Tantangan & Peluang di Balik Perang Bisnis Air Minum dalam Kemasan
29 March 2024 |
06:00 WIB
Tak dapat dimungkiri, air merupakan salah satu komoditas bisnis yang amat krusial. Di balik infrastruktur air yang kian kencang diurus pemerintah, kompetisi pun terjadi dari tangan-tangan pelaku usaha industri air minum dalam kemasan (AMDK), yang diprediksi terus tumbuh seiring kenaikan permintaan air bersih.
Bisnis AMDK mendorong perusahaan air minum terus memasok air layak konsumsi dengan jaminan mutu terbaik dari segi kualitas, higienitas, dan keamanan produk. Perusahaan AMDK bak berlomba-lomba melancarkan strategi hingga membangun branding unik untuk memikat konsumen yang loyal. Sebab, bisnis ini boleh dikatakan sebagai usaha yang tergolong dalam ‘red ocean’ dengan begitu banyak pelaku usaha bersaing dalam satu jenis komoditas yang sama.
Berdasarkan laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), saat ini terdapat 99,5% produk AMDK dalam negeri yang telah terdaftar. Secara total, ada 7.780 produk AMDK dengan jumlah produsen seluruh Indonesia sebanyak 1.032 perusahaan yang terdaftar di BPOM.
Dari berbagai jenis AMDK, air mineral memegang persentase produk terbanyak dengan total 6.092 produk atau 78,30?ri jenis AMDK lainnya. Ini merupakan produk air minum kemasan yang paling sering ditemui di pasaran atau peritel saat ini.
Baca juga: Jangan Asal Pilih Air Minum, Begini Bahayanya
Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN) Rahmat Hidayat mengatakan, tak dapat dimungkiri bahwa bisnis AMDK di Indonesia saat ini masuk dalam salah satu penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor makanan dan minuman yang cukup besar.
Menurut Rahmat, penetrasi AMDK di masyarakat pun sudah cukup tinggi. Bisnis yang sudah sutain sejak 1973 di Indonesia ini memang tampaknya mendominasi di kota-kota besar. “Saya rasa penetrasi tinggi utamanya di kota-kota besar sudah diatas 60%,” kata Rahmat.
Rahmat mengiyakan jika AMDK merupakan pasar dengan sangat banyak pemain atau yang sering disebut sebagai red ocean. Apalagi, barrier to entry untuk pelaku usaha terjun juga tidak terlalu besar. Dia menyebut, data Kementerian Perindustrian menyebutkan sudah ada sekitar 700-900 pelaku industri AMDK. dengan total merek mencapai lebih dari 2.000.
“Dari pemain yang banyak, bisa terlihat bagaimana persaingannya. Terutama dengan faktor barrier to entry yang relatif rendah tadi,” kata Rahmat.
Dari sisi persaingan bisnis, Rahmat menilai faktor kompetisi AMDK hampir sama saja dengan industri fast moving consumer goods (FMCG) lainnya. Mereka berlomba-lomba untuk merebut hati konsumen dengan produk yang relatif sama. Selain soal pemasaran, pelaku industri AMDK juga menemui tantangan pada sistem distribusi dan bahan baku kemasan.
“Sebab rata-rata komoditas harganya naik, termasuk juga plastik yang menjadi bahan kemasannya (AMDK),” sambungnya.
Tantangan lain yang ditemui pelaku usaha juga terkait logistik. Menurut Rahmat AMDK merupakan bisnis yang dikendarai oleh volume. Karena itu, rata-rata pabriknya tersebar karena harus dekat dengan lokasi sumber mata air. Faktor ini tentu akan mempengaruhi distribusi AMDK di tengah tantangan naiknya harga sumber energi dan BBM.
“Volume drive itu jadi tantangan, jadi frekuensi pengangkutannya harus tinggi. Maka kita harap pemerintah tidak menerapkan pembatasan angkutan barang sebab AMDK ini sangat fast moving,” katanya.
Rahmat meyakini jika bisnis AMDK tetap atraktif jika melihat sekitar 10 tahun ke depan. Faktor barrier to entry yang rendah tentu akan membuat pelaku usaha AMDK semakin banyak ke depannya. Sementara dari sisi daya beli masyarakat, saat ini para pelaku usaha terus berupaya untuk menumbuhkan permintaan terhadap AMDK.
Meski sudah berangsur naik pasca Covid-19, tetapi dia berpendapat daya beli terhadap AMDK belum bisa menyamai sewaktu sebelum masa terjadinya pandemi. “Harapannya daya beli masyarakat meningkat seiring dengan meningkatnya juga ekonomi dan kesejahteraan, jadi lebih banyak yang konsumsi AMDK,” katanya.
Baca juga: Meski Aman Dikonsumsi, Air Minum Dalam Kemasan Belum Tentu Terbebas Risiko
Meski masih berjibaku dengan daya beli masyarakat, Presiden Direktur CLEO Melisa Patricia menyebutkan CLEO sebagai pelaku industri AMDK mampu mencapai pertumbuhan yang signifikan menembus double-digit dan melampaui pertumbuhan industri sebesar 8%.
Namun Melisa mengiyakan jika 2024 akan menjadi tahun yang penuh tantangan, meski tetap potensial bagi industri AMDK apabila melakukan strategi dengan tepat. Menurutnya, salah satu strategi penting untuk bertahan dan tumbuh di industri ini adalah dengan memperhatikan brand loyalty,
Untuk itu, diperlukan beberapa komitmen dalam menjaga kualitas produk dengan penjagaan bahan baku produk yakni air murni, termasuk juga produk yang dikemas aman, inovatif, dan mampu menjangkau pelanggan melalui perluasan distribusi.
Selain melakukan ekspansi produk, CLEO juga fokus pada pada perluasan penetrasi pasar di wilayah dengan potensi pertumbuhan besar. “Awal 2024, CLEO memiliki total 32 pabrik dan ada 3 pabrik yang akan buka di Palu, Pontianak, dan Pekanbaru,” katanya.
Ekspansi menjadi strategi utama yang diterapkan CLEO untuk memperluas jaringan distribusi. Melisa menyebut, tujuannya adalah mendekatkan diri kepada pelanggan sekaligus mengurangi biaya transportasi. “Pusat perhatian ekspansi ini terutama difokuskan pada wilayah yang belum terjamah seperti di luar Jawa dan Bali,” sambungnya.
Strategi ini dilakukan untuk meredam kendala umum dalam bisnis AMDK yakni sumber mata air dan biaya pengangkutan atau distribusi yang tinggi. Dari sisi pengelolaan sumber air, perusahaan mengikuti peraturan lingkungan hidup yang berlaku karena ingin bisnisnya relevan dan sustainable.
Sementara dari sisi distribusi, dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biaya logistik menjadi salah satu tantangannya, perseroan secara aktif membangun pabrik di seluruh wilayah Indonesia untuk mengurangi biaya transportasi dan untuk dapat menjangkau pasar yang ditargetkan.
Baca juga: Kisah Syukri Sukses Bisnis Depot Air Minum Reverse Osmosis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Bisnis AMDK mendorong perusahaan air minum terus memasok air layak konsumsi dengan jaminan mutu terbaik dari segi kualitas, higienitas, dan keamanan produk. Perusahaan AMDK bak berlomba-lomba melancarkan strategi hingga membangun branding unik untuk memikat konsumen yang loyal. Sebab, bisnis ini boleh dikatakan sebagai usaha yang tergolong dalam ‘red ocean’ dengan begitu banyak pelaku usaha bersaing dalam satu jenis komoditas yang sama.
Berdasarkan laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), saat ini terdapat 99,5% produk AMDK dalam negeri yang telah terdaftar. Secara total, ada 7.780 produk AMDK dengan jumlah produsen seluruh Indonesia sebanyak 1.032 perusahaan yang terdaftar di BPOM.
Dari berbagai jenis AMDK, air mineral memegang persentase produk terbanyak dengan total 6.092 produk atau 78,30?ri jenis AMDK lainnya. Ini merupakan produk air minum kemasan yang paling sering ditemui di pasaran atau peritel saat ini.
Baca juga: Jangan Asal Pilih Air Minum, Begini Bahayanya
Ketua Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN) Rahmat Hidayat mengatakan, tak dapat dimungkiri bahwa bisnis AMDK di Indonesia saat ini masuk dalam salah satu penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor makanan dan minuman yang cukup besar.
Menurut Rahmat, penetrasi AMDK di masyarakat pun sudah cukup tinggi. Bisnis yang sudah sutain sejak 1973 di Indonesia ini memang tampaknya mendominasi di kota-kota besar. “Saya rasa penetrasi tinggi utamanya di kota-kota besar sudah diatas 60%,” kata Rahmat.
Rahmat mengiyakan jika AMDK merupakan pasar dengan sangat banyak pemain atau yang sering disebut sebagai red ocean. Apalagi, barrier to entry untuk pelaku usaha terjun juga tidak terlalu besar. Dia menyebut, data Kementerian Perindustrian menyebutkan sudah ada sekitar 700-900 pelaku industri AMDK. dengan total merek mencapai lebih dari 2.000.
“Dari pemain yang banyak, bisa terlihat bagaimana persaingannya. Terutama dengan faktor barrier to entry yang relatif rendah tadi,” kata Rahmat.
Dari sisi persaingan bisnis, Rahmat menilai faktor kompetisi AMDK hampir sama saja dengan industri fast moving consumer goods (FMCG) lainnya. Mereka berlomba-lomba untuk merebut hati konsumen dengan produk yang relatif sama. Selain soal pemasaran, pelaku industri AMDK juga menemui tantangan pada sistem distribusi dan bahan baku kemasan.
“Sebab rata-rata komoditas harganya naik, termasuk juga plastik yang menjadi bahan kemasannya (AMDK),” sambungnya.
Tantangan lain yang ditemui pelaku usaha juga terkait logistik. Menurut Rahmat AMDK merupakan bisnis yang dikendarai oleh volume. Karena itu, rata-rata pabriknya tersebar karena harus dekat dengan lokasi sumber mata air. Faktor ini tentu akan mempengaruhi distribusi AMDK di tengah tantangan naiknya harga sumber energi dan BBM.
“Volume drive itu jadi tantangan, jadi frekuensi pengangkutannya harus tinggi. Maka kita harap pemerintah tidak menerapkan pembatasan angkutan barang sebab AMDK ini sangat fast moving,” katanya.
Rahmat meyakini jika bisnis AMDK tetap atraktif jika melihat sekitar 10 tahun ke depan. Faktor barrier to entry yang rendah tentu akan membuat pelaku usaha AMDK semakin banyak ke depannya. Sementara dari sisi daya beli masyarakat, saat ini para pelaku usaha terus berupaya untuk menumbuhkan permintaan terhadap AMDK.
Meski sudah berangsur naik pasca Covid-19, tetapi dia berpendapat daya beli terhadap AMDK belum bisa menyamai sewaktu sebelum masa terjadinya pandemi. “Harapannya daya beli masyarakat meningkat seiring dengan meningkatnya juga ekonomi dan kesejahteraan, jadi lebih banyak yang konsumsi AMDK,” katanya.
Baca juga: Meski Aman Dikonsumsi, Air Minum Dalam Kemasan Belum Tentu Terbebas Risiko
Pentingnya Ekspansi & Penetrasi Pasar
Ilustrasi air minum dalam kemasan (Sumber gambar: Quokkabottles/Unsplash)
Namun Melisa mengiyakan jika 2024 akan menjadi tahun yang penuh tantangan, meski tetap potensial bagi industri AMDK apabila melakukan strategi dengan tepat. Menurutnya, salah satu strategi penting untuk bertahan dan tumbuh di industri ini adalah dengan memperhatikan brand loyalty,
Untuk itu, diperlukan beberapa komitmen dalam menjaga kualitas produk dengan penjagaan bahan baku produk yakni air murni, termasuk juga produk yang dikemas aman, inovatif, dan mampu menjangkau pelanggan melalui perluasan distribusi.
Selain melakukan ekspansi produk, CLEO juga fokus pada pada perluasan penetrasi pasar di wilayah dengan potensi pertumbuhan besar. “Awal 2024, CLEO memiliki total 32 pabrik dan ada 3 pabrik yang akan buka di Palu, Pontianak, dan Pekanbaru,” katanya.
Ekspansi menjadi strategi utama yang diterapkan CLEO untuk memperluas jaringan distribusi. Melisa menyebut, tujuannya adalah mendekatkan diri kepada pelanggan sekaligus mengurangi biaya transportasi. “Pusat perhatian ekspansi ini terutama difokuskan pada wilayah yang belum terjamah seperti di luar Jawa dan Bali,” sambungnya.
Strategi ini dilakukan untuk meredam kendala umum dalam bisnis AMDK yakni sumber mata air dan biaya pengangkutan atau distribusi yang tinggi. Dari sisi pengelolaan sumber air, perusahaan mengikuti peraturan lingkungan hidup yang berlaku karena ingin bisnisnya relevan dan sustainable.
Sementara dari sisi distribusi, dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan biaya logistik menjadi salah satu tantangannya, perseroan secara aktif membangun pabrik di seluruh wilayah Indonesia untuk mengurangi biaya transportasi dan untuk dapat menjangkau pasar yang ditargetkan.
Baca juga: Kisah Syukri Sukses Bisnis Depot Air Minum Reverse Osmosis
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.