Merawat Ingatan & Sejarah Melalui Arsip Buku Fotografi
08 February 2024 |
06:30 WIB
Syahdan, seorang sastrawan masyhur asal Cekoslovakia, Milan Kundera, sempat menulis sebuah kalimat terkenal dalam bukunya, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, yaitu 'perjuangan terbesar manusia melawan kekuasaan, adalah perjuangan melawan lupa.'
Di tempat dan masa yang berbeda, kalimat tersebut mungkin bisa juga dilengkapi jadi lebih sangkil. Perjuangan terbesar manusia melawan lupa adalah perjuangan untuk mengarsipkannya dalam puspa ragam media. Salah satunya lewat fotografi.
Ya, dalam dunia jurnalistik fotografi memiliki peran penting untuk mengabarkan sejarah dan merawat ingatan melalui catatan visual. Terlebih saat karya-karya fotografi itu dibuat menjadi sebuah buku agar semakin masif dibaca masyarakat.
Baca Juga: Review Buku The Art of Leadership In Crisis, Kisah Inspirasi 9 Naga Mengatasi Krisis
Hal inilah sekiranya yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam diskusi Ngobrol Foto Buku Protes pada Rabu, (7/2/2024) malam. Berlangsung di Tabir mataWaktu, Jakarta Selatan, diskusi ini membahas buku The Long and Winding Road East Timor karya pewarta foto, Eddy Hasby.
Menjadi bagian acara dari pameran Pentas Buku Foto, diskusi ini menelisik pengalaman pewarta foto Harian Kompas itu saat bertugas merekam peristiwa pra dan pasca kemerdekaan Timor Leste. Namun, konteksnya juga meluas mengenai peran fotografi dalam merawat kesaksian dan ingatan sejarah.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan, buku selalu memiliki dua sisi. Yaitu sebagai produk propaganda politik, atau murni sebagai bentuk informasi pencerahan untuk pembaca. Namun, keunikan buku fotografi justru memberi imajinasi mengenai apa yang terjadi di realitas.
Menurutnya, kelebihan dari buku fotografi adalah dapat memancing rasa ingin tahu pembaca dalam menyelami konteks visual yang dihadirkan sang pewarta. Hal itu akan berbeda, ketika dituliskan dalam bentuk kalimat, yang seringkali membuat pembaca enggan meneruskan bacaan jika tidak ditulis dengan efektif.
Tak hanya itu, bagi aktivis hak asasi manusia itu, buku foto terutama yang terkait dengan protes juga bisa dijadikan sebagai arsip dalam merawat perjuangan. Terlebih saat tampuk kekuasaan berganti, tapi berbagai pelanggaran yang terjadi dalam sejarah belum juga menemui titik terang dari para korban yang menjadi martir atau kesewenang-wenangan penguasa.
"Buku foto, apalagi yang berkaitan dengan protes, punya imaji tentang hal itu. Tentang perlawananan, pemberontakan, atau kesedihan, yang mungkin tidak lagi cukup digambarkan dengan kata-kata. Foto punya kekuatan besar untuk mengabarkan realitas," katanya.
Sementara itu, Eddy Hasby mengatakan, karya-karya fotonya yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu merekam peristiwa di Timor-Timur (saat ini Timor Leste) pada rentang waktu 1996-1999. Terutama saat dia mewartakan realitas sosial masyarakat di Bumi Loro Sae itu hingga sosok presiden pertama mereka, Xanana Gusmao.
Dia mengungkap, keinginan untuk mencetak karya-karya tersebut menjadi buku fotografi, selain merawat ingatan juga sebagai bentuk warisan seorang pewarta foto. Sebab, jika seorang jurnalis atau penulis menerbitkan buku, maka seorang fotografer juga harus membuat karya yang sama dengan medium yang berbeda, lewat sudut pandang visual.
"Buatku, pembuatan buku ini adalah sebagai pegangan sejarah. Salah satu alasan lain adalah, sebagai seorang fotografer saya juga harus membuat buku foto, karena ini akan menjadi legacy [pada generasi mendatang]" katanya.
Ngobrol Foto Buku Protes merupakan bagian dari pameran #PentasBukuFoto di mataWaktu di Jakarta Selatan hingga 29 Februari 2024. Berkolaborasi dengan Gueari Galeri, ekshibisi ini menampilkan puluhan buku fotografi yang dikurasi oleh Grace Anata, Kurnia Yaumil Fajar Caron Toshiko, dan Octa Christi.
Uniknya, Pentas Buku kali ini juga kedatangan tamu istimewa dari Hong Kong Photobook Festival, yang memacak 15 buku foto pemenang Hong Kong Dummy Award 2023. Berbagai program seru lain juga dihelat dalam acara ini, mulai dari musikalisasi buku foto hingga peluncuran buku foto oleh Dhika Prabowo, Baskara Puraga, dan Krisna ‘Ncis’ Satmoko.
Baca Juga: Hilmar Farid Terbitkan Buku Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan, Hasil Skripsi 30 Tahun Silam
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: M. Taufikul Basari
Di tempat dan masa yang berbeda, kalimat tersebut mungkin bisa juga dilengkapi jadi lebih sangkil. Perjuangan terbesar manusia melawan lupa adalah perjuangan untuk mengarsipkannya dalam puspa ragam media. Salah satunya lewat fotografi.
Ya, dalam dunia jurnalistik fotografi memiliki peran penting untuk mengabarkan sejarah dan merawat ingatan melalui catatan visual. Terlebih saat karya-karya fotografi itu dibuat menjadi sebuah buku agar semakin masif dibaca masyarakat.
Baca Juga: Review Buku The Art of Leadership In Crisis, Kisah Inspirasi 9 Naga Mengatasi Krisis
Hal inilah sekiranya yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam diskusi Ngobrol Foto Buku Protes pada Rabu, (7/2/2024) malam. Berlangsung di Tabir mataWaktu, Jakarta Selatan, diskusi ini membahas buku The Long and Winding Road East Timor karya pewarta foto, Eddy Hasby.
Menjadi bagian acara dari pameran Pentas Buku Foto, diskusi ini menelisik pengalaman pewarta foto Harian Kompas itu saat bertugas merekam peristiwa pra dan pasca kemerdekaan Timor Leste. Namun, konteksnya juga meluas mengenai peran fotografi dalam merawat kesaksian dan ingatan sejarah.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan, buku selalu memiliki dua sisi. Yaitu sebagai produk propaganda politik, atau murni sebagai bentuk informasi pencerahan untuk pembaca. Namun, keunikan buku fotografi justru memberi imajinasi mengenai apa yang terjadi di realitas.
Menurutnya, kelebihan dari buku fotografi adalah dapat memancing rasa ingin tahu pembaca dalam menyelami konteks visual yang dihadirkan sang pewarta. Hal itu akan berbeda, ketika dituliskan dalam bentuk kalimat, yang seringkali membuat pembaca enggan meneruskan bacaan jika tidak ditulis dengan efektif.
Tak hanya itu, bagi aktivis hak asasi manusia itu, buku foto terutama yang terkait dengan protes juga bisa dijadikan sebagai arsip dalam merawat perjuangan. Terlebih saat tampuk kekuasaan berganti, tapi berbagai pelanggaran yang terjadi dalam sejarah belum juga menemui titik terang dari para korban yang menjadi martir atau kesewenang-wenangan penguasa.
"Buku foto, apalagi yang berkaitan dengan protes, punya imaji tentang hal itu. Tentang perlawananan, pemberontakan, atau kesedihan, yang mungkin tidak lagi cukup digambarkan dengan kata-kata. Foto punya kekuatan besar untuk mengabarkan realitas," katanya.
Suasana diskusi Ngobrol Foto Buku Protes di mataWaktu, Jakarta Selatan (sumber gambar dokumentasi mataWaktu)
Dia mengungkap, keinginan untuk mencetak karya-karya tersebut menjadi buku fotografi, selain merawat ingatan juga sebagai bentuk warisan seorang pewarta foto. Sebab, jika seorang jurnalis atau penulis menerbitkan buku, maka seorang fotografer juga harus membuat karya yang sama dengan medium yang berbeda, lewat sudut pandang visual.
"Buatku, pembuatan buku ini adalah sebagai pegangan sejarah. Salah satu alasan lain adalah, sebagai seorang fotografer saya juga harus membuat buku foto, karena ini akan menjadi legacy [pada generasi mendatang]" katanya.
Ngobrol Foto Buku Protes merupakan bagian dari pameran #PentasBukuFoto di mataWaktu di Jakarta Selatan hingga 29 Februari 2024. Berkolaborasi dengan Gueari Galeri, ekshibisi ini menampilkan puluhan buku fotografi yang dikurasi oleh Grace Anata, Kurnia Yaumil Fajar Caron Toshiko, dan Octa Christi.
Uniknya, Pentas Buku kali ini juga kedatangan tamu istimewa dari Hong Kong Photobook Festival, yang memacak 15 buku foto pemenang Hong Kong Dummy Award 2023. Berbagai program seru lain juga dihelat dalam acara ini, mulai dari musikalisasi buku foto hingga peluncuran buku foto oleh Dhika Prabowo, Baskara Puraga, dan Krisna ‘Ncis’ Satmoko.
Baca Juga: Hilmar Farid Terbitkan Buku Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan, Hasil Skripsi 30 Tahun Silam
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.