Jangan Disepelekan, Efek Hipertensi Dapat Merusak Jantung, Ginjal Hingga Otak
16 March 2024 |
13:30 WIB
Hipertensi memiliki julukan silent killer atau pembunuh dalam senyap. Pasalnya, kondisi tanpa gejala awal ini bisa merusak organ vital di dalam tubuh seperti jantung, ginjal, dan otak, yang bisa berujung pada kematian jika tidak terkelola dengan baik.
Berdasarkan Survei Nasional 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia sangat besar yaitu sebesar 34,1 persen atau sekitar 70 juta dari total jumlah penduduk. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dari 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalani skrining riwayat kesehatan, 8 persen diantaranya berisiko menderita hipertensi.
Sementara itu, beban ekonomi akibat komplikasi kondisi ini pun cukup tinggi. Klaim pengobatan penyakit terbesar yang ditanggung BPJS pada 2023 masih dipegang penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2021 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Baca juga: Mengenal Hipertensi Jas Putih yang Tidak Perlu Obat
Penyakit jantung menjadi salah satu kondisi yang bisa disebabkan karena hipertensi yang tidak tertangani. Siska Suridanda Danny, PIC Konsensus – Kardio Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension/InaSH), menerangkan hipertensi pada organ jantung merupakan kontributor utama terjadinya serangan jantung dan gagal jantung. Dua hal yang sering dianggap serupa namun sesungguhnya berbeda ini merupakan penyebab kematian tertinggi pada bidang kardiovaskular.
Siska menjelaskan serangan jantung adalah suatu kondisi tersumbatnya pembuluh darah koroner (pembuluh yang memberi makan otot jantung) secara mendadak. Proses ini umumnya dimulai dengan adanya faktor risiko kardiovaskular antara lain hipertensi, diabetes melitus, kadar kolesterol tinggi, dan merokok, yang menyebabkan penumpukan lemak dan pengapuran di dinding pembuluh darah koroner.
Seiring dengan waktu, penumpukan ini menjadi semakin tebal, mengganggu aliran dan dapat tiba-tiba menimbulkan terhentinya aliran darah ke otot jantung jantung. “Inilah yang kita sebut sebagai serangan jantung,” ujarnya saat ditemui Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Sementara itu, gagal jantung merupakan kondisi ketidakmampuan jantung memompa darah ke
seluruh tubuh akibat kelemahan otot jantung. Salah satu faktor risiko utama terjadinya hal ini adalah hipertensi. Tingginya tekanan darah di aorta dan arteri besar menyebabkan otot jantung harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan aliran darah ke seluruh tubuh.
Bila hal ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, Siska menyebut otot jantung akan mengalami penebalan, pelebaran serta gangguan fungsi pompa yang serius. “Sebagian besar komplikasi terkait hipertensi ini bersifat ireversibel, dalam arti jika sudah terjadi, tidak bisa diperbaiki kembali fungsinya dan akan rusak secara menetap,” ungkap dokter jantung yang berpraktik di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita itu.
Oleh karena itu, Siska menekankan pentingnya terapi hipertensi yang bukan untuk menurunkan tekanan darah, tetapi mencegah kerusakan organ. Jangan pula pasien mengalami fenomena hipertensi resisten, yakni hipertensi yang tidak tertangani walaupun telah menggunakan kombinasi tiga macam obat atau lebih. Kelompok ini menurutnya memiliki risiko kematian kardiovaskular yang tinggi sehingga harus mendapatkan perhatian lebih.
Dokter Spesialis Ginjal dari RSPAD Gatot Soebroto Djoko Wibisono memastikan obat hipertensi yang wajib diminum secara rutin bukan penyebab ginjal rusak. Justru yang merusak ginjal itu sendiri yakni tekanan darah tinggi yang terus menerus dan tidak terkendali.
Hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik (PGK). Diketahui, sekitar 1 dari 10 orang di dunia menderita PGK yang dikaitkan dengan peningkatan risiko semua penyebab kematian dan merupakan penyebab kematian nomor lima di dunia.
Baca juga: Mitos atau Fakta, Kopi Bisa Sebabkan Hipertensi? Begini Penjelasan Dokter Jantung
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi PGK di Indonesia 3,8 per 1.000 penduduk atau 1.017.260 penduduk menderita PGK. Dari total penduduk Indonesia yang menderita PGK, 19,3 persen atau 196.332 penduduk diantaranya menjalani cuci darah (Hemodialisis). Meskipun beban PGK semakin meningkat secara global, PGK masih kurang terdiagnosis dikarenakan stadium awal cenderung tidak bergejala.
Djoko menyampaikan secara global dan di Indonesia, penyebab PGK tersering adalah diabetes dan hipertensi. Maka, setiap penyandang hipertensi dan diabetes perlu melakukan deteksi dini untuk mencegah PGK. Caranya yakni dengan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini melalui pemeriksaan darah dan urin.
Pemeriksaan darah dilakukan dengan melihat kadar kreatinin dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) untuk melihat fungsi ginjal. Sementara pemeriksaan urine dilakukan dengan melihat kadar albumin atau protein dengan pemeriksaan Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) untuk melihat kebocoran ginjal. “Ceknya gampang, kencing pagi hari. Kalau kencingnya ada darah, ada protein, hati-hati, mungkin sudah terkena penyakit ginjal kronik walaupun tidak terasa apa-apa,” saran Djoko.
Selain jantung dan ginjal, hipertensi yang tidak diobati juga menimbulkan kerusakan pada otak. Tekanan darah tinggi bisa merusak susunan saraf. Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty menjabarkan hipertensi dapat menyebabkan Transient Ischemic Attack (TIA) atau stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah.
Hipertensi bisa dikatakan sebagai faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian, hipertensi ditemukan pada 60-70 persen kasus stroke. Hipertensi akan menyebabkan kerusakan endotel dinding pembuluh darah arteri yang akan menginisiasi proses aterosklerosis. Dinding pembuluh darah akan rusak dan mempermudah partikel untuk saling menempel yang akan membentuk plak.
Plak ini, bisa bersifat tidak stabil dan sewaktu-waktu lepas menuju ke distal dan menyumbat di pembuluh darah yang lebih kecil. Eka menyebut proses aterosklerosis juga akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah. Kedua kondisi ini akan menyebabkan aliran darah ke otak terganggu dan terjadilah stroke iskemik.
Selain menyebabkan penyumbatan aliran darah, hipertensi menyebabkan terjadinya perdarahan di otak. Hipertensi akan menyebabkan lipohialinosis pembuluh darah arteri berukuran kecil, sehingga dindingnya menipis dan mudah pecah. Gangguan kognitif dan demensia juga disebabkan oleh hipertensi.
Eka melanjutkan, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif dan demensia termasuk penyakit Alzheimer. Mekanisme terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi sangat kompleks. Hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup, menurunkan neurotransmiter akan memicu kerusakan sel neuron. “Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko menjadi demensia yang dikenal dengan demensia vaskular,” tutur dokter saraf dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita itu.
Untuk mencegah kerusakan saraf ini, pasien perlu menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan, serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama pada pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa. Hal yang harus diingat menurut Eka, faktor risiko stroke bukan hanya hipertensi.
Stroke juga bisa disebabkan karena diabetes, obesitas, dan dislipidemia yang juga harus ditangani dengan benar. Bila terjadi stroke, Eka berpesan agar pasien segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk menangani stroke. Pada kasus stroke iskemik akan dilakukan trombolisis intravena (IVT) dalam tenggang waktu empat jam tiga puluh menit setelah onset (golden time).
Baca juga: 7 Makanan Sehat untuk Cegah Hipertensi, dari Ikan Berlemak sampai Telur
Tatalaksana perdarahan otak ini ditentukan oleh luas dan volume perdarahan serta lokasi perdarahan. Pada kasus perdarahan yang kecil dilakukan tindakan konservatif. Untuk perdarahan yang luas dibutuhkan tindakan operasi untuk mengevakuasi perdarahan dan bila diperlukan dipasang drainage (VP shunt). “Bagi pasien-pasien hipertensi yang mengalami gangguan kognitif dan demensia, harus mendapat terapi khusus termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya,” jelas Eka.
Editor: Fajar Sidik
Berdasarkan Survei Nasional 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia sangat besar yaitu sebesar 34,1 persen atau sekitar 70 juta dari total jumlah penduduk. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dari 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalani skrining riwayat kesehatan, 8 persen diantaranya berisiko menderita hipertensi.
Sementara itu, beban ekonomi akibat komplikasi kondisi ini pun cukup tinggi. Klaim pengobatan penyakit terbesar yang ditanggung BPJS pada 2023 masih dipegang penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2021 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Baca juga: Mengenal Hipertensi Jas Putih yang Tidak Perlu Obat
Penyakit jantung menjadi salah satu kondisi yang bisa disebabkan karena hipertensi yang tidak tertangani. Siska Suridanda Danny, PIC Konsensus – Kardio Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension/InaSH), menerangkan hipertensi pada organ jantung merupakan kontributor utama terjadinya serangan jantung dan gagal jantung. Dua hal yang sering dianggap serupa namun sesungguhnya berbeda ini merupakan penyebab kematian tertinggi pada bidang kardiovaskular.
Siska menjelaskan serangan jantung adalah suatu kondisi tersumbatnya pembuluh darah koroner (pembuluh yang memberi makan otot jantung) secara mendadak. Proses ini umumnya dimulai dengan adanya faktor risiko kardiovaskular antara lain hipertensi, diabetes melitus, kadar kolesterol tinggi, dan merokok, yang menyebabkan penumpukan lemak dan pengapuran di dinding pembuluh darah koroner.
Seiring dengan waktu, penumpukan ini menjadi semakin tebal, mengganggu aliran dan dapat tiba-tiba menimbulkan terhentinya aliran darah ke otot jantung jantung. “Inilah yang kita sebut sebagai serangan jantung,” ujarnya saat ditemui Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Sementara itu, gagal jantung merupakan kondisi ketidakmampuan jantung memompa darah ke
seluruh tubuh akibat kelemahan otot jantung. Salah satu faktor risiko utama terjadinya hal ini adalah hipertensi. Tingginya tekanan darah di aorta dan arteri besar menyebabkan otot jantung harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan aliran darah ke seluruh tubuh.
Bila hal ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, Siska menyebut otot jantung akan mengalami penebalan, pelebaran serta gangguan fungsi pompa yang serius. “Sebagian besar komplikasi terkait hipertensi ini bersifat ireversibel, dalam arti jika sudah terjadi, tidak bisa diperbaiki kembali fungsinya dan akan rusak secara menetap,” ungkap dokter jantung yang berpraktik di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita itu.
Terapi Hipertensi
Oleh karena itu, Siska menekankan pentingnya terapi hipertensi yang bukan untuk menurunkan tekanan darah, tetapi mencegah kerusakan organ. Jangan pula pasien mengalami fenomena hipertensi resisten, yakni hipertensi yang tidak tertangani walaupun telah menggunakan kombinasi tiga macam obat atau lebih. Kelompok ini menurutnya memiliki risiko kematian kardiovaskular yang tinggi sehingga harus mendapatkan perhatian lebih.Dokter Spesialis Ginjal dari RSPAD Gatot Soebroto Djoko Wibisono memastikan obat hipertensi yang wajib diminum secara rutin bukan penyebab ginjal rusak. Justru yang merusak ginjal itu sendiri yakni tekanan darah tinggi yang terus menerus dan tidak terkendali.
Hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik (PGK). Diketahui, sekitar 1 dari 10 orang di dunia menderita PGK yang dikaitkan dengan peningkatan risiko semua penyebab kematian dan merupakan penyebab kematian nomor lima di dunia.
Baca juga: Mitos atau Fakta, Kopi Bisa Sebabkan Hipertensi? Begini Penjelasan Dokter Jantung
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi PGK di Indonesia 3,8 per 1.000 penduduk atau 1.017.260 penduduk menderita PGK. Dari total penduduk Indonesia yang menderita PGK, 19,3 persen atau 196.332 penduduk diantaranya menjalani cuci darah (Hemodialisis). Meskipun beban PGK semakin meningkat secara global, PGK masih kurang terdiagnosis dikarenakan stadium awal cenderung tidak bergejala.
Djoko menyampaikan secara global dan di Indonesia, penyebab PGK tersering adalah diabetes dan hipertensi. Maka, setiap penyandang hipertensi dan diabetes perlu melakukan deteksi dini untuk mencegah PGK. Caranya yakni dengan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini melalui pemeriksaan darah dan urin.
Pemeriksaan darah dilakukan dengan melihat kadar kreatinin dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) untuk melihat fungsi ginjal. Sementara pemeriksaan urine dilakukan dengan melihat kadar albumin atau protein dengan pemeriksaan Urine Albumin Creatinine Ratio (UACR) untuk melihat kebocoran ginjal. “Ceknya gampang, kencing pagi hari. Kalau kencingnya ada darah, ada protein, hati-hati, mungkin sudah terkena penyakit ginjal kronik walaupun tidak terasa apa-apa,” saran Djoko.
Selain jantung dan ginjal, hipertensi yang tidak diobati juga menimbulkan kerusakan pada otak. Tekanan darah tinggi bisa merusak susunan saraf. Wakil Ketua InaSH dr. Eka Harmeiwaty menjabarkan hipertensi dapat menyebabkan Transient Ischemic Attack (TIA) atau stroke minor yang terjadi karena terganggunya aliran darah ke otak dalam waktu singkat akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah.
Hipertensi bisa dikatakan sebagai faktor risiko utama penyebab stroke. Menurut berbagai penelitian, hipertensi ditemukan pada 60-70 persen kasus stroke. Hipertensi akan menyebabkan kerusakan endotel dinding pembuluh darah arteri yang akan menginisiasi proses aterosklerosis. Dinding pembuluh darah akan rusak dan mempermudah partikel untuk saling menempel yang akan membentuk plak.
Plak ini, bisa bersifat tidak stabil dan sewaktu-waktu lepas menuju ke distal dan menyumbat di pembuluh darah yang lebih kecil. Eka menyebut proses aterosklerosis juga akan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah. Kedua kondisi ini akan menyebabkan aliran darah ke otak terganggu dan terjadilah stroke iskemik.
Selain menyebabkan penyumbatan aliran darah, hipertensi menyebabkan terjadinya perdarahan di otak. Hipertensi akan menyebabkan lipohialinosis pembuluh darah arteri berukuran kecil, sehingga dindingnya menipis dan mudah pecah. Gangguan kognitif dan demensia juga disebabkan oleh hipertensi.
Eka melanjutkan, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif dan demensia termasuk penyakit Alzheimer. Mekanisme terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi sangat kompleks. Hipertensi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah akibat berkurangnya aliran darah sehingga suplai oksigen dan nutrien tidak cukup, menurunkan neurotransmiter akan memicu kerusakan sel neuron. “Pasien yang pernah mengalami stroke berisiko menjadi demensia yang dikenal dengan demensia vaskular,” tutur dokter saraf dari RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita itu.
Untuk mencegah kerusakan saraf ini, pasien perlu menurunkan tekanan darah sesuai target yang telah ditentukan, serta mengontrol variasi kenaikan tekanan darah dalam waktu 24 jam, terutama pada pagi hari dengan melakukan intervensi gaya hidup dan medikamentosa. Hal yang harus diingat menurut Eka, faktor risiko stroke bukan hanya hipertensi.
Stroke juga bisa disebabkan karena diabetes, obesitas, dan dislipidemia yang juga harus ditangani dengan benar. Bila terjadi stroke, Eka berpesan agar pasien segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk menangani stroke. Pada kasus stroke iskemik akan dilakukan trombolisis intravena (IVT) dalam tenggang waktu empat jam tiga puluh menit setelah onset (golden time).
Baca juga: 7 Makanan Sehat untuk Cegah Hipertensi, dari Ikan Berlemak sampai Telur
Tatalaksana perdarahan otak ini ditentukan oleh luas dan volume perdarahan serta lokasi perdarahan. Pada kasus perdarahan yang kecil dilakukan tindakan konservatif. Untuk perdarahan yang luas dibutuhkan tindakan operasi untuk mengevakuasi perdarahan dan bila diperlukan dipasang drainage (VP shunt). “Bagi pasien-pasien hipertensi yang mengalami gangguan kognitif dan demensia, harus mendapat terapi khusus termasuk berbagai latihan dengan tujuan memperlambat penurunan fungsi dan memperbaiki kualitas hidupnya,” jelas Eka.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.