Ilustrasi Piala Citra. (Sumber gambar: Kemenparekraf RI)

Hari Film Nasional 2024, Simak Sejarah Festival Film Indonesia

30 March 2024   |   14:10 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Peringatan Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret tiap tahunnya bisa menjadi momentum untuk lebih mengenal ekosistem perfilman. Bicara tentang dunia film dalam negeri, tak terlepas dari ajang Festival Film Indonesia (FFI) yang setiap tahunnya hadir untuk mengapresiasi kerja dan karya para insan perfilman Tanah Air.

FFI atau yang dikenal dengan nama Piala Citra juga hadir untuk merayakan kelahiran film-film Indonesia yang semakin terdepan. Piala Citra yang diberikan setiap tahun menjadi benang merah pencapaian perfilman Indonesia, yang membentuk peta dinamika dan kemajuan sinema nasional dahulu, kini, dan nanti.

Ajang penghargaan film paling prestisius di dalam negeri itu diharapkan dapat memberikan percikan semangat bagi para insan perfilman, untuk tetap konsisten menciptakan film-film Indonesia yang berkualitas dan membangun citra positif bagi industri perfilman Indonesia. 

Baca juga: Sejarah & Liku-liku Penetapan Hari Film Nasional Tiap 30 Maret

Merujuk pada e-book Merayakan Hari Film Nasional yang diterbitkan oleh Kemdikbud tahun 2017, Festival Film Indonesia (FFI) digagas oleh dua pilar besar perfilman Indonesia yakni Usmar Ismail dan Djamaludin Malik. Keduanya menggagas FFI di tengah kondisi perfilman nasional yang tengah terpuruk, ditandai dengan beberapa hal salah satunya maraknya film-film impor yang menguasai layar bioskop.

Dibuatnya festival film untuk menarik perhatian masyarakat yang kala itu cenderung skeptis dengan produksi perfilman lokal, sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap film-film buatan anak bangsa. Selain itu, festival film juga dibuat sebagai peristiwa budaya untuk mengevaluasi produksi film dalam negeri selama satu tahun.

Ajang ini pun menjadi forum pertemuan antara pembuat dan penonton film, sekaligus forum penilaian mengenai kualitas teknis penggarapan serta penyajian atas karya film. Alasan lainnya juga FFI harus dibuat lantaran kedua pioner itu menghadiri acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia/FPA) di Manila, Filipina. Pemenang FFI dimaksudkan untuk berkompetisi di FPA yang diselenggarakan secara bergiliran di negara-negara anggotanya.
 

Komite FFI 2023. (Sumber gambar: FFI/Instagram)

Komite FFI 2023. (Sumber gambar: FFI/Instagram)


Awal Mula FFI

FFI pertama kali digelar di Jakarta pada 30 Maret-5 April 1955. Gelaran perdana FFI langsung menuai kontroversi. Kala itu, film Tarmina garapan Lilik Sudjio didapuk sebagai Film Terbaik. Namun, para kritikus film menganggap keputusan itu janggal, karena film Lewat Djam Malam dari Usmar Ismail dianggap lebih layak mendapat titel tersebut. Akhirnya, pada tahun itu, FFI memiliki 2 pemenang Film Terbaik yakni Tarmina dan Lewat Djam Malam.

Gelaran FFI menemui berbagai dinamika sehingga tidak berjalan mulus. Setelah penyelenggaraan perdananya, FFI tidak digelar selama 3 tahun berturut-turut tepatnya pada 1956-1959. Festival baru diadakan kembali pada 1960, lalu kembali absen selama 7 tahun. FFI baru muncul lagi pada 1967 dan berganti nama menjadi Pekan Apresiasi Film Nasional, dan tidak ada Film Terbaik, kategori utama yang biasanya dinantikan.

Ajang FFI 1967 sangat bersifat politis, antara lain untuk menggairahkan kembali produksi film nasional yang lama tersendat akibat pergolakan politik nasional pasca peristiwa G30S. Ketiadaan kategori Film Terbaik juga berulang pada FFI 1977 dan 1984, karena alasan tidak ada film yang memenuhi kriteria penilaian dewan juri.

Gelaran FFI juga sempat diambil alih oleh Yayasan Film Indonesia (YFI) hingga akhirnya sepenuhnya dikelola oleh Dewan Film Nasional di bawah Departemen Penerangan RI. Pada masa itu, penyelenggaraan FFI berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain seperti Medan, Yogyakarta, Bandung, dan Bali, guna mendekatkan antara sineas dengan masyarakat.


Mati Suri Perfilman

Pada 1990-an, FFI absen digelar seiring dengan mati surinya industri perfilman nasional. Kala itu, angka produksi film terus merosot salah satunya disebabkan pesatnya perkembangan televisi swasta, sehingga film-film Hollywood dan Hong Kong yang merajai pasar. Hal inilah yang membuat FFI 1992 menjadi gelaran terakhir sebelum mengalami masa vakum.

Sebagai gantinya, diberikan Piala Vidia dalam ajang Festival Sinetron Indonesia (FSI). Kelesuan industri film nasional menyebabkan industri sinetron justru berkembang pesat. FSI menjadi ajang pengganti FFI yang prestisius, dan diadakan setiap tahun dengan meriah. Namun, penyelenggaraan FSI terhenti pada tahun 1999.

Setelah vakum selama 12 tahun, FFI kembali dihelat pada tahun 2004 seiring dengan era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi. Penyelenggara FFI pun silih berganti, mulai dari Komite Festival Film Indonesia yang menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009, hingga berdirinya Badan Perfilman Indonesia (BPI) tahun 2014.
 


Piala Citra

Piala Citra yang diberikan kepada pemenang menjadi salah satu hal ikonik dalam penyelenggaraan FFI. Menukil dari situs resmi FFI, kata 'citra' yang tersemat pada Piala Citra diambil dari judul sajak ciptaan Usmar Ismail dalam buku kumpulan puisi Puntung Berasap (1950). Atas permintaan Usmar Ismail, sajak tersebut kemudian diaransemen menjadi sebuah lagu oleh Cornel Simanjuntak. Lagu Citra kini menjadi lagu tema perhelatan Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia.

Pada perkembangannya, sajak Citra juga dialihwahanakan menjadi beberapa format karya seni lain oleh Usmar, diantaranya pertunjukan sandiwara pada tahun 1943 hingga film layar lebar pada 1949.

Tak hanya sajak Citra karya Usmar Ismail yang terus bertransformasi, Piala Citra juga terus berubah dari masa ke masa. Piala Citra diberikan pertama kali pada FFI 1973, yang saat itu masih diselenggarakan oleh Yayasan Film Indonesia (YFI).

Penggunaan nama tersebut diresmikan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, Budiardjo, pada pembukaan Festival Film Indonesia 1973 di Jakarta pada tanggal 26 Maret 1973, berdasarkan Keputusan Presiden Soeharto tentang nama Piala Citra, dengan harapan menjadi piala yang terhormat.

Piala Citra pertama dirancang oleh seniman patung Gregorius Sidharta. Desain piala tersebut digunakan hingga pelaksanaan FFI tahun 2007. Pada tahun 2008, FFI mengubah bentuk Piala Citra. Beberapa seniman patung dan seni rupa yang terlibat dalam proses transformasi itu antara lain Heru Sudjarwo, Yusuf Affendi, Dan Hisman Kartakusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo. Rancangan tersebut menjadi simbol semangat baru penyelenggaraan FFI.

Namun, pada penyelenggaraan FFI 2014, Piala Citra kembali diubah ke bentuk semula, yaitu rancangan Gregorius Sidharta, dengan sedikit modifikasi oleh Dolorosa Sinaga, salah satu anak didik Gregorius Sidharta di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Perubahan ini menjadi simbol kembalinya penyelenggaraan FFI kepada semangat awal.


Proses Penilaian FFI

Kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan film terbaik dalam FFI dilihat dari segi skenario, penyuntingan, penyutradaraan, dan sinematografi. Awalnya, dewan juri disodori semua film peserta dan langsung menentukan pemenangnya. Namun, sistem ini dinilai tidak efisien, karena dalam waktu relatif singkat juri harus melihat puluhan film dan berfokus pada unsur-unsur film yang menonjol.

Akhirnya, sistem penjurian diubah dengan melibatkan dewan penilai awal yang terdiri atas belasan wartawan film di ibu kota. Mereka mengusulkan beberapa film unggulan kepada dewan juri akhir. Namun, pada gelaran berikutnya, FFI kembali menerapkan sistem penjurian awal dan tidak lagi melibatkan dewan penilai awal.

Seiring waktu dan banyaknya masukan, akhirnya FFI membentuk kelompok penilai awal, yang diberi nam mulai dari Komite Pengaju Unggulan (KPU) hingga Komite Seleksi yang beranggotakan orang-orang film dari semua unsur. Tugas mereka memilih beberapa film terbaik berkualitas yang menjadi calon kuat pemenang.

Sistem penjurian kembali berubah pada tahun 2014 ketika dilaksanakan oleh BPI. Sejak saat itu, dibentuk panel Dewan Juri untuk proses penjurian FFI. Sistem penjuriannya dilakukan dalam dua tahap dan melibatkan akuntan publik. Tahap pertama untuk menentukan nominasi, dilanjutkan dengan penilaian oleh dewan juri, yang hasilnya direkapitulasi oleh akuntan publik. Sistem penilaian model baru ini kemudian diteruskan dalam FFI 2015 yang juga dilaksanakan oleh BPI hingga seterusnya.

Namun, pada 2022, Komite FFI membentuk Akademi Citra, yang beranggotakan para peraih Piala Citra minimal satu kali, masih terlibat aktif dalam produksi dan kegiatan perfilman hingga saat ini, serta diutamakan yang sudah terdaftar pada salah satu asosiasi profesi perfilman. Mereka berperan dalam menentukan nominasi sesuai kategori yang pernah diraih. 

Baca juga: Tema & Rangkaian Kegiatan Peringatan Hari Film Nasional 2024

Kehadiran Akademi Citra menarik karena mengadopsi sistem di mana tiap profesi akan menentukan atau menilai sesuai dengan divisinya masing-masing, seperti aktor menilai khusus bidang akting, editor menilai khusus bidang penyuntingan, dan seterusnya. Akademi Citra adalah respons terhadap masukan dari banyak pihak agar FFI melibatkan peran asosiasi-asosiasi profesi yang terlibat dalam produksi film mengingat film adalah kerja kolektif. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

David Foster Siapkan Konser Hitman Returns 2024 Kolaborasi Jessie J hingga Josh Groban

BERIKUTNYA

Hore, Usulan Indonesia Agar Idulfitri & Iduladha Masuk Agenda UNESCO Sah Diakui Dunia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: