Memaknai Ulang Gagasan Juru Proklamator Indonesia
13 January 2024 |
07:00 WIB
Narasi pembebasan rakyat Indonesia telah dipikirkan dengan matang oleh para pendiri bangsa. Salah satunya lewat gagasan dari Bung karno, yang berusaha mendorong rakyat untuk melawan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme pada masa penjajahan.
Terbaru, narasi tersebut kembali digaungkan lewat diskusi buku bertajuk Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia. Diisi para panelis dari sejarawan dan intelektual, diskusi ini mengajak publik untuk kembali mendedah pemikiran sang proklamator.
Baca juga: Bung Karno, Proklamator yang Gemar Membaca Buku & Berpolitik Sejak Muda
Salah satunya lewat gagasan dan pemikiran Soekarno yang masih relevan dengan situasi sosial hari ini. Termasuk, melihat kembali iklim demokrasi di Indonesia, terutama menjelang momen pemilu yang berlangsung lima tahun sekali.
Airlangga Pribadi Kusman, sang penulis buku berharap, lewat diskusi ini publik dapat kembali menemukan mutiara-mutiara pemikiran Soekarno. Terutama lewat konsep Marhaen-Marhaenisme, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, api Islam, dan spiritualitas.
"Para pengagum Soekarno, hari ini hanya melihat dari abu Soekarno, bukan apinya. Padahal dari api tersebut lahirlah Pancasila, di mana konsep ini sempat disempitkan maknanya di masa Orde Baru," katanya.
Dosen Universitas Airlangga Surabaya itu mengatakan, pemikiran Soekarno yang otentik dan masih relevan hingga saat ini adalah analisis sosial yang kuat dan bertumpu pada radical imagination. Yakni kemampuan untuk membayangkan realitas baru, yang didasarkan pada pemahaman atas posisi subjek rakyat sebagai orang yang berdaulat.
Hal itu misalnya, terefleksi saat Bung Karno membuat konsep Marhaen yang disarikan dari para pemikir dunia seperti Karl Marx hingga Friedrich Engels. Namun, dalam prosesnya Soekarno tidak secara mentah mengimplementasikan gagasan tersebut di Indonesia, sebab latar sosial dari dua pemikir asal Eropa itu berbeda dengan lanskap sosial di Tanah Air.
Dari sinilah kemudian Bung Karno terus membuat gagasan-gagasan cerlang lain, dengan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utamanya. Bahkan, beberapa gagasan lain dari Soekarno juga turut memengaruhi jalannya sejarah, termasuk adanya Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
"Tapi, dalam konteks sekarang, partai politik tidak punya kesadaran untuk menjadikan kekuatan rakyat sebagai inti dari proses perjuangan," katanya.
Senada, Baskara T. Wardaya, mengatakan, Soekarno juga turut melahirkan ide-ide yang khas Indonesia. Namun, salah satu yang penting dari ajaran Bung Karno adalah kembali mengangkat kaum marhaen ke tempatnya semula, yakni sebagai pemegang kekuasan tertinggi di negara demokrasi.
Pemerhati sejarah Indonesia mengungkap, hal itu berbeda dengan situasi saat ini, di mana kepentingan rakyat telah ditunggangi oligarki dan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, nilai-nilai demokrasi juga semakin menjauh dari semangat kerakyatan, yakni dengan menihilkan peran rakyat.
Tak hanya itu, lewat diskusi buku ini, dia berharap publik mengimplementasikan perjuangan Bung Karno dalam memahami Indonesia. Terutama untuk membaca kondisi politik kontemporer, dan tawaran untuk mengubahnya dalam arah yang lebih baik.
"Soekarno tidak hanya berbicara tentang demokrasi, tapi sosio demokrasi. Bahkan dia juga belajar tentang nasionalisme, hingga akhirnya melahirkan konsep sosio nasionalisme," katanya.
Baca juga: Review Buku Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda: Ketika Sejarah Tertinggal di Pekuburan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Terbaru, narasi tersebut kembali digaungkan lewat diskusi buku bertajuk Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia. Diisi para panelis dari sejarawan dan intelektual, diskusi ini mengajak publik untuk kembali mendedah pemikiran sang proklamator.
Baca juga: Bung Karno, Proklamator yang Gemar Membaca Buku & Berpolitik Sejak Muda
Salah satunya lewat gagasan dan pemikiran Soekarno yang masih relevan dengan situasi sosial hari ini. Termasuk, melihat kembali iklim demokrasi di Indonesia, terutama menjelang momen pemilu yang berlangsung lima tahun sekali.
Airlangga Pribadi Kusman, sang penulis buku berharap, lewat diskusi ini publik dapat kembali menemukan mutiara-mutiara pemikiran Soekarno. Terutama lewat konsep Marhaen-Marhaenisme, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, api Islam, dan spiritualitas.
"Para pengagum Soekarno, hari ini hanya melihat dari abu Soekarno, bukan apinya. Padahal dari api tersebut lahirlah Pancasila, di mana konsep ini sempat disempitkan maknanya di masa Orde Baru," katanya.
Dosen Universitas Airlangga Surabaya itu mengatakan, pemikiran Soekarno yang otentik dan masih relevan hingga saat ini adalah analisis sosial yang kuat dan bertumpu pada radical imagination. Yakni kemampuan untuk membayangkan realitas baru, yang didasarkan pada pemahaman atas posisi subjek rakyat sebagai orang yang berdaulat.
Hal itu misalnya, terefleksi saat Bung Karno membuat konsep Marhaen yang disarikan dari para pemikir dunia seperti Karl Marx hingga Friedrich Engels. Namun, dalam prosesnya Soekarno tidak secara mentah mengimplementasikan gagasan tersebut di Indonesia, sebab latar sosial dari dua pemikir asal Eropa itu berbeda dengan lanskap sosial di Tanah Air.
Dari sinilah kemudian Bung Karno terus membuat gagasan-gagasan cerlang lain, dengan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utamanya. Bahkan, beberapa gagasan lain dari Soekarno juga turut memengaruhi jalannya sejarah, termasuk adanya Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
"Tapi, dalam konteks sekarang, partai politik tidak punya kesadaran untuk menjadikan kekuatan rakyat sebagai inti dari proses perjuangan," katanya.
Senada, Baskara T. Wardaya, mengatakan, Soekarno juga turut melahirkan ide-ide yang khas Indonesia. Namun, salah satu yang penting dari ajaran Bung Karno adalah kembali mengangkat kaum marhaen ke tempatnya semula, yakni sebagai pemegang kekuasan tertinggi di negara demokrasi.
Pemerhati sejarah Indonesia mengungkap, hal itu berbeda dengan situasi saat ini, di mana kepentingan rakyat telah ditunggangi oligarki dan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, nilai-nilai demokrasi juga semakin menjauh dari semangat kerakyatan, yakni dengan menihilkan peran rakyat.
Tak hanya itu, lewat diskusi buku ini, dia berharap publik mengimplementasikan perjuangan Bung Karno dalam memahami Indonesia. Terutama untuk membaca kondisi politik kontemporer, dan tawaran untuk mengubahnya dalam arah yang lebih baik.
"Soekarno tidak hanya berbicara tentang demokrasi, tapi sosio demokrasi. Bahkan dia juga belajar tentang nasionalisme, hingga akhirnya melahirkan konsep sosio nasionalisme," katanya.
Baca juga: Review Buku Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda: Ketika Sejarah Tertinggal di Pekuburan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.