Sejarah & Liku-liku Penetapan Hari Film Nasional Tiap 30 Maret
30 March 2024 |
12:08 WIB
Hari Film Nasional diperingati pada 30 Maret tiap tahun. Peringatan ini merujuk pada hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa yang disutradarai Usmar Ismail yakni pada 30 Maret 1950. Namun, penetapan Hari Film Nasional baru diresmikan 49 tahun kemudian tepatnya 1999. Mengapa demikian?
Meski telah diwacanakan sejak 1950, peringatan Hari Film Nasional baru benar-benar diresmikan oleh Presiden Ketiga RI B.J. Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional. Keputusan itu menetapkan bahwa tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Proses penetapan Hari Film Nasional (HFN) berjalan hampir empat dekade, melewati seluruh episode rezim Orde Baru. Bahkan, melewati masa zaman keemasan industri film itu sendiri pada dekade 80-an. Juga masa berkibarnya para maestro seperti Djajakusuma, Usmar Ismail, Sjumandjaja, Wim Umboh, Asrul Sani, Arifin C. Noer, sampai Teguh Karya.
Baca juga: Tema & Rangkaian Kegiatan Peringatan Hari Film Nasional 2024
Penetapan HFN tidaklah mulus, penuh liku-liku dan perdebatan. Penetapannya tidak lepas dari penegasan akan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui medium film, baik sebagai aspirasi politik maupun ekspresi artistik. Hal ini menunjukkan bahwa HFN adalah pernyataan akan identitas dan cita-cita kebangsaan alih-alih sekadar selebrasi.
Dengan kata lain, mewacanakan Hari Film Nasional sama dengan mewacanakan konsep film nasional, dan pada akhirnya tentang apa itu Indonesia.
Mengutip dari e-book Merayakan Film Nasional yang diterbitkan oleh Kemdikbud pada2017, wacana Hari Film Nasional pertama kali digagas oleh Dewan Film Indonesia (DFI) yang menetapkan hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional. Hal itu disampaikan dalam pertemuan organisasi-organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962.
Kala itu, Usmar merasa 'gerah' karena mesti mengakomodir banyak 'pesanan' dari produser. Akhirnya, bersama beberapa teman seniman, dia mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Dengan modal pesangon dari dinas ketentaraan, Usmar kemudian membuat film The Long March. Film itu kemudian diakui sebagai karya sinema pertamanya.
Pada 30 Maret 1950, bermodal kamera Akeley berumur puluhan tahun, rombongan produksi film Darah dan Doa berangkat ke Purwakarta dengan menyewa opelet rongsokan untuk memulai syuting. Selain Usmar, hanya Max Tera (juru kamera) yang memiliki pengalaman di bidang perfilman. Sisanya adalah pemain dan kru pendatang baru yang direkrut melalui iklan surat kabar dan mendapat latihan-latihan dasar selama beberapa minggu.
Darah dan Doa mengisahkan perjalanan pulang pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat, setelah ibu kota sementara itu diserang dan diduduki Belanda. Cerita berpusat pada pemimpin rombongan, Kapten Sudarto (diperankan oleh Del Juzar).
Meskipun sudah beristri, dalam perjalanan dia terlibat cinta dengan dua gadis. Film ini juga menggambarkan ketegangan terhadap ancaman serangan Belanda, selain berbagai persoalan kemanusiaan seperti ketakutan, keraguan, penderitaan, kesetiakawanan, pengkhianatan, dan lain-lain.
Hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional (HFN) oleh Dewan Film Indonesia (DFI) dalam pertemuan organisasi-organisasi perfilman, 11 Oktober 1962. Di samping 30 Maret, sebetulnya ada usulan lain, yakni 19 September, yang diambil dari tanggal syuting pidato pertama Presiden Sukarno di lapangan lkada (sekarang lapangan Monas).
Peliputan rapat umum yang berlangsung sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu dianggap mengandung nilai kepahlawanan. Karena situasi masih genting, rapat itu dijaga tentara Jepang. Keberanian juru kamera Berita Film Indonesia (BFI) yang lalu berubah nama menjadi PFN, merekam peristiwa bersejarah itu sangat berbahaya, sehingga dianggap patut menjadi tonggak untuk dikenang.
Baca juga: Sejarah Hari Film Nasional dan Peran Usmar Ismail
Aksi itu berhasil menghentikan pemutaran film-film AS di seluruh Indonesia, bahkan kemudian semua film dari negara Barat yang dianggap 'antek' AS. Sebagai pengganti, mereka memasukkan film-film dari Rusia, Tiongkok, dan negara-negara sosialis lain. Tapi usul terakhir ini menguap begitu saja setelah peristiwa 30 September.
Barulah pada 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, gagasan mengenai HFN diangkat lagi. Dewan Film Nasional (DFN), kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret sebagai HFN untuk dijadikan keputusan bersama. Namun, usaha itu tersendat lagi, karena PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober.
Tanggal 19 September diambil dari tanggal syuting pidato pertama Presiden Sukarno di lapangan lkada, sementara 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi BFI dan PFN.
Usulan 6 Oktober langsung ditolak, karena dinilai tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan. Dengan begitu, hanya tersisa dua usulan tanggal HFN yakni 30 Maret dan 19 September.
Untuk menghindari konflik, pemerintah kembali mencari kesepakatan bersama dari persoalan tersebut. Awal 1990, DFN memutuskan menjaring pendapat soal HFN. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk memimpin pertemuan sejumlah orang yang pernah terlibat dalam sejarah film di gedung Badan Sensor Film (BSF).
Pelbagai pendapat dikemukakan peserta pertemuan dan secara umum tetap menganggap kedua tanggal yang diusulkan mempunyai kekuatan masing-masing. Salah satunya, 19 September berkaitan dengan peristiwa revolusi, sebagaimana lazimnya hari-hari peringatan nasional.
Salah satu peserta pertemuan itu adalah Alwi Dahlan, yang pernah terlibat di perfilman pada 1950-an dan ketika itu sudah beberapa kali menjadi juri Festival Film Indonesia (FFl). Menurutnya, kedua tanggal itu penting untuk ditetapkan sebagai HFN, tapi 19 September dianggap merupakan peristiwa jurnalistik.
Sedangkan HFN yang perlu ditetapkan adalah untuk memperingati pembuatan film cerita. Pendapatnya pun diterima peserta sidang karena dianggap berhasil memberikan dasar pertimbangan yang tepat. Praktis pilihan untuk HFN tinggal satu tanggal yakni 30 Maret.
Akan tetapi, DFN baru menetapkan HFN pada 30 Maret sesudah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman diterbitkan. Bersamaan dengan ketetapan itu, film Darah dan Doa dinobatkan sebagai film Indonesia pertama karena disutradarai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia. Film itu dinilai mencerminkan kesadaran nasional dan mengisyaratkan lahirnya sejarah film Indonesia.
HFN kemudian disahkan sebagai peringatan nasional melalui Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999, yang ditandatangani oleh B.J. Habibie pada 29 Maret 1999. Dalam pidatonya pada peringatan HFN di Istana Negara, 30 Maret 1999, Presiden Habibie menyebut Usmar Ismail berhasil membuat konsep film sebagai karya seni yang bebas, mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak digantungkan pada komersialitas.
Konsep film Usmar Ismail, kata Habibie, sangat bertolak belakang dengan konsep film pada masa penjajahan Belanda, yang hanya menjadikan film sebagai alat hiburan, karena mereka tidak merasa bertanggungjawab terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Begitu pula pasa masa penjajahan Jepang, film hanya dijadikan sebagai alat propaganda.
"Tanggal 30 Maret kita tetapkan sebagai Hari Film Nasional, karena pada hari itu, 49 tahun yang lalu, untuk pertama kali seorang anak bangsa secara mandiri memproduksi sebuah film," kata Presiden Habibie.
Baca juga: Referensi 20 Ucapan & Link Twibbon Perayaan Hari Film Nasional 2024
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Meski telah diwacanakan sejak 1950, peringatan Hari Film Nasional baru benar-benar diresmikan oleh Presiden Ketiga RI B.J. Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional. Keputusan itu menetapkan bahwa tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Proses penetapan Hari Film Nasional (HFN) berjalan hampir empat dekade, melewati seluruh episode rezim Orde Baru. Bahkan, melewati masa zaman keemasan industri film itu sendiri pada dekade 80-an. Juga masa berkibarnya para maestro seperti Djajakusuma, Usmar Ismail, Sjumandjaja, Wim Umboh, Asrul Sani, Arifin C. Noer, sampai Teguh Karya.
Baca juga: Tema & Rangkaian Kegiatan Peringatan Hari Film Nasional 2024
Penetapan HFN tidaklah mulus, penuh liku-liku dan perdebatan. Penetapannya tidak lepas dari penegasan akan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui medium film, baik sebagai aspirasi politik maupun ekspresi artistik. Hal ini menunjukkan bahwa HFN adalah pernyataan akan identitas dan cita-cita kebangsaan alih-alih sekadar selebrasi.
Dengan kata lain, mewacanakan Hari Film Nasional sama dengan mewacanakan konsep film nasional, dan pada akhirnya tentang apa itu Indonesia.
Mengutip dari e-book Merayakan Film Nasional yang diterbitkan oleh Kemdikbud pada2017, wacana Hari Film Nasional pertama kali digagas oleh Dewan Film Indonesia (DFI) yang menetapkan hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional. Hal itu disampaikan dalam pertemuan organisasi-organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962.
Film Darah dan Doa
Darah dan Doa (The Long March) adalah film ketiga yang disutradarai oleh Usmar Ismail setelah Harta Karun dan Tjitra yang sama-sama diproduksi pada 1949. Sebelumnya, Usmar bekerja untuk South Pacific Film Corporation serta membantu sutradara Andjas Asmara menyutradarai film Gadis Desa (1949).Kala itu, Usmar merasa 'gerah' karena mesti mengakomodir banyak 'pesanan' dari produser. Akhirnya, bersama beberapa teman seniman, dia mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Dengan modal pesangon dari dinas ketentaraan, Usmar kemudian membuat film The Long March. Film itu kemudian diakui sebagai karya sinema pertamanya.
Adegan film Darah dan Doa (1950). Sumber gambar: Sinematek Indonesia
Darah dan Doa mengisahkan perjalanan pulang pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat, setelah ibu kota sementara itu diserang dan diduduki Belanda. Cerita berpusat pada pemimpin rombongan, Kapten Sudarto (diperankan oleh Del Juzar).
Meskipun sudah beristri, dalam perjalanan dia terlibat cinta dengan dua gadis. Film ini juga menggambarkan ketegangan terhadap ancaman serangan Belanda, selain berbagai persoalan kemanusiaan seperti ketakutan, keraguan, penderitaan, kesetiakawanan, pengkhianatan, dan lain-lain.
Hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional (HFN) oleh Dewan Film Indonesia (DFI) dalam pertemuan organisasi-organisasi perfilman, 11 Oktober 1962. Di samping 30 Maret, sebetulnya ada usulan lain, yakni 19 September, yang diambil dari tanggal syuting pidato pertama Presiden Sukarno di lapangan lkada (sekarang lapangan Monas).
Peliputan rapat umum yang berlangsung sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu dianggap mengandung nilai kepahlawanan. Karena situasi masih genting, rapat itu dijaga tentara Jepang. Keberanian juru kamera Berita Film Indonesia (BFI) yang lalu berubah nama menjadi PFN, merekam peristiwa bersejarah itu sangat berbahaya, sehingga dianggap patut menjadi tonggak untuk dikenang.
Baca juga: Sejarah Hari Film Nasional dan Peran Usmar Ismail
Perdebatan Tanggal Hari Film Nasional
Meskipun sudah ditetapkan, HFN belum sepenuhnya diterima dan tidak pernah diperingati atau dirayakan. Bahkan pada 1964, pegiat perfilman komunis mengusulkan 9 Mei sebagai HFN. Dasarnya tanggal pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film lmperialis Amerika Serikat (PAPFIAS).Aksi itu berhasil menghentikan pemutaran film-film AS di seluruh Indonesia, bahkan kemudian semua film dari negara Barat yang dianggap 'antek' AS. Sebagai pengganti, mereka memasukkan film-film dari Rusia, Tiongkok, dan negara-negara sosialis lain. Tapi usul terakhir ini menguap begitu saja setelah peristiwa 30 September.
Barulah pada 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, gagasan mengenai HFN diangkat lagi. Dewan Film Nasional (DFN), kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret sebagai HFN untuk dijadikan keputusan bersama. Namun, usaha itu tersendat lagi, karena PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober.
Tanggal 19 September diambil dari tanggal syuting pidato pertama Presiden Sukarno di lapangan lkada, sementara 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi BFI dan PFN.
Usulan 6 Oktober langsung ditolak, karena dinilai tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan. Dengan begitu, hanya tersisa dua usulan tanggal HFN yakni 30 Maret dan 19 September.
Usmar Ismail dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia. (Sumber gambar: Sinematek Indonesia)
Pelbagai pendapat dikemukakan peserta pertemuan dan secara umum tetap menganggap kedua tanggal yang diusulkan mempunyai kekuatan masing-masing. Salah satunya, 19 September berkaitan dengan peristiwa revolusi, sebagaimana lazimnya hari-hari peringatan nasional.
Salah satu peserta pertemuan itu adalah Alwi Dahlan, yang pernah terlibat di perfilman pada 1950-an dan ketika itu sudah beberapa kali menjadi juri Festival Film Indonesia (FFl). Menurutnya, kedua tanggal itu penting untuk ditetapkan sebagai HFN, tapi 19 September dianggap merupakan peristiwa jurnalistik.
Sedangkan HFN yang perlu ditetapkan adalah untuk memperingati pembuatan film cerita. Pendapatnya pun diterima peserta sidang karena dianggap berhasil memberikan dasar pertimbangan yang tepat. Praktis pilihan untuk HFN tinggal satu tanggal yakni 30 Maret.
Akan tetapi, DFN baru menetapkan HFN pada 30 Maret sesudah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman diterbitkan. Bersamaan dengan ketetapan itu, film Darah dan Doa dinobatkan sebagai film Indonesia pertama karena disutradarai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia. Film itu dinilai mencerminkan kesadaran nasional dan mengisyaratkan lahirnya sejarah film Indonesia.
HFN kemudian disahkan sebagai peringatan nasional melalui Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999, yang ditandatangani oleh B.J. Habibie pada 29 Maret 1999. Dalam pidatonya pada peringatan HFN di Istana Negara, 30 Maret 1999, Presiden Habibie menyebut Usmar Ismail berhasil membuat konsep film sebagai karya seni yang bebas, mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak digantungkan pada komersialitas.
Konsep film Usmar Ismail, kata Habibie, sangat bertolak belakang dengan konsep film pada masa penjajahan Belanda, yang hanya menjadikan film sebagai alat hiburan, karena mereka tidak merasa bertanggungjawab terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Begitu pula pasa masa penjajahan Jepang, film hanya dijadikan sebagai alat propaganda.
"Tanggal 30 Maret kita tetapkan sebagai Hari Film Nasional, karena pada hari itu, 49 tahun yang lalu, untuk pertama kali seorang anak bangsa secara mandiri memproduksi sebuah film," kata Presiden Habibie.
Baca juga: Referensi 20 Ucapan & Link Twibbon Perayaan Hari Film Nasional 2024
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.