Review Film Ali Topan, Romansa yang Menggugat Kemapanan
16 February 2024 |
18:32 WIB
Kisah Ali Topan, karakter rekaan karangan Teguh Esha punya sejarah yang panjang di industri hiburan Tanah Air. Berawal dari novel dengan judul Ali Topan Anak Jalanan (1977), kisah anak muda rebel ini kemudian terus berkembang dan menemui berbagai bentuk-bentuk baru.
Cerita Ali Topan sempat dialihwanakan ke layar lebar dengan judul yang sama pada 1977, kemudian bersalin rupa menjadi Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan dua tahun setelahnya. Kisah legendaris ini juga sempat dihidupkan lagi dalam bentuk sinetron pada dekade 90-an.
Kini, di bawah arahan sutradara Sidharta Tata, inkarnasi terbaru Ali Topan kembali coba diwujudkan. Dengan judul yang lebih sederhana dibanding versi terdahulu, film Ali Topan (2024) terbilang masih setia pada materi aslinya.
Karakter Ali Topan sebagai anak muda pemberontak, dekat dengan jalanan, dan punya prinsip masih menjadi napas utama di film ini. Benang merah yang coba dipertahankan ialah perihal representasi anak muda yang ‘rebel tetapi tetap responsible’.
Baca juga: Semiotika Film Ali Topan, Menguak Arti Rahasia Simbol Gambar 2 Burung & Buku Saku Hitam
Namun, mengingat IP klasik ini sudah hampir berusia setengah abad, Tata dengan jeli memasukkan unsur yang lebih kekinian dengan kehadiran citra anak musik pada karakter Ali Topan. Hal tersebut mewujud dengan penggambaran Ali Topan yang menghidupi Warung Seni di daerah Blok M dan konsisten menjadi penggerak musik-musik underground.
Dengan berbagai kebaruan yang muncul, film Ali Topan memiliki premis menarik yang sangat berpotensi berkembang menjadi cerita apik dan menggambarkan wajah pemuda ‘rebel tetapi tetap responsible’ masa kini.
Cerita film ini mengikuti kehidupan Ali Topan (diperankan oleh Jefri Nichol), seorang anak orang kaya yang memilih kehidupan bebas di jalanan. Pada suatu hari, Topan bertemu Anna Karenina (Lutesha) yang ternyata juga telah lelah dengan kehidupannya yang penuh aturan dari orang tuanya yang juga kaya raya.
Tak butuh waktu lama bagi Topan dan Anna untuk saling jatuh cinta. Adanya kesamaan perasaan ingin bebas dan menentang kemapanan membuat keduanya menjalin romansa yang unik. Topan dan Anna kemudian melakukan perjalanan lintas provinsi dengan motor untuk mewujudkan apa yang mereka yakini.
Ada dua fase besar yang disuguhkan di film ini. Fase pertama terjadi di Jakarta dengan Warung Seni sebagai magnet utama cerita. Fase kedua adalah ketika Topan dan Anna melakukan perjalanan road trip dengan motornya ke berbagai daerah di Indonesia.
Sidharta Tata meramu fase pertama dengan apik meski ada beberapa catatan. Periode awal ini dimanfaatkan oleh Tata untuk mengenalkan setiap karakter di film ini kepada penonton. Ali Topan sebagai tokoh utama yang hidup di jalanan digambarkan bukan sekadar urakan, tetapi punya sisi moral dan tujuan jelas dari apa yang dilakukannya.
Hal tersebut misalnya mewujud dari sikap Topan ketika melihat ada petugas yang merazia pedagang kaki lima di daerah Blok M. Hal lain yang cukup menarik adalah visi Topan untuk terus membesarkan Warung Seni dan menyelamatkan ‘wadah suara orang termaginalkan’ itu dari berbagai masalah.
Kemudian, karakter Anna Karenina juga diberi porsi pengenalan yang mulus. Cara Anna dan Topan bertemu hingga motivasi untuk pergi dari rumah terasa realistis. Tata mencoba memberi gambaran Anna dengan berbagai masalah yang muncul di rumah dengan apik.
Lalu, karakter Boy (Axel Matthew) juga jadi warna yang menarik sejak awal. Dia adalah seorang anak menteri, yang sedang mendekati Anna. Karakter ini jelas adalah representasi dari kaum kelas atas yang punya segala privilese. Kehadirannya sebagai sosok antagonis juga terus berkembang seiring film berjalan.
Proses perkenalanan teman-teman Ali Topan dan berbagai semesta yang masuk ke kehidupannya juga sebenarnya berjalan dengan rapi. Sayangnya, ada beberapa lubang cerita yang tak tergali di fase awal ini, yang selanjutnya cukup berimbas ketika film mulai mendekati ending.
Salah satunya adalah hubungan Ali Topan dengan Bobby, salah satu anggota di Warung Seni yang sebenarnya sangat penting di film ini. Hubungan keduanya seyogianya bisa diberi porsi yang lebih cukup karena posisi pentingnya di cerita ini.
Namun, dengan berbagai pengenalan serta isu awal yang menarik pada fase pertama, film ini akan dengan mudah memikat penontonnya untuk terus penasaran dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Kredit penting perlu diberikan kepada art departement yang mampu menghidupkan kawasan Blok M dan Warung Seni menjadi begitu apik.
Baca juga: Sutradara Sidharta Tata Ungkap Alasan Munculnya Lagu Morfem & For Revenge di Film Ali Topan
Pada fase kedua, film mulai melakukan pendekatan berbeda. Alih-alih hanya berkutat di Jakarta, cerita film ini justru mulai meluas setelah dua tokoh utama melakukan road trip. Perjalanan ini seolah ingin membuktikan bahwa film Ali Topan tidak ingin sekadar Jakarta sentris.
Perjalanan Topan dan Anna ke berbagai daerah di Jawa ini bermula ketika mereka ingin mencari keberadaan Ika, kakak dari Anna. Meski belum mengetahui lokasi pasti dari sang kakak, keduanya tetap nekat berkelana sembari berharap menemukan petunjuk. Namun, perjalanan ini justru menghadirkan berbagai realitas masalah sosial yang menarik.
Di tiap daerah yang dikunjungi Topan dan Anna, pasangan ini mempertontonkan berbagai masalah lokal yang menjadi kritik sosial di filmnya. Misal, ketika keduanya pergi ke Pekalongan dan daerah Pantura yang punya masalah dengan penggusuran dan abrasi.
Di satu sisi, keputusan memperlihatkan berbagai masalah ini menjadi menarik. Namun, di sisi lain, banyaknya masalah yang muncul juga membuat film ini tak punya cukup ruang untuk mengeksplorasi lebih dalam dan mengelaborasi satu per satu kepingan puzzle tersebut.
Hal ini juga berimbas pada minimnya proses pencarian Topan dan Anna tentang keberadaan rumah sang kakak. Hal yang pada mulanya adalah tujuan pertama pengelanaan mereka, tetapi justru seolah terlupakan begitu saja.
Tanpa proses pencarian informasi yang memadai, Topan dan Anna juga tiba-tiba sudah tiba di depan rumah sang kakak. Padahal, sebelumnya Anna sempat mengatakan tak punya petunjuk pasti soal keberadaan rumah sang kakak.
Alih-alih memberi clue tentang lokasi sang kakak, road trip yang dilakukan keduanya justru lebih banyak dihabiskan untuk mengeksplorasi permasalahan sosial, tanpa sedikit pun menyentuh persoalan pencarian kakaknya ini.
Kendati demikian, Ali Topan bukanlah tontonan yang buruk. Perjalanan Topan dan Anna benar-benar memberi suguhan yang menggugah dan penuh kesan. Film ini dengan begitu baik mengeksplorasi makna kebebasan bagi anak muda.
Chemistry Jefri Nichol dan Lutesha yang berperan sebagai Topan dan Anna juga terbangun dengan sangat baik. Keduanya berhasil menghidupkan romansa yang tidak menye-menye. Kedekatan keduanya benar-benar terjadi karena punya visi yang sama.
Karakter Ali Topan yang bad boy juga terasa begitu pas dengan Nichol. Di film ini, Nichol bahkan terlihat begitu effortless dalam memerankan Ali Topan. Hal tersebut yang cukup menguatkan film ini.
Vibes skena yang coba dimunculkan dalam versi baru ini juga digambarkan dengan kuat. Kemunculan Morfem sebagai cameo benar-benar menambah nuansa film ini makin terbentuk. Pemilihan lagu di film ini benar-benar sukses membuat warna Ali Topan makin hidup.
Selain itu, hal lain yang menyenangkan dalam film ini adalah kehadiran Ari Sihasale. Meski screen time-nya terbatas, peran Ari Sihasale sebagai Opung Brotpang begitu krusial. Ari adalah aktor yang juga pernah terlibat di versi sinetoran pada 1990-an.
Melihat remake yang telah diadaptasi menjadi lebih dekat dengan konteks saat ini, Ali Topan adalah film yang tak boleh dilewatkan di bioskop. Problematika yang dimunculkan akan terasa relate dengan kondisi Indonesia saat ini.
Baca juga: Cerita Lutesha Latihan Naik Moge Hingga Cedera Paha Demi Film Ali Topan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Cerita Ali Topan sempat dialihwanakan ke layar lebar dengan judul yang sama pada 1977, kemudian bersalin rupa menjadi Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan dua tahun setelahnya. Kisah legendaris ini juga sempat dihidupkan lagi dalam bentuk sinetron pada dekade 90-an.
Kini, di bawah arahan sutradara Sidharta Tata, inkarnasi terbaru Ali Topan kembali coba diwujudkan. Dengan judul yang lebih sederhana dibanding versi terdahulu, film Ali Topan (2024) terbilang masih setia pada materi aslinya.
Karakter Ali Topan sebagai anak muda pemberontak, dekat dengan jalanan, dan punya prinsip masih menjadi napas utama di film ini. Benang merah yang coba dipertahankan ialah perihal representasi anak muda yang ‘rebel tetapi tetap responsible’.
Baca juga: Semiotika Film Ali Topan, Menguak Arti Rahasia Simbol Gambar 2 Burung & Buku Saku Hitam
Aktor Jefri Nichol berperan sebagai Ali Topan (kiri) saat red carpet film Ali topan di Jakarta, Selasa (13/2/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)
Dengan berbagai kebaruan yang muncul, film Ali Topan memiliki premis menarik yang sangat berpotensi berkembang menjadi cerita apik dan menggambarkan wajah pemuda ‘rebel tetapi tetap responsible’ masa kini.
Cerita film ini mengikuti kehidupan Ali Topan (diperankan oleh Jefri Nichol), seorang anak orang kaya yang memilih kehidupan bebas di jalanan. Pada suatu hari, Topan bertemu Anna Karenina (Lutesha) yang ternyata juga telah lelah dengan kehidupannya yang penuh aturan dari orang tuanya yang juga kaya raya.
Tak butuh waktu lama bagi Topan dan Anna untuk saling jatuh cinta. Adanya kesamaan perasaan ingin bebas dan menentang kemapanan membuat keduanya menjalin romansa yang unik. Topan dan Anna kemudian melakukan perjalanan lintas provinsi dengan motor untuk mewujudkan apa yang mereka yakini.
Ada dua fase besar yang disuguhkan di film ini. Fase pertama terjadi di Jakarta dengan Warung Seni sebagai magnet utama cerita. Fase kedua adalah ketika Topan dan Anna melakukan perjalanan road trip dengan motornya ke berbagai daerah di Indonesia.
Sidharta Tata meramu fase pertama dengan apik meski ada beberapa catatan. Periode awal ini dimanfaatkan oleh Tata untuk mengenalkan setiap karakter di film ini kepada penonton. Ali Topan sebagai tokoh utama yang hidup di jalanan digambarkan bukan sekadar urakan, tetapi punya sisi moral dan tujuan jelas dari apa yang dilakukannya.
Hal tersebut misalnya mewujud dari sikap Topan ketika melihat ada petugas yang merazia pedagang kaki lima di daerah Blok M. Hal lain yang cukup menarik adalah visi Topan untuk terus membesarkan Warung Seni dan menyelamatkan ‘wadah suara orang termaginalkan’ itu dari berbagai masalah.
Kemudian, karakter Anna Karenina juga diberi porsi pengenalan yang mulus. Cara Anna dan Topan bertemu hingga motivasi untuk pergi dari rumah terasa realistis. Tata mencoba memberi gambaran Anna dengan berbagai masalah yang muncul di rumah dengan apik.
Lalu, karakter Boy (Axel Matthew) juga jadi warna yang menarik sejak awal. Dia adalah seorang anak menteri, yang sedang mendekati Anna. Karakter ini jelas adalah representasi dari kaum kelas atas yang punya segala privilese. Kehadirannya sebagai sosok antagonis juga terus berkembang seiring film berjalan.
Proses perkenalanan teman-teman Ali Topan dan berbagai semesta yang masuk ke kehidupannya juga sebenarnya berjalan dengan rapi. Sayangnya, ada beberapa lubang cerita yang tak tergali di fase awal ini, yang selanjutnya cukup berimbas ketika film mulai mendekati ending.
Salah satunya adalah hubungan Ali Topan dengan Bobby, salah satu anggota di Warung Seni yang sebenarnya sangat penting di film ini. Hubungan keduanya seyogianya bisa diberi porsi yang lebih cukup karena posisi pentingnya di cerita ini.
Namun, dengan berbagai pengenalan serta isu awal yang menarik pada fase pertama, film ini akan dengan mudah memikat penontonnya untuk terus penasaran dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Kredit penting perlu diberikan kepada art departement yang mampu menghidupkan kawasan Blok M dan Warung Seni menjadi begitu apik.
Baca juga: Sutradara Sidharta Tata Ungkap Alasan Munculnya Lagu Morfem & For Revenge di Film Ali Topan
Aktor Jefri Nichol berperan sebagai Ali Topan (kiri) dan aktris Lutesha berperan sebagai Anna saat red carpet film Ali topan di Jakarta, Selasa (13/2/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)
Perjalanan Topan dan Anna ke berbagai daerah di Jawa ini bermula ketika mereka ingin mencari keberadaan Ika, kakak dari Anna. Meski belum mengetahui lokasi pasti dari sang kakak, keduanya tetap nekat berkelana sembari berharap menemukan petunjuk. Namun, perjalanan ini justru menghadirkan berbagai realitas masalah sosial yang menarik.
Di tiap daerah yang dikunjungi Topan dan Anna, pasangan ini mempertontonkan berbagai masalah lokal yang menjadi kritik sosial di filmnya. Misal, ketika keduanya pergi ke Pekalongan dan daerah Pantura yang punya masalah dengan penggusuran dan abrasi.
Di satu sisi, keputusan memperlihatkan berbagai masalah ini menjadi menarik. Namun, di sisi lain, banyaknya masalah yang muncul juga membuat film ini tak punya cukup ruang untuk mengeksplorasi lebih dalam dan mengelaborasi satu per satu kepingan puzzle tersebut.
Hal ini juga berimbas pada minimnya proses pencarian Topan dan Anna tentang keberadaan rumah sang kakak. Hal yang pada mulanya adalah tujuan pertama pengelanaan mereka, tetapi justru seolah terlupakan begitu saja.
Tanpa proses pencarian informasi yang memadai, Topan dan Anna juga tiba-tiba sudah tiba di depan rumah sang kakak. Padahal, sebelumnya Anna sempat mengatakan tak punya petunjuk pasti soal keberadaan rumah sang kakak.
Alih-alih memberi clue tentang lokasi sang kakak, road trip yang dilakukan keduanya justru lebih banyak dihabiskan untuk mengeksplorasi permasalahan sosial, tanpa sedikit pun menyentuh persoalan pencarian kakaknya ini.
Kendati demikian, Ali Topan bukanlah tontonan yang buruk. Perjalanan Topan dan Anna benar-benar memberi suguhan yang menggugah dan penuh kesan. Film ini dengan begitu baik mengeksplorasi makna kebebasan bagi anak muda.
Chemistry Jefri Nichol dan Lutesha yang berperan sebagai Topan dan Anna juga terbangun dengan sangat baik. Keduanya berhasil menghidupkan romansa yang tidak menye-menye. Kedekatan keduanya benar-benar terjadi karena punya visi yang sama.
Karakter Ali Topan yang bad boy juga terasa begitu pas dengan Nichol. Di film ini, Nichol bahkan terlihat begitu effortless dalam memerankan Ali Topan. Hal tersebut yang cukup menguatkan film ini.
Vibes skena yang coba dimunculkan dalam versi baru ini juga digambarkan dengan kuat. Kemunculan Morfem sebagai cameo benar-benar menambah nuansa film ini makin terbentuk. Pemilihan lagu di film ini benar-benar sukses membuat warna Ali Topan makin hidup.
Selain itu, hal lain yang menyenangkan dalam film ini adalah kehadiran Ari Sihasale. Meski screen time-nya terbatas, peran Ari Sihasale sebagai Opung Brotpang begitu krusial. Ari adalah aktor yang juga pernah terlibat di versi sinetoran pada 1990-an.
Melihat remake yang telah diadaptasi menjadi lebih dekat dengan konteks saat ini, Ali Topan adalah film yang tak boleh dilewatkan di bioskop. Problematika yang dimunculkan akan terasa relate dengan kondisi Indonesia saat ini.
Baca juga: Cerita Lutesha Latihan Naik Moge Hingga Cedera Paha Demi Film Ali Topan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.