Melihat Tantangan & Peluang Label Musik pada Era Serba Digital
11 March 2024 |
19:30 WIB
Industri musik Tanah Air terus menggeliat pada era digital saat ini, seiring dengan makin banyaknya musisi dan label yang memanfaatkan konten digital untuk mendistribusikan lagu-lagunya, terutama sejak pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pengamat musik Aldo Sianturi mengatakan rasio penjualan fisik pada masa sebelum pandemi masih berada di angka 30%. Akan tetapi saat ini penjualannya merosot di angka 10%. Penjualan tersebut pun, lanjutnya, berasal dari perputaran piringan hitam, bukan dari penjualan CD ataupun kaset.
Pergeseran ini memberikan tantangan tersendiri terutama bagi perusahaan label konvensional atau label major yang sudah mapan dan berdiri puluhan tahun lamanya. Pasalnya, saat ini seseorang atau musisi yang ingin berkarier di industri musik tidak lagi harus melalui dapur rekaman, tetapi dapat berdiri sendiri bahkan tanpa label sekalipun.
“Saat ini sudah banyak wadah yang dapat digunakan untuk mendistribusikan karya mereka baik lewat YouTube, TikTok, atau Spotify. Jadi semua orang, bahkan yang non-label sekalipun bisa melakukan direct relationship dengan para penggemarnya,” ujar Aldo.
Baca juga: Dua Dekade Harmoni: Kisah Perjalanan Endah N Rhesa dalam Jagat Musik Indonesia
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika seseorang yang ingin berkarir di industri musik harus melalui seleksi ketat untuk dapat masuk ke dapur rekaman. Ketika itu, hanya perusahaan label major lah yang memiliki berbagai fasilitas rekaman dengan dana besar, hingga jejaring yang kuat untuk mendistribusikan hasil karya dari musisi tersebut.
Adapun saat ini, para musisi bisa dengan mudah mendistribusikan karyanya baik melalui sosial media digital maupun dengan mendirikan label independen. Bahkan, tak sedikit musisi muda yang mulai memiliki label independen sebut saja Raisa Andriana dengan June Records, Isyana Sarasvati dengan Redrose Records, Rizky Febian melalui RFAS Records, dan lain sebagainya.
“Memang dulu label major menjadi satu-satunya jalan untuk merilis lagu. Sekarang banyak platform digital yang bisa digunakan untuk mendistribusikan lagu baik melalui label independen bahkan non-label sekalipun,” jelasnya
Menurut Aldo, ada banyak faktor yang mendorong para musisi muda mendirikan atau bernaung di label indie. Pertama, dengan era digital yang makin masif, para musisi muda memiliki banyak wadah untuk mendistribusikan karyanya tanpa harus terikat kontrak dengan label tertentu.
Kedua, banyak musisi muda yang memiliki idealisme sendiri, sehingga dengan label indie mereka bisa dengan leluasa menuangkan idealism dan kreativitasnya masing-masing tanpa harus terikat dengan aturan yang kaku. Ketiga, mereka tidak ingin diidentikkan atau diasosiasikan sama dengan musisi yang ada di naungan label major tersebut.
Keempat, banyak anak muda yang ingin bekerja lebih efisien dan melakukan semuanya sendiri sehingga lebih memilih untuk mengembangkan label mereka atau non-label sekalipun.
Apalagi saat ini para pendengar sudah tidak lagi memperdulikan label musik yang menaungi musisi tersebut. Bagi para pendengar yang terpenting adalah penyanyi dan music yang dibawakan tersebut bisa diterima.
“Bagi orang industri, label memang penting, tetapi bagi yang di luar industri musik, they don’t care. Makanya banyak musisi yang akhirnya membuat label sendiri hanya untuk memenuhi standar dari industri, sebab tanpa label pun pada dasarnya mereka bisa eksis dengan adanya platform digital,” ucapnya.
Selain itu, perusahaan musik tersebut juga perlu membenahi tata kelola secara komprehensif. Sebab, bisa jadi saat ini persaingan dengan sesama perusahaan label, tetapi bisa jadi ke depannya harus berkompetisi dengan AI.
Selanjutnya adalah melakukan kontrak 360 derajat yang mengikat bukan hanya terkait pendistribusian lagu, tetapi juga hingga ke publishing, artist management, dan lain sebagainya. Sebab, jika hanya terikat dari sisi penjualan maka akan sulit untuk dapat balik modal.
Meski demikian, Aldo meyakini dengan banyaknya para ekspertis yang ada di label musik besar maka perhitungan bisnisnya akan lebih baik. Selain itu, dengan jejaring yang luas, maka perusahaan tersebut akan mudah melakukan proses kapitalisasi bisnis dibandingkan dengan label-label indie.
Namun, saat ini ada fenomena label major yang membentuk sub label atau bekerjasama dengan label independen untuk menggaet pangsa pasar yang lebih muda. Misalnya Universal Music Studio yang menjalin kerjasama dengan Juni Records.
“Label indie tidak memiliki modal yang besar tetapi mereka memiliki penyanyi muda berbakat. Maka mereka berkolaborasi dengan label major yang notabenenya memiliki modal besar dan jejaring serta penetrasi yang luas tetapi tidak terikat secara langsung,” ucapnya.
Baca juga: Hypereport: Musik Pop & Kreativitas Musisi Muda Meraih Sorotan di Belantika Musik Digital
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Pengamat musik Aldo Sianturi mengatakan rasio penjualan fisik pada masa sebelum pandemi masih berada di angka 30%. Akan tetapi saat ini penjualannya merosot di angka 10%. Penjualan tersebut pun, lanjutnya, berasal dari perputaran piringan hitam, bukan dari penjualan CD ataupun kaset.
Pergeseran ini memberikan tantangan tersendiri terutama bagi perusahaan label konvensional atau label major yang sudah mapan dan berdiri puluhan tahun lamanya. Pasalnya, saat ini seseorang atau musisi yang ingin berkarier di industri musik tidak lagi harus melalui dapur rekaman, tetapi dapat berdiri sendiri bahkan tanpa label sekalipun.
“Saat ini sudah banyak wadah yang dapat digunakan untuk mendistribusikan karya mereka baik lewat YouTube, TikTok, atau Spotify. Jadi semua orang, bahkan yang non-label sekalipun bisa melakukan direct relationship dengan para penggemarnya,” ujar Aldo.
Baca juga: Dua Dekade Harmoni: Kisah Perjalanan Endah N Rhesa dalam Jagat Musik Indonesia
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika seseorang yang ingin berkarir di industri musik harus melalui seleksi ketat untuk dapat masuk ke dapur rekaman. Ketika itu, hanya perusahaan label major lah yang memiliki berbagai fasilitas rekaman dengan dana besar, hingga jejaring yang kuat untuk mendistribusikan hasil karya dari musisi tersebut.
Adapun saat ini, para musisi bisa dengan mudah mendistribusikan karyanya baik melalui sosial media digital maupun dengan mendirikan label independen. Bahkan, tak sedikit musisi muda yang mulai memiliki label independen sebut saja Raisa Andriana dengan June Records, Isyana Sarasvati dengan Redrose Records, Rizky Febian melalui RFAS Records, dan lain sebagainya.
“Memang dulu label major menjadi satu-satunya jalan untuk merilis lagu. Sekarang banyak platform digital yang bisa digunakan untuk mendistribusikan lagu baik melalui label independen bahkan non-label sekalipun,” jelasnya
Menurut Aldo, ada banyak faktor yang mendorong para musisi muda mendirikan atau bernaung di label indie. Pertama, dengan era digital yang makin masif, para musisi muda memiliki banyak wadah untuk mendistribusikan karyanya tanpa harus terikat kontrak dengan label tertentu.
Kedua, banyak musisi muda yang memiliki idealisme sendiri, sehingga dengan label indie mereka bisa dengan leluasa menuangkan idealism dan kreativitasnya masing-masing tanpa harus terikat dengan aturan yang kaku. Ketiga, mereka tidak ingin diidentikkan atau diasosiasikan sama dengan musisi yang ada di naungan label major tersebut.
Keempat, banyak anak muda yang ingin bekerja lebih efisien dan melakukan semuanya sendiri sehingga lebih memilih untuk mengembangkan label mereka atau non-label sekalipun.
Apalagi saat ini para pendengar sudah tidak lagi memperdulikan label musik yang menaungi musisi tersebut. Bagi para pendengar yang terpenting adalah penyanyi dan music yang dibawakan tersebut bisa diterima.
“Bagi orang industri, label memang penting, tetapi bagi yang di luar industri musik, they don’t care. Makanya banyak musisi yang akhirnya membuat label sendiri hanya untuk memenuhi standar dari industri, sebab tanpa label pun pada dasarnya mereka bisa eksis dengan adanya platform digital,” ucapnya.
Inovasi Label Musik
Agar bisa terus bertahan, maka perusahaan label rekaman konvensional harus mulai melakukan diversifikasi. Misalnya langkah yang dilakukan oleh Trinity Optima Production dengan masuk ke industri perfilman.Selain itu, perusahaan musik tersebut juga perlu membenahi tata kelola secara komprehensif. Sebab, bisa jadi saat ini persaingan dengan sesama perusahaan label, tetapi bisa jadi ke depannya harus berkompetisi dengan AI.
Selanjutnya adalah melakukan kontrak 360 derajat yang mengikat bukan hanya terkait pendistribusian lagu, tetapi juga hingga ke publishing, artist management, dan lain sebagainya. Sebab, jika hanya terikat dari sisi penjualan maka akan sulit untuk dapat balik modal.
Meski demikian, Aldo meyakini dengan banyaknya para ekspertis yang ada di label musik besar maka perhitungan bisnisnya akan lebih baik. Selain itu, dengan jejaring yang luas, maka perusahaan tersebut akan mudah melakukan proses kapitalisasi bisnis dibandingkan dengan label-label indie.
Namun, saat ini ada fenomena label major yang membentuk sub label atau bekerjasama dengan label independen untuk menggaet pangsa pasar yang lebih muda. Misalnya Universal Music Studio yang menjalin kerjasama dengan Juni Records.
“Label indie tidak memiliki modal yang besar tetapi mereka memiliki penyanyi muda berbakat. Maka mereka berkolaborasi dengan label major yang notabenenya memiliki modal besar dan jejaring serta penetrasi yang luas tetapi tidak terikat secara langsung,” ucapnya.
Baca juga: Hypereport: Musik Pop & Kreativitas Musisi Muda Meraih Sorotan di Belantika Musik Digital
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.