Ilustrasi pengembang yang sedang menguji gim buatannya. (Sumber gambar : Freepik/DC Studio)

Pengembang Game Lokal Pilih Bisnis Kemitraan dan Jasa, Yuk Intip Potensinya!

22 January 2024   |   07:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Industri game lokal terpantau bergairah dalam beberapa tahun terakhir. Selain menjamurnya judul gim baru, tidak sedikit developer yang menjalin kemitraan dengan pengembang gim dunia, hingga membuat lini bisnis baru yang pasarnya sangat potensial digarap.

Prospek industri gaming memang semakin menggugah, mengingat sekitar 3,3 miliar orang bermain gim di seluruh dunia menurut data Global Games Market Report 2023 yang dirilis Newzoo. Dari jumlah tersebut, sebanyak 53 persen dari total pemain berasal dari kawasan Asia-Pasifik. 

Baca juga: Game Horor Survival Until Dawn Bakal Diadaptasi Jadi Film

Data Market Insight Video Games - Worldwide Statista, pada 2023 mencatat pasar video game diproyeksikan mencapai pendapatan sebesar US$249,6 miliar atau setara dengan Rp3.907,6 triliun.

Memasuki 2024, Statista memproyeksikan pasar video game global mencapai pendapatan sebesar US$282,30 miliar, volume pasarnya diperkirakan sebesar US$363,2 miliar pada 2027.

Merujuk pada Statista, pasar video game di Indonesia diproyeksikan mencapai pendapatan sebesar US$1.117 juta. Segmen terbesar industri gim Indonesia adalah gim online dengan volume pasar sebesar US$343 juta pada 2023 didorong oleh masifnya smartphone dan akses internet yang semakin terjangkau.

Dari laporan VirtualSEA, Indonesia berada di posisi teratas sebagai negara yang menyumbang gim ke platform Steam, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Pada Januari 2024, tercatat total 256 gim yang dikembangkan developer gim asal Indonesia terbit di Steam, jauh unggul dari Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia dan negara Asia Tenggara lainnya. 

Kendati demikian, gim lokal yang rilis di Steam masih didominasi gim indie. Memang, untuk mengembangkan gim skala industri, dibutuhkan biaya yang besar dan waktu lama. Oleh karena itu, tidak sedikit pengembang yang mengambil alternatif menjalin kemitraan dengan developer global dalam mengembangkan intelektual properti (IP), hingga melakukan diversifikasi usaha seperti pembuatan jasa model tiga dimensi. 

Shieny Aprilia, Co-Founder dan CEO Agate mengatakan pada tahun ini, pihaknya berfokus pada model bisnis Business-to-Business-to-Consumer (B2B2C) untuk memperkuat ekspansi globalnya. Salah satu strateginya yaitu dengan mengembangkan tim perwakilan di wilayah benua Amerika. Saat ini Agate memiliki 4 perwakilan yaitu di Kanada, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang. 

“Kami semakin meningkatkan kualitas kami di game development dan aspirasi kami untuk menjadi global game development partner untuk berbagai client perusahaan di dunia,” ujarnya saat ditemui Hypeabis.id di kantor Agate, Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Shieny menjelaskan pihaknya saat ini ingin membangun kapabilitas sebagai pengembang gim yang diakui dunia. Di sisi lain, memang untuk mengembangkan IP gim sendiri, butuh biaya yang besar dan waktu yang lama. 

Dia menjelaskan ketika pasar gaming tumbuh, otomatis  permintaan konten gim terutama dari segi kualitas pun meningkat. Alhasil, biaya yang dibutuhkan juga semakin meningkat.

Nah, ketika menjalin kemitraan bersama developer gim lain untuk mengembangkan IP, risiko bisnis bisa diminimalisir, terutama dari segi pembiayaan yang besar dan gim tidak laku di pasar. Shieny menyampaikan pasar gim Indonesia saat ini dikuasai gim buatan developer asing. Gim buatan lokal hanya mendapat market share sebesar 1 persen

Andai kata gim yang dikembangkan bersama dengan developer lain sukses, tentu pengembang lokal seperti Agate akan kecipratan cuan. “Dari sisi risiko bisa termitigasi, ketika game hit di market, kita bisa dapat bagian dari situ,” tuturnya.

Adapun Agate pada tahun lalu telah menjalin kemitraan baru dengan 5 perusahaan global, yaitu ISKRA, Naver Z (ZEPETO), PQube, Ifland, dan Sekuya. Agate juga merilis 14 proyek global dan memulai 4 proyek game baru.

Pada tahun ini, Agate meluncurkan Vertx Break, yang ditarget mengambil ceruk pasar model tiga dimensi (3D) baik skala lokal maupun global. Head of Vertx Break, Ar Cahyadi Indra menjelaskan unit bisnis terbaru dari Agate ini difokuskan untuk menghasilkan 3D Stylized Art seperti pembuatan karakter, fesyen, furniture, senjata, hingga dekorasi lingkungan pada gim yang lebih detail dan imersif. 

Dikerjakan sesuai pesanan, pembuatan model tiga dimensi ini menggunakan perangkat lunak Unity dan Unreal Engine. Agate menargetkan 10 persen pangsa pasar 3D Stylized Art dalam skala global. “Target utama kita adalah (gim developer skala) AA di wilayah Eropa,” ujarnya.

Vertx Break berisi para talenta berpengalaman yang pernah terlibat dalam pengembangan gim seperti Street Fighter V, Marvel Vs. Capcom Infinite, Bioshock Infinite, World of Tanks, Final Fantasy XIV Online, World of Warcraft, The Last of Us Part I, dan Diablo II Resurrected. Sejauh ini ada 8 3D artist yang siap mengerjakan beragam proyek pemodelan tiga dimensi ini.  

CEO Anantarupa Ivan Chen berpendapat sejatinya para developer bisa memanfaatkan IP yang sudah ada untuk melakukan diversifikasi bisnisnya. Karakter gim bisa dijadikan series, komik, film, hingga merchandise. Kalaupun ingin mengembangkan IP baru, bisa menggaet developer asing. 

Ivan mengungkapkan Anantarupa tengah menjajaki kemitraan untuk mengembangkan IP baru dengan developer  dari Korea Selatan dan Rusia. “Kita sebutnya co-development. Di Rusia sebutnya co-production buat scale up industrinya supaya bisa reach market dunia,” ungkapnya.

Menurut Ivan, kemitraan dengan pengembang gim luar negeri penting untuk skalabilitas produksi. Selain itu, ada transfer pengetahuan yang didapat dari manajemen atau kemampuan teknikal.

Kerja sama ini pun sangat penting untuk mengatasi masalah pembiayaan. Pengembang gim Indonesia terbilang tidak memiliki akses pembiayaan untuk membuat IP sendiri. Anantarupa saat membuat gim mobile Lokapala saja butuh 8 tahun untuk melakukan riset. Pra-produksinya butuh waktu 1,5-2 tahun, sementara pengembangannya butuh 3-5 tahun. “Gim Genshin Impact, pembuatannya butuh Rp1,5 triliun yang dibuat 400 orang selama 4 tahun,” tambahnya.


Talenta 3D Artist

Ivan menilai talenta 3D artist terbilang menjamur di Indonesia, tetapi lebih banyak untuk mengarah kepada pembuatan animasi. Mayoritas talenta ini pun tidak mencukupi standar industri. Pasalnya, fasilitas dan materi yang diajarkan tenaga pelajar terutama di sekolah atau kampus yang memiliki jurusan multimedia tidak sesuai dengan kebutuhan industri ini. 

“90% enggak bisa masuk ke industri karena dosennya saja tidak pernah kerja di industri. Dikiranya di industri mereka bebas berkreasi, pokoknya bisa bikin game, tidak seperti itu,” sebutnya.

Oleh karena itu, untuk menciptakan generasi 3D artist atau pengembang gim berkualitas, Ivan perlu ada anggaran khusus dari Dirjen Vokasi Kemendikbudristek untuk pendidikan tenaga pengajar. Anantarupa sejak beberapa tahun lalu membuka magang untuk dosen. 

Dari hasil evaluasi proyek magang salah satu dosen, ternyata kurikulum terkait gaming saja terbilang ketinggalan 12 tahun. Ivan menegaskan industri gaming terbilang sebagai sektor yang cepat sekai update atau mengalami perubahan. 

Baca juga: Early Access Palworld Akhirnya Rilis, Bisa Main Gratis di Xbox Game Pass

Di Korea Selatan saja, kurikulum selalu berubah setiap 6 bulan. Waktu lawatannya ke Negeri Gingseng, Ivan menyebut 3D artist yang baru semester tiga saja, karyanya lebih bagus dari orang Indonesia yang bekerja 2-3 tahun di industri ini.  “Jadi gapnya cukup jauh. Saya takut kalau dari Kemendikbud step-up urgensi ya, industri kita gak akan kemana-mana,” ujarnya. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

5 Kiat Menjadi Ilustrator, Peluang Kerja Menjanjikan pada Era Digital

BERIKUTNYA

Apa Itu Noice Cancellation di TWS? Begini Cara Kerjanya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: