Bung Karno, Proklamator yang Gemar Membaca Buku & Berpolitik Sejak Muda
06 June 2022 |
17:11 WIB
Hari ini, 121 tahun yang lalu, Presiden RI Pertama Sukarno lahir di Surabaya, Jawa Timur. Sejak era reformasi, hari kelahirannya itu kerap diperingati dengan berbagai cara, yang kemudian menjadikan Juni sebagai bulan Bung Karno. Sebagai seorang tokoh bangsa, dia dikenal gemar membaca buku.
Kegemaran Bung Karno membaca buku dimulai ketika membaca semua buku yang dimiliki ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru yang juga gemar membaca banyak buku. Saat mengenyam pendidikan di sekolah Hoogere Burger School (HBS) Surabaya, dia juga rajin membaca buku perpustakaan sekolah.
Bung Karno membaca segala buku, baik yang digemari maupun yang tidak disukainya. Dia juga belajar Bahasa Belanda dengan temannya yang berasal dari Belanda bernama Mien Hessels. Dari situ, kemampuannya dalam berbahasa Belanda kian piawai.
Baca juga: Makanan Favorit Presiden Indonesia dari Sukarno hingga Jokowi
Pada 1951, Bung Karno akhirnya tinggal di rumah sahabat ayahnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto yang merupakan pendiri Sarekat Islam. Di rumah guru bangsa itu, Bung Karno semakin gemar membaca buku-buku biografi tokoh negarawan dunia.
Hampir seluruh waktu luangnya dihabiskan untuk membaca buku-buku yang digemarinya tersebut. Dari sinilah rasa nasionalisme Bung Karno mulai muncul. Terlebih, dia juga kerap mendengarkan diskusi tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berkumpul di rumah Tjokroaminoto. Dia juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdialog dengan tokoh-tokoh tersebut.
Berangkat dari buku-buku bacaannya, Bung Karno banyak mencetuskan gagasan brilian terutama yang berkaitan dengan kebangsaan. Dia adalah seorang cendekiawan yang telah menghasilkan ratusan karya tulis. Kumpulan tulisannya telah diterbitkan dengan judul Di Bawah Bendera Revolusi setebal 630 halaman yang dibagi menjadi dua jilid.
Perjalanan politik Bung Karno
Bung Karno telah terjun ke dunia politik sejak usianya masih sangat muda. Pada 1915, saat usianya masih 14 tahun, dia menjadi anggota Jong Java Cabang Surabaya. Dia kemudian mendirikan organisasi Algemeene Studie (ASC) di Bandung pada 1926 yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia.
Berkat aktif di organisasi PNI, Bung Karno beberapa kali ditangkap oleh pihak Belanda karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Pada 1929, dia ditangkap di Yogyakarta lalu dipindahkan ke penjara Banceuy di Bandung. Pada 1930, dia dipindahkan ke penjara Sukamiskin dan di tahun ini pula dia mengeluarkan pledoi Indonesia Menggugat yang sangat fenomenal sampai akhirnya dia dibebaskan pada 1931.
Meski PNI dilarang beroperasi, Bung Karno kembali mendirikan sebuah partai yakni Partai Indonesia (Partindo) pada 1932. Namun, hal itu kembali menyeretnya ke dalam penjara pada 1933 di pengasingan Fodlers karena pergerakannya dinilai bahaya oleh pihak Belanda.
Pada 1938, Bung Karno diasingkan ke Provinsi Bengkulu sampai tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang itulah dia baru kembali dibebaskan dan memulai pergerakan nasional bersama para tokoh lain. Saat itu, banyak organisasi bermunculan seperti Jawa Hokokai, BPUPKI, Pusat Tenaga Rakyat (Putera) hingga PPKI.
Tokoh-tokoh pergerakan dalam organisasi tersebut bekerja sama dengan pemerintah Jepang untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Meskipun tetap ada yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Amir Syarifuddin dan Sutan Syahrir yang tidak sepenuhnya percaya pada Jepang dan menganggapnya berbahaya dan fasis.
Selama perjuangan yang panjang, akhirnya Bung Karno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang didesak oleh kaum muda dan sempat diculik ke Rengasdengklok. Sejak itulah, Bung Karno diangkat menjadi Presiden pertama Indonesia dan mulai dikenal sebagai Sang Proklamator yang didampingi Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Bung Karno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara, yakni Pancasila. Setelah berhasil merumuskan Pancasila, diaberupaya menyatukan Nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin juga sempat digagas Bung Karno dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung hingga akhirnya berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Berkat jasa Bung Karno lah banyak Negara kawasan Asia Afrika yang merdeka, meskipun ada pula yang konflik berkepanjangan karena ketidakadilan di negaranya. Itulah sebabnya Bung Karno dikenal dalam menjalankan politik bebas aktif dunia internasional.
Baca juga: Kedekatan Sukarno dan Arsitek Silaban, Perancang Master Plan GBK
Meski begitu, Bung Karno juga mengalami masa jatuh dalam politiknya setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri untuk mendampingi Bung Karno pada 1956. Selain itu, banyak pula pemberontakan separatis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, puncak pemberontakan tersebut adalah saat terjadinya pemberontakan yang dikenal dengan G30S yang meluluhlantakan masyarakat Indonesia saat itu.
Karena peristiwa itulah Bung Karno mendapatkan pengucilan dari presiden yang menggantikan dirinya, yakni Soeharto. Karena usianya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, Bung Karno wafat di Jakarta, tepatnya di Wisma Yaso pada tanggal 21 Juni 1970. Kemudian jasadnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Editor: Fajar Sidik
Kegemaran Bung Karno membaca buku dimulai ketika membaca semua buku yang dimiliki ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru yang juga gemar membaca banyak buku. Saat mengenyam pendidikan di sekolah Hoogere Burger School (HBS) Surabaya, dia juga rajin membaca buku perpustakaan sekolah.
Bung Karno membaca segala buku, baik yang digemari maupun yang tidak disukainya. Dia juga belajar Bahasa Belanda dengan temannya yang berasal dari Belanda bernama Mien Hessels. Dari situ, kemampuannya dalam berbahasa Belanda kian piawai.
Baca juga: Makanan Favorit Presiden Indonesia dari Sukarno hingga Jokowi
Pada 1951, Bung Karno akhirnya tinggal di rumah sahabat ayahnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto yang merupakan pendiri Sarekat Islam. Di rumah guru bangsa itu, Bung Karno semakin gemar membaca buku-buku biografi tokoh negarawan dunia.
Hampir seluruh waktu luangnya dihabiskan untuk membaca buku-buku yang digemarinya tersebut. Dari sinilah rasa nasionalisme Bung Karno mulai muncul. Terlebih, dia juga kerap mendengarkan diskusi tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berkumpul di rumah Tjokroaminoto. Dia juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdialog dengan tokoh-tokoh tersebut.
Berangkat dari buku-buku bacaannya, Bung Karno banyak mencetuskan gagasan brilian terutama yang berkaitan dengan kebangsaan. Dia adalah seorang cendekiawan yang telah menghasilkan ratusan karya tulis. Kumpulan tulisannya telah diterbitkan dengan judul Di Bawah Bendera Revolusi setebal 630 halaman yang dibagi menjadi dua jilid.
Perjalanan politik Bung Karno
Bung Karno telah terjun ke dunia politik sejak usianya masih sangat muda. Pada 1915, saat usianya masih 14 tahun, dia menjadi anggota Jong Java Cabang Surabaya. Dia kemudian mendirikan organisasi Algemeene Studie (ASC) di Bandung pada 1926 yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia.
Berkat aktif di organisasi PNI, Bung Karno beberapa kali ditangkap oleh pihak Belanda karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Pada 1929, dia ditangkap di Yogyakarta lalu dipindahkan ke penjara Banceuy di Bandung. Pada 1930, dia dipindahkan ke penjara Sukamiskin dan di tahun ini pula dia mengeluarkan pledoi Indonesia Menggugat yang sangat fenomenal sampai akhirnya dia dibebaskan pada 1931.
Meski PNI dilarang beroperasi, Bung Karno kembali mendirikan sebuah partai yakni Partai Indonesia (Partindo) pada 1932. Namun, hal itu kembali menyeretnya ke dalam penjara pada 1933 di pengasingan Fodlers karena pergerakannya dinilai bahaya oleh pihak Belanda.
Pada 1938, Bung Karno diasingkan ke Provinsi Bengkulu sampai tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang itulah dia baru kembali dibebaskan dan memulai pergerakan nasional bersama para tokoh lain. Saat itu, banyak organisasi bermunculan seperti Jawa Hokokai, BPUPKI, Pusat Tenaga Rakyat (Putera) hingga PPKI.
Tokoh-tokoh pergerakan dalam organisasi tersebut bekerja sama dengan pemerintah Jepang untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Meskipun tetap ada yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Amir Syarifuddin dan Sutan Syahrir yang tidak sepenuhnya percaya pada Jepang dan menganggapnya berbahaya dan fasis.
Selama perjuangan yang panjang, akhirnya Bung Karno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang didesak oleh kaum muda dan sempat diculik ke Rengasdengklok. Sejak itulah, Bung Karno diangkat menjadi Presiden pertama Indonesia dan mulai dikenal sebagai Sang Proklamator yang didampingi Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Bung Karno mengemukakan gagasan tentang dasar Negara, yakni Pancasila. Setelah berhasil merumuskan Pancasila, diaberupaya menyatukan Nusantara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin juga sempat digagas Bung Karno dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung hingga akhirnya berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Berkat jasa Bung Karno lah banyak Negara kawasan Asia Afrika yang merdeka, meskipun ada pula yang konflik berkepanjangan karena ketidakadilan di negaranya. Itulah sebabnya Bung Karno dikenal dalam menjalankan politik bebas aktif dunia internasional.
Baca juga: Kedekatan Sukarno dan Arsitek Silaban, Perancang Master Plan GBK
Meski begitu, Bung Karno juga mengalami masa jatuh dalam politiknya setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri untuk mendampingi Bung Karno pada 1956. Selain itu, banyak pula pemberontakan separatis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, puncak pemberontakan tersebut adalah saat terjadinya pemberontakan yang dikenal dengan G30S yang meluluhlantakan masyarakat Indonesia saat itu.
Karena peristiwa itulah Bung Karno mendapatkan pengucilan dari presiden yang menggantikan dirinya, yakni Soeharto. Karena usianya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, Bung Karno wafat di Jakarta, tepatnya di Wisma Yaso pada tanggal 21 Juni 1970. Kemudian jasadnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.