Pengunjung beraktivitas di salah satu karaoke Inul Vizta di Jakarta, Selasa (16/1/2024). (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani)

MK Tolak Gugatan Pajak Hiburan hingga 75 Persen, Begini Dampaknya!

07 January 2025   |   16:22 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Masyarakat yang ingin bersenang-senang dengan menikmati berbagai sajian atau atraksi menarik dari industri hiburan kini bakal membayar lebih mahal dari biasanya. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menolak permohonan pengujian materiil terhadap tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Sejumlah pengusaha sebelumnya mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Pasal itu mengatur tentang pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa yang ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Baca juga: Ada Komponen Baru Pajak Kendaraan Berlaku 5 Januari, Begini Perhitungannya

MK pun telah memutuskan bahwa mandi uap/spa bisa keluar dari kategori jenis jasa hiburan. MK memaknai mandi uap/spa sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional. 

Para pemohon mulanya ingin besaran tarif PBJT tersebut tidak diperlakukan khusus, termasuk adanya potensi pengenaan pajak ganda atas PBJT. Namun, MK menilai frasa “khusus tarif PBJT” yang ada dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD tidak bertentangan dengan UUD NRI, seperti yang didadalihkan pemohon. Akibatnya, pengajuan itu pun ditolak.

Ahli Pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako mengatakan bahwa ditolaknya gugatan tersebut akan menyebabkan efek domino ke sejumlah hal. Tidak hanya bagi pengusaha, tetapi juga masyarakat dan pendapatan daerah.

“Tentu dampak paling terasa yang bisa terjadi ialah turunnya omzet pengusaha hiburan. Di luar itu, ini juga menyebabkan turunnya pendapatan daerah,” ujar Ronny kepada Hypeabis.id.

Ronny mengatakan pajak hiburan termasuk yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah dan menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Oleh karena itu, jika omzet pengusaha di industri hiburan turun, tentu efeknya pun juga dialami oleh APBD daerah tersebut.

Jika efek samping ini berkepanjangan, Ronny menyebut dampaknya pun bisa terasa lebih besar lagi. Dia mengatakan omzet pengusaha yang terus turun bukan tidak mungkin membuat mereka gulung tikar.

Sebab, jasa hiburan yang mereka tawarkan tidak mendapatkan profit yang signifikan. Kalau ini terjadi, menurutnya, tentu efeknya juga menjalar ke banyaknya PHK. Selain itu, efek ini juga akan membuat pengusaha akan lebih ‘mikir-mikir’ untuk terjun ke industri serupa. “Kenaikan sampai ke 75 persen ini memang sesuatu yang tidak wajar,” tegasnya.

Seperti sebuah gulungan ombak, dampak ini juga pasti akan terasa bagi konsumen, dalam hal ini ialah masyarakat. Ronny mengatakan pajak yang tinggi tentu akan membuat pengusaha menaikkan tarifnya sesuai dengan perhitungan mereka.

Secara hitung-hitungan kasar, jika harga semula ialah Rp100.000, lalu ada kenaikan 40 persen, maka harganya naik signifikan menjadi Rp140.000. Oleh karena itu, konsumen akan mempertimbangkan dua kali sebelum menikmati jasa hiburan.

Dalam hal ini, Ronny menekankan pentingnya limitasi dalam definisi industri hiburan. Menurutnya, alih-alih berfokus pada angka pajak, semestinya terlebih dahulu memperjelas definisi hiburan. Dengan demikian, pengaturan pajaknya pun bisa lebih berkesinambungan.

Ronny menyebut ada tiga langkah yang bisa dilakukan agar pajak tinggi 40 persen sampai 75 persen ini tidak diberlakukan. Langkah pertama ialah mendorong pemerintah untuk membuat undang-undang baru sehingga undang-undang lama tidak berlaku lagi.

Baca juga: Jangan Bingung, Begini Cara Hitung Pajak Kreator Konten

Langkah kedua, kata Ronny, ialah mendorong pemerintah daerah untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha dan jasa hiburan. Ronny menyebut kepala daerah dapat memberikan insentif pajak hiburan yang tidak mengacu pada ketentuan pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.

Langkah ketiga adalah melakukan gugatan baru. Menurut Ronny, langkah ini jika diambil mesti mengedepankan definisi hiburan terlebih dahulu, agar persoalan pajak menjadi lebih terukur. Selain itu, gugatan bisa terfokus agar hakim punya alasan kuat untuk mengabulkannya.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Mengenal Inisiatif 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

BERIKUTNYA

Flow, Animasi Indie dengan Bujet Minim Raih Golden Globes Awards 2025

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: