Cuplikan film Women from Rote Island. (Sumber gambar: Bintang Cahaya Sinema)

Review Film Women From Rote Island, Pahit Getir Perjuangan Kelompok Perempuan

27 February 2024   |   15:55 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Film Women From Rote Island sempat membuat penasaran publik di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2023 pada November tahun lalu. Film fitur perdana sutradara Jeremias Nyangoen berhasil menggondol empat Piala Citra, termasuk kategori utama yakni Film Cerita Panjang Terbaik.
 
Kala itu, Women From Rote Island (WFRI) belum tayang di bioskop, dan tengah bersafari ke beberapa festival film internasional seperti Busan International Film Festival, Jakarta Film Week 2023, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2023. Tak heran, jika kemudian publik bertanya, sebagus apa film tersebut.
 
Di panggung FFI, Shanty Harmayn, produser sekaligus salah satu dewan juri, menyebutkan bahwa orkestrasi semua unsur baik estetika, eksplorasi teknis, maupun kekuatan gagasan tersampaikan dengan berani, membuat film Women from Rote Island sebagai karya seni yang utuh, disuguhkan tanpa rasa takut.
 
"Tema yang disajikan menampilkan lapisan masalah yang mendalam dan memiliki tingkat pertaruhan yang besar. Persoalan-persoalan sosial yang kental menjadikan sebagai film dengan identitas Indonesia yang kuat," katanya.

Baca juga: Review Film Ali Topan, Romansa yang Menggugat Kemapanan
 
WFRI bercerita tentang Orpa yang suaminya baru meninggal dunia. Dia tinggal bersama tiga anak perempuannya sebagai ibu tunggal di sebuah kampung yang masih kental dengan aturan adat, diskriminasi gender, dan lingkungan patriarkis.
 
Lingkungan tempat tinggal Orpa selalu menempatkan perempuan sebagai gender kedua di bawah laki-laki. Martha, anak sulung Orpa, dikisahkan pulang dari Malaysia setelah bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Dia pulang ke rumah dengan traumatis mendalam lantaran menjadi korban kekerasan seksual oleh majikannya.
 
Kondisinya makin memilukan ketika kembali ke kampung halamanya dengan lingkungan yang patriarki dan diskriminatif terhadap perempuan. Begitu pun adiknya yang bernama Bertha, yang harus menerima nasib buruk hanya karena sebagai perempuan yang mencoba melawan.
 
Di tengah kondisi itu, Orpa terguncang dan kalut, serta merasa gagal sebagai orang tua. Dengan dorongan dari keluarga dan para perempuan di lingkungannya, dia melawan dan mencari keadilan atas apa yang telah menimpa pada kedua putrinya. 
 

Cuplikan film Women from Rote Island. (Sumber gambar: Bintang Cahaya Sinema)

Cuplikan film Women from Rote Island. (Sumber gambar: Bintang Cahaya Sinema)

Pembuka film WFRI yang menampilkan adegan kematian suami Orpa terasa agak lama. Babak itu mengambil porsi durasi film dengan menampilkan kegelisahan Orpa yang menanti Martha, konflik dengan keluarga suaminya, hingga acara upacara penguburan.  
 
Tampaknya, film ingin menunjukkan bahwa kematian suami Orpa menjadi gerbang pembuka konflik bagi keluarganya. Di lingkungan patriarki. Ketiadaan sosok laki-laki pada keluarga Orpa bak menjadi pembuka rangkaian mimpi buruk, seolah tak ada 'benteng' yang dapat membela mereka. Posisi perempuan menjadi semakin rentan. 
 
Persoalan yang harus dihadapi keluarga Orpa sungguh berat. Sebagai perempuan yang rentan, mereka kerap mendapatkan pelecehan seksual, kekerasan, dan diskriminasi gender. Semua itu berbalut hukum adat yang justru semakin melanggengkan diskriminasi tersebut. 
 
Hal itu misalnya tercermin dengan anggapan para tetua adat yang menilai bahwa seluruh kemalangan yang menimpa keluarga Orpa lantaran dia sudah berkeliaran ke luar rumah, saat suaminya belum lama meninggal. Mereka menganggap para leluhur marah pada keluarga Orpa, alih-alih melihat bahwa persoalan itu terjadi secara struktural di lingkungan patriarkis.
 
Adegan-adegan kekerasan dan pelecehan seksual di dalam film ini juga ditampilkan secara frontal, tanpa terlalu films. Di satu sisi, hal itu memang cukup membuat syok dengan beberapa adegan gore sadis. Namun, di sisi lain, film tampaknya memang ingin menampilkan persoalan kekerasan perempuan yang sudah darurat dengan jujur dan apa adanya.
 
Konflik itu semakin meyakinkan dengan kemampuan akting para pemain yang orisinal sekaligus autentik. Meski dimainkan ansambel pemain dari masyarakat asli Rote tanpa latar belakang pengalaman akting profesional, para pemeran melakoni karakternya nyaris mulus dan meyakinkan. 

Baca juga: Review Film Agak Laen: Komedi Khas Komika Dalam Layar Lebar
 

Cuplikan film Women from Rote Island. (Sumber gambar: Bintang Cahaya Sinema)

Cuplikan film Women from Rote Island. (Sumber gambar: Bintang Cahaya Sinema)

Dua nama yang pantas mendapatkan ancungan jempol adalah Merlinda Dessy Adoe yang berperan sebagai Orpa dan Irma Novita Rihi yang berperan sebagai Martha.

Sebagai karakter utama, mereka benar-benar menghidupkan setiap adegan dalam film. Terlebih untuk Irma. Dengan porsi dialog yang terbilang sedikit, Irma menyampaikan tiap emosi dari karakter Martha melalui ekspresi dan gestur yang memukau dan nyaris paripurna.
 
Sajian film juga makin intens dengan cara pengambilan gambar yang didominasi teknik one shot dan long take, sehingga mampu menangkap emosi dan adegan yang lebih autentik dan raw. Meskipun, tak dimungkiri ada beberapa pergantian babak dan angle yang tampak berantakan dan tidak berjalan dengan mulus. 
 
Namun, semua itu sedikit terbayarkan dengan lanskap Pulau Rote yang indah yang menjadi setting cerita film. Terlebih, keindahan itu diekspos seperlunya kebutuhan cerita film, tidak terlalu berlebihan seperti kebanyakan film Indonesia yang mengambil setting alam dan budaya lokal.
 
Selain itu, pada beberapa bagian, plot cerita film juga tampak tidak memiliki kausalitas yang kuat untuk penonton percaya ketika menyaksikan adegan demi adegan. Hal ini tak jarang menimbulkan kebingungan untuk mengikuti jalinan cerita dan konflik dalam film.
 
Hal lain yang juga agak mengganggu adalah music score dalam film yang terkadang hadir secara berlebihan. Bahkan, beberapa scoring dalam adegan terdengar sangat menghentak tapi tidak sesuai dengan emosi yang tengah hadir secara visual. Meski, tak dimungkiri, scoring WFRI mengambil alunan musik khas Rote yang semakin menguatkan unsur kultural dalam film.
 
Kendati demikian, semua kekurangan minor itu tidak mengurangi substansi isi cerita film WFRI yang secara gamblang ingin mengangkat kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan, yang kini dalam kondisi darurat dan harus menjadi perhatian semua pihak. 
 
Keluar bioskop, rasa pilu dan sedih begitu menyesakkan dada. Tak hanya karena filmnya, tapi juga mengingat kenyataan bahwa masih banyak persoalan seperti yang menimpa keluarga Orpa di Indonesia. 

Baca juga: Review Anatomy of a Fall, Kiat Jitu Justine Triet Membedah Hubungan Keluarga

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Industri Otomotif Kian Bergairah, Bisnis Auto Detailing Makin Laris Manis

BERIKUTNYA

Cek Spesifikasi dan Harga Asus Zenbook Duo yang Bakal Rilis 7 Maret 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: