Ilustrasi seseorang sedang menikmati spa. (Sumber gambar: Usen Parmanov/Unsplash)

Asosiasi Tolak Aturan Kenaikan Pajak 40%, Bisnis Spa Masih Hadapi Sejumlah Tantangan

19 January 2024   |   08:32 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Pengusaha spa tegas menolak aturan kenaikan pajak hiburan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta. Berdasarkan Perda No.1/2024 tentang Pajak Hiburan, usaha mandi uap/spa dikenakan tarif pajak menjadi 40 persen. Aturan ini dianggap memberatkan terlebih di tengah industri spa yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi.

Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung memaparkan jumlah tempat jasa spa di Indonesia ada sekitar 3.500 usaha. Dari angka tersebut yang didominasi di Jakarta dan Bali, sebanyak 30 persennya terpaksa tutup akibat pandemi dan tidak berhasil bangkit kembali.

Di tengah kondisi yang menantang tersebut, lanjutnya, tak sedikit tempat spa yang akhirnya berstrategi untuk mendapatkan margin atau keuntungan yang besar, seperti menggunakan produk-produk spa murah hingga membayar trapis dengan gaji yang rendah.

"Akibatnya terapisnya enggak beredukasi dan bersertifikat. Pakai produk juga sekedar ada bau," katanya dalam acara konferensi pers di Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024). 

Baca juga: Tolak Pajak 40%! Asosiasi Pengusaha Tegaskan Spa Bukan Bisnis Hiburan

Ya, industri spa di Indonesia masih menghadapi tantangan serius dari sisi akses pendidikan atau pelatihan serta sertifikasi bagi terapis. Lourda mengungkapkan industri spa di Tanah Air masih minim terapis yang tersertifikasi. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan pekerja berasal dari lulusan SD dan SMP, yang cenderung memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah.

Di sisi lain, pihak pengusaha spa juga memiliki keterbatasan dalam membiayai akses pelatihan dan sertifikasi untuk para pekerjanya. Menurut Lourda, permasalahan ini semestinya diperhatikan oleh pemerintah, dengan memberikan akses pelatihan dan sertifikasi gratis untuk para terapis spa. 

"Dari asosiasi kami mencanangkan, 20.000 pendidikan dan sertifikasi terapis seluruh Indonesia. Kalau pemerintah tidak mau kasih, kami akan upayakan pendanaan dari luar negeri. Kalau pemerintah tidak melaksanakan tugas, kami secara private sector akan melakukan ini demi Indonesia," tegasnya.

Sebaliknya, para pengusaha spa justru mengharapkan pemerintah bisa memberikan pajak 0 persen kepada industri spa. Menurut Lourda, aturan tersebut layak diberikan lantaran industri spa secara tidak langsung turut mendukung program pemerintah dalam hal menjaga kesehatan dan kebugaran masyarakat, alih-alih hanya dipandang sebagai salah satu jenis usaha jasa. 

"Tubuh kita kan punya produksi antibodi dan imunitas secara alamiah, tapi itu tidak akan terjadi kalau kita tidak punya sirkulasi metabolisme yang baik. Penyakit-penyakit utama [masyarakat] di Indonesia seperti jantung, gula, darah tinggi, itu bisa dibantu dengan relaksasi. Karena penyebab utama dari sakit itu adalah stres," katanya.

Selain dari segi bantuan pendidikan bagi terapis dan pajak 0 persen, para pengusaha spa juga mengharapkan adanya kemudahan untuk mempromosikan kekayaan budaya spa yang ada di Nusantara baik secara nasional maupun internasional.

Promosi secara nasional bisa meningkatkan kesehatan dan kebugaran masyarakat, sementara secara internasional, bisa menjadi potensi untuk pendapatan devisa negara karena spa menjadi bagian dari wellness tourism.
 

Ilustrasi orang sedang spa (Sumber gambar: Unsplash/The Anam)

Ilustrasi orang sedang spa (Sumber gambar: Unsplash/The Anam)

Spa Bukan Jenis Hiburan

Di samping industri spa yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi, para pengusaha juga menolak aturan kenaikan pajak sebesar 40 persen lantaran tidak setuju jika spa dikelompokkan sebagai bagian dari usaha hiburan. Seperti diketahui, dalam aturan pemerintah, spa dikategorikan sebagai jasa kesenian dan hiburan sejajar dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang mengelompokkan jasa spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan dianggap bertentangan dengan pasal 14 UU Pariwisata, yang menyatakan bahwa usaha spa merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi. 

Menurut Peraturan Menteri Pariwisata RI No 11 Tahun 2019, usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

"Kami menilai, jasa spa lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi spa memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan kesehatan," kata Ketua Umum Indonesia Spa Wellness Association Yulia Himawati

Yulia menambahkan jasa spa bukan merupakan bagian dari kategori hiburan diperkuat dengan tercakupnya spa sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023. Beleid ini mendefinisikan spa sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.

"Kami mengimbau kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan spa sebagai bisnis hiburan. Jika dibiarkan, kami khawatir akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia," katanya.

Dia juga memaparkan khusus di Indonesia, usaha spa berkaitan erat dengan upaya pelestarian budaya lokal di bidang kesehatan dan kebugaran. Hal itu dibuktikan dengan adanya 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya, yang dilakukan oleh para ahli dalam Indonesia Welness Master Association (IWMA) yang dikenal dengan Etnaprana.

"Sehingga sangat aneh kalau akhirnya [spa] dibalikin lagi oleh Kementerian Keuangan sebagai jenis hiburan. Itu yang sangat kami sesalkan. Asosiasi kami tentu tidak menghendaki hal itu karena para terapis kami profesional, bersertifikat, mengikuti pelatihan, hingga uji kompetensi. Jadi ini betul-betul pekerjaan yang tidak sembarangan dikatakan sebuah hiburan semata," terangnya. 

Baca juga: Pilar Wellskin Desak Revisi Pajak pada Industri Spa

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Jadi Simbol Kemaritiman, Marcella Zalianty Ingin Kenalkan Sosok Laksamana Malahayati Lewat Medium Seni

BERIKUTNYA

Kenalan dengan Para Pemain Film Bu Tejo Sowan Jakarta, Ada Siti Fauziah & Aditya Lakon

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: