Tolak Pajak 40%! Asosiasi Pengusaha Tegaskan Spa Bukan Bisnis Hiburan
18 January 2024 |
18:52 WIB
Aturan kenaikan pajak hiburan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta baru-baru ini membebani para pengusaha spa. Berdasarkan beleid terbaru yakni Perda No.1/2024 tentang Pajak Hiburan, tempat usaha mandi uap/spa dikenakan tarif pajak menjadi 40 persen. Para pengusaha pun menolak dan menilai bahwa aturan tersebut bisa mematikan industri spa.
Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengungkapkan bahwa aturan kenaikan pajak tersebut ditetapkan tidak dengan melalui hasil diskusi dengan para pengusaha terkait.
"Pemerintah tidak komunikasi dengan industri, jadi kalau ada satu pun yang bilang dia berkomunikasi dengan industri, itu bohong," katanya dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024).
"Pemerintah tidak komunikasi dengan industri, jadi kalau ada satu pun yang bilang dia berkomunikasi dengan industri, itu bohong," katanya dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024).
Menurut perempuan yang akrab disapa Lourda itu, beleid kenaikan pajak 40 persen hingga 75 persen tak ubahnya seperti sikap pemerintah yang hendak merampok uang dari para pegiat industri spa. "Entah apapun alasannya, yang jelas kami dari industri sudah ramai-ramai keberatan. Tidak ada negara di dunia yang menetapkan pajak sebesar itu," tegasnya.
Spa Bukan Hiburan
Selain menolak aturan tersebut, para pengusaha juga tidak setuju jika industri spa dikelompokkan sebagai bagian dari usaha hiburan. Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang mengelompokkan jasa spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan dianggap bertentangan dengan pasal 14 UU Pariwisata, yang menyatakan bahwa usaha spa merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
Menurut Peraturan Menteri Pariwisata RI No 11 Tahun 2019, usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
"Kami menilai, jasa spa lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi spa memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan kesehatan," kata Ketua Umum Indonesia Spa Wellness Association Yulia Himawati.
Para pegiat asosiasi pengusaha spa di Indonesia dalam acara konferensi pers di PENN Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Yulia menambahkan jasa spa bukan merupakan bagian dari kategori hiburan diperkuat dengan tercakupnya spa sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023. Beleid ini mendefinisikan spa sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.
"Kami mengimbau kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan spa sebagai bisnis hiburan. Jika dibiarkan, kami khawatir akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia," katanya.
Dia juga memaparkan khusus di Indonesia, usaha spa berkaitan erat dengan upaya pelestarian budaya lokal di bidang kesehatan dan kebugaran. Hal itu dibuktikan dengan adanya 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya, yang dilakukan oleh para ahli dalam Indonesia Welness Master Association (IWMA) yang dikenal dengan Etnaprana.
"Sehingga sangat aneh kalau akhirnya [spa] dibalikin lagi oleh Kementerian Keuangan sebagai jenis hiburan. Itu yang sangat kami sesalkan. Asosiasi kami tentu tidak menghendaki hal itu karena para terapis kami profesional, bersertifikat, mengikuti pelatihan, hingga uji kompetensi. Jadi ini betul-betul pekerjaan yang tidak sembarangan dikatakan sebuah hiburan semata," terangnya.
Ketua Umum Komunitas Relawan Emergency Kesehatan Indonesia (KREKI) Supriyantoro mengatakan pengaktegorian usaha spa sebagai hiburan adalah ketentuan yang salah kaprah. Dia tidak menampik bahwa masih ada oknum-oknum yang menggunakan spa untuk menjalankan usaha hiburan. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat spa bisa dianggap dalam kelompok hiburan.
"Spa ini suatu terapi, ada medical spa dan traditional spa yang kalau bicara dari segi kesehatan, spa ini bagian dari tindakan preventif. Bagaimana supaya tubuh kita lebih bugar dan sehat, aliran darah lebih lancar. Apakah itu suatu hiburan? Silakan ditelaah," katanya.
Menurutnya, aturan pajak yang membebankan usaha spa sebesar 40 persen bertentangan dengan program pemerintah yang belakangan gencar menggaungkan health tourism yang didalamnya terdiri dari medical tourism dan wellness tourism. Padahal, menurutnya, spa adalah kekayaan budaya Indonesia penting di bidang kesehatan dan kebugaran, yang potensial untuk terus dikembangkan.
"Seharusnya pemerintah meminimalkan pajak terlebih dahulu supaya berkembang, sehingga betul-betul ini menjadi potensi wisata di Indonesia. Tapi ironis sekali, usaha spa justru tidak didukung oleh pemerintah dan malah dikenakan pajak seperti ini yang ujung-ujungnya akan mematikan industri spa ini," terangnya.
Baca juga: Perbandingan Tarif Pajak Hiburan Sejumlah Negara Asean 2024, Indonesia Paling Tinggi
Editor: Puput Ady Sukarno
Baca juga: Perbandingan Tarif Pajak Hiburan Sejumlah Negara Asean 2024, Indonesia Paling Tinggi
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.