahan, termasuk extras talent itu bisa menghabiskan Rp1 miliar. Dengan demikian, bujet murni produksi film itu paling-paling hanya menyentuh Rp3 miliar.

Bujet sisa tersebut masih harus dibagi lagi untuk sekitar 150 kru film, sewa peralatan, sewa tempat, set film, makeup, dan berbagai keperluan syuting lain. Pada akhirnya, hal tersebut membuat sebuah produksi tak berjalan sebagaimana idealnya seharusnya berjalan.

Salah satu yang paling berdampak adalah jam kerja. Sebab, mau tidak mau jam kerja seolah mesti diperpanjang demi bujet sewa alat dan berbagai macam lainnya bisa ditekan sedemikian rupa.

“Kalau mau bicara ideal, saya sebagai sutradara mau satu hari hanya mengerjakan 2 scene. Itu ideal. Namun, karena bujet dibagi secara tidak adil, satu hari produksi itu bisa langsung 14 scene, bayangkan,” imbuhnya.

Hanung melihat pemilihan angka standar berupa Rp6 miliar ini terkait dengan investasi. Sebab, angka tersebut belum termasuk dengan promosi. Adapun bujet promosi bisa Rp4 miliar-Rp5 miliar.

Oleh karena itu, untuk memastikan semua investasi kembali, banyak pihak lebih menyoroti pada bintang utama film. Hal tersebut pula yang membuat bujet pemain utama mengambil hampir sepertiga biaya produksi sendiri, sesuatu yang bagi Hanung tak sehat. 

Baca juga: Aktor Masih Tergolong Buruh, PARFI dorong UU Ketenagakerjaan Aktor

Padahal, film yang baik tidak hanya berbicara soal bintang utama saja. Film selalu berkaitan dengan kerja kolektif, seluruh elemen punya peran penting, termasuk penulisan naskah dan hal-hal mendasar lain yang kerap terlupakan tapi sebenarnya vital. Namun, karena mementingkan pemeran utama, sebuah produksi jadi mesti berimprovisasi dengan memanfaatkan bujet sisa yang ada. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Sroja dan Nawasana Hadirkan Koleksi Spesial Lebaran di Indonesia Fashion Week 2024

BERIKUTNYA

Hari Backup Sedunia 31 Maret, Begini Cara-cara Melindungi Data Pribadi 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: