Mengenal Hipertensi Jas Putih yang Tidak Perlu Obat
24 February 2024 |
09:25 WIB
Hipertensi menjadi biang kerok dari kerusakan jantung, ginjal, hingga otak. Oleh karena itu, penting dilakukannya deteksi dini melalui pengukuran tekanan darah guna mencegah risiko rusaknya sejumlah organ vital di dalam tubuh tersebut.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension/InaSH) dr. Erwinanto, mengatakan diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Namun, tidak selalu mereka yang tekanan darahnya di atas 140/90 mmHg saat diperiksa di klinik, memiliki hipertensi.
Ada sebuah istilah yang disebut whitecoat hypertension atau hipertensi jas putih. “Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik tetapi mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut hipertensi jas putih,” ujarnya dalam sebuah diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Baca juga: Cegah Kondisi Seperti Indra Bekti, Cek 5 Cara Turunkan Hipertensi Secara Alami
Erwinanto menerangkan, individu dinyatakan memiliki hipertensi jika hasil pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik menampilkan nilai yang tinggi atau di atas 140/90 mmHg. Adapun pengukuran tekanan darah di luar klinik dapat menggunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah menggunakan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM).
Nah, bagi individu dengan hipertensi jas putih yang jumlahnya dapat mencapai 30 persen dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat. Berbeda dengan mereka yang didiagnosis hipertensi yang wajib menjalani terapi obat seumur hidup.
“Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke, atau penyakit ginjal,” sebut Erwinanto.
Hipertensi jas putih bisa terjadi karena stres dan rasa cemas yang dialami pasien ketika bertemu dokter. Oleh karena itu, Erwinanto menyarankan sebelum melakukan pemeriksaan tekanan darah, sebaiknya pasien menciptakan rasa aman dan nyaman dengan duduk tenang terlebih dahulu setelah sampai di klinik atau rumah sakit.
Bukan berarti mereka yang tergolong hipertensi jas putih mengabaikan faktor risiko, selain adanya faktor genetik. Setiap individu wajib mencegah hipertensi terjadi dengan berolahraga, tidak obesitas, hingga mengurangi asupan garam.
Menurut Erwinanto penting untuk sadar akan kondisi tekanan darah dengan rutin melakukan pemeriksaan. Pasalnya, hipertensi tidak menunjukkan gejala sampai pada tahap komplikasi penyakit.
Meskipun tidak terlalu akurat, pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi cara satu-satunya untuk penapisan dan diagnosis hipertensi di Indonesia. Semakin baik jika pemeriksaan darah juga dilakukan secara mandiri di rumah.
Untuk mengetahui apakah kita terkena hipertensi atau tidak, Erwinanto menyebut pemeriksaan darah bisa dilakukan minimal selama sepekan, setiap pagi dan sore.
Diketahui, hipertensi masih menjadi masalah kesehatan yang tidak bisa direduksi angkanya. Kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun dan menimbulkan ragam komplikasi penyakit seperti serangan jantung, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, stroke, hingga demensia.
Berdasarkan survei nasional 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia yakni 34,1% atau sekitar 70 juta orang dari total jumlah penduduk. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dari 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalani skrining riwayat kesehatan, 8% di antaranya berisiko menderita hipertensi.
Baca juga: Duh, Hipertensi Bisa Picu Kerusakan Otak, Begini Prosesnya
Sementara itu, beban ekonomi akibat komplikasi kondisi ini pun cukup tinggi. Klaim pengobatan penyakit terbesar yang ditanggung BPJS pada 2023 masih dipegang penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2021 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Editor: Fajar Sidik
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension/InaSH) dr. Erwinanto, mengatakan diagnosis hipertensi ditegakkan jika tekanan darah yang diukur di klinik mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Namun, tidak selalu mereka yang tekanan darahnya di atas 140/90 mmHg saat diperiksa di klinik, memiliki hipertensi.
Ada sebuah istilah yang disebut whitecoat hypertension atau hipertensi jas putih. “Individu yang mempunyai tekanan darah meningkat ketika diukur di klinik tetapi mempunyai tekanan darah normal ketika diukur di luar klinik disebut hipertensi jas putih,” ujarnya dalam sebuah diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Baca juga: Cegah Kondisi Seperti Indra Bekti, Cek 5 Cara Turunkan Hipertensi Secara Alami
Erwinanto menerangkan, individu dinyatakan memiliki hipertensi jika hasil pengukuran tekanan darah di klinik maupun di luar klinik menampilkan nilai yang tinggi atau di atas 140/90 mmHg. Adapun pengukuran tekanan darah di luar klinik dapat menggunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau pengukuran tekanan darah di rumah menggunakan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM).
Nah, bagi individu dengan hipertensi jas putih yang jumlahnya dapat mencapai 30 persen dari mereka yang terdeteksi hipertensi di klinik, tidak perlu terapi obat. Berbeda dengan mereka yang didiagnosis hipertensi yang wajib menjalani terapi obat seumur hidup.
“Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat yang diberikan pada penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit kardiovaskular, stroke, atau penyakit ginjal,” sebut Erwinanto.
Hipertensi jas putih bisa terjadi karena stres dan rasa cemas yang dialami pasien ketika bertemu dokter. Oleh karena itu, Erwinanto menyarankan sebelum melakukan pemeriksaan tekanan darah, sebaiknya pasien menciptakan rasa aman dan nyaman dengan duduk tenang terlebih dahulu setelah sampai di klinik atau rumah sakit.
Bukan berarti mereka yang tergolong hipertensi jas putih mengabaikan faktor risiko, selain adanya faktor genetik. Setiap individu wajib mencegah hipertensi terjadi dengan berolahraga, tidak obesitas, hingga mengurangi asupan garam.
Menurut Erwinanto penting untuk sadar akan kondisi tekanan darah dengan rutin melakukan pemeriksaan. Pasalnya, hipertensi tidak menunjukkan gejala sampai pada tahap komplikasi penyakit.
Meskipun tidak terlalu akurat, pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi cara satu-satunya untuk penapisan dan diagnosis hipertensi di Indonesia. Semakin baik jika pemeriksaan darah juga dilakukan secara mandiri di rumah.
Untuk mengetahui apakah kita terkena hipertensi atau tidak, Erwinanto menyebut pemeriksaan darah bisa dilakukan minimal selama sepekan, setiap pagi dan sore.
Diketahui, hipertensi masih menjadi masalah kesehatan yang tidak bisa direduksi angkanya. Kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun dan menimbulkan ragam komplikasi penyakit seperti serangan jantung, gagal jantung, penyakit ginjal kronik, stroke, hingga demensia.
Berdasarkan survei nasional 2018, prevalensi hipertensi di Indonesia yakni 34,1% atau sekitar 70 juta orang dari total jumlah penduduk. Menurut data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dari 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalani skrining riwayat kesehatan, 8% di antaranya berisiko menderita hipertensi.
Baca juga: Duh, Hipertensi Bisa Picu Kerusakan Otak, Begini Prosesnya
Sementara itu, beban ekonomi akibat komplikasi kondisi ini pun cukup tinggi. Klaim pengobatan penyakit terbesar yang ditanggung BPJS pada 2023 masih dipegang penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan pada 2021 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.