Cara Hack Cicilan Biar Gaji Enggak Cuma Numpang Lewat
18 December 2023 |
17:29 WIB
Fenomena gaji numpang lewat belakangan ini cukup meramaikan obrolan di media sosial. Beberapa pekerja kerap mengeluh karena penghasilan yang telah susah payah diraih dalam sebulan, seketika habis begitu saja untuk membayar berbagai macam cicilan dan utang tipis-tipis.
Istilah gaji numpang lewat inipun rupanya marak di kalangan milenial dan generasi Z. Dengan segala kemudahan pembayaran kredit seperti masifnya tawaran beli dulu, bayar belakangan, saat ini pengguna skema pembayaran cicilan lewat pay later itu makin merebak.
Baca juga: Kiat Menyiasati Utang yang Menumpuk
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan jika pengguna pay later kian tinggi mencapai 72,88 juta kontrak atau naik hingga 33,25 persen (YoY) per Mei 2023. Survei Populix pun menyebutkan jika mayoritas pengguna fitur cicilan ini didominasi kalangan milenial (63 persen) dengan rata-rata berasal dari kalangan kelas sosial atas (59 persen), dengan besaran cicilan Rp1 juta per bulan (83 persen).
Meski fitur ini terbilang membantu, tak sedikit orang yang kesulitan mengatur keuangan karena cicilan yang kian mencekik. Belum lagi, jika kebutuhan lain bertambah pada bulan berikutnya dan mendorong konsumen kembali memanfaatkan fitur tersebut. Bak tagihan yang menggulung, cicilan harus dikelola dengan siasat yang pas.
Perencana Keuangan Eko Endarto mengatakan persentase cicilan yang sehat tidak boleh lebih dari 30 persen. Angka tersebut merupakan batas maksimal dari pendapatan untuk dialokasikan apabila memiliki cicilan, baik cicilan rumah, atau cicilan yang bersifat konsumtif seperti gadget, hiburan, dan lainnya.
Menurut Eko, seseorang harus waspada jika kalkulasi cicilan sudah melebihi batas 30 persen. “Artinya kondisi keuangan sudah tidak sehat. Perlu strategi yang tepat agar tidak mengganggu alur cash flow,” kata Eko.
Utamanya bagi milenial dan gen Z yang gaya hidupnya tinggi, ada banyak faktor yang harus menjadi perhatian khusus terkait pengeluaran. Salah satunya adalah penghasilan yang cenderung tetap, sementara pengeluaran sifatnya tak terbatas sehingga tergiur memanfaatkan fitur cicilan seperti pay later untuk menutupi keinginannya. “Jadi, setiap orang harus mengetahui batas dan ukuran pengeluaran mereka,” katanya.
Menurut Eko, pos dana yang bersifat kewajiban harus dialokasikan paling awal atau diprioritaskan. Hal ini penting agar tidak terjadi praktik alokasi terbalik, di mana alokasi yang bersifat konsumtif seharusnya diletakkan setelah alokasi yang bersifat kewajiban tersebut.
Sementara itu, CEO & Principal Consultant Zapfinance Prita Hapsari Ghozie menjelaskan bahwa banyak yang lupa jika batas cicilan 30 persen tersebut sudah meliputi seluruh jenis utang yang harus ditutupi dari penghasilan bulanan.
“Batas utang 30 persen itu mencakup seluruh cicilan termasuk rumah misalnya. Jadi cicilan konsumtif seperti beli gadget dan sebagainya itu harusnya hanya 15 persennya saja dari porsi itu,” katanya.
Prita juga merespons terkait banyaknya keluhan gaji numpang lewat yang banyak melilit generasi masa kini. Menurutnya, sebaiknya cicilan atau pinjaman yang bersifat wajib diselesaikan dengan segera. Untuk itu, setiap orang sebaiknya membuat anggaran yang akan berfungsi membantu mengetahui plot atau peta keuangan ke depan. Misalnya, pos-pos pengeluaran apa saja yang dikhususkan dan menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.
Adapun pos pengeluaran sebaiknya dibagi dalam tiga kategori. Pertama, pos living yang berisi daftar pengeluaran yang bersifat kewajiban dan kebutuhan. Kedua, pos pengeluaran yang bersifat keinginan termasuk biaya hiburan. Ketiga, pos tabungan yang dapat segera disisihkan ketika awal menerima pendapatan.
Ketiga pos pengeluaran itu tetap berjalan meski nantinya seseorang mendapati kenaikan penghasilan. “Jadi jika suatu saat penghasilannya naik, jangan gegabah langsung menaikkan gaya hidup. Ingat untuk melunasi dulu cicilannya. Pastikan pos-pos utamanya cukup, baru nanti menaikkan gaya hidup,” kata Prita.
Jika persentase cicilan tak boleh melebihi 30 persen, lantas bagaimana jika seseorang telanjur memiliki cicilan di atas batas tersebut? Menurut Prita, diperlukan taktik khusus untuk mengeksekusi pengeluaran dengan tepat. Dia menyarankan untuk membuat daftar semua cicilan yang masih berjalan. “Artinya harus melakukan restrukturisasi,” katanya.
Prita mencontohkan, untuk cicilan rumah seseorang bisa mengajukan opsi ke bank untuk menurunkan cicilan dengan risiko penambahan durasi yang lebih panjang. “Solusi lainnya, banyak yang saat ini menawarkan alih KPR dengan opsi bunga lebih rendah,” katanya.
Baca juga: The Tinder Swindler - Berawal dari Match hingga Rela Ngutang Banyak demi Ayang
Khusus untuk cicilan yang bersifat konsumtif, mau tak mau seseorang harus menutupinya dengan mencairkan tabungan atau menjual barang terlebih dahulu untuk menyelesaikan cicilan. Namun, Prita mengingatkan agar cicilan konsumtif ini tidak sampai menyeret pada praktik gali lubang dan tutup lubang yang membuat utang makin menggunung.
Editor: Fajar Sidik
Istilah gaji numpang lewat inipun rupanya marak di kalangan milenial dan generasi Z. Dengan segala kemudahan pembayaran kredit seperti masifnya tawaran beli dulu, bayar belakangan, saat ini pengguna skema pembayaran cicilan lewat pay later itu makin merebak.
Baca juga: Kiat Menyiasati Utang yang Menumpuk
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan jika pengguna pay later kian tinggi mencapai 72,88 juta kontrak atau naik hingga 33,25 persen (YoY) per Mei 2023. Survei Populix pun menyebutkan jika mayoritas pengguna fitur cicilan ini didominasi kalangan milenial (63 persen) dengan rata-rata berasal dari kalangan kelas sosial atas (59 persen), dengan besaran cicilan Rp1 juta per bulan (83 persen).
Meski fitur ini terbilang membantu, tak sedikit orang yang kesulitan mengatur keuangan karena cicilan yang kian mencekik. Belum lagi, jika kebutuhan lain bertambah pada bulan berikutnya dan mendorong konsumen kembali memanfaatkan fitur tersebut. Bak tagihan yang menggulung, cicilan harus dikelola dengan siasat yang pas.
Perencana Keuangan Eko Endarto mengatakan persentase cicilan yang sehat tidak boleh lebih dari 30 persen. Angka tersebut merupakan batas maksimal dari pendapatan untuk dialokasikan apabila memiliki cicilan, baik cicilan rumah, atau cicilan yang bersifat konsumtif seperti gadget, hiburan, dan lainnya.
Menurut Eko, seseorang harus waspada jika kalkulasi cicilan sudah melebihi batas 30 persen. “Artinya kondisi keuangan sudah tidak sehat. Perlu strategi yang tepat agar tidak mengganggu alur cash flow,” kata Eko.
Utamanya bagi milenial dan gen Z yang gaya hidupnya tinggi, ada banyak faktor yang harus menjadi perhatian khusus terkait pengeluaran. Salah satunya adalah penghasilan yang cenderung tetap, sementara pengeluaran sifatnya tak terbatas sehingga tergiur memanfaatkan fitur cicilan seperti pay later untuk menutupi keinginannya. “Jadi, setiap orang harus mengetahui batas dan ukuran pengeluaran mereka,” katanya.
Menurut Eko, pos dana yang bersifat kewajiban harus dialokasikan paling awal atau diprioritaskan. Hal ini penting agar tidak terjadi praktik alokasi terbalik, di mana alokasi yang bersifat konsumtif seharusnya diletakkan setelah alokasi yang bersifat kewajiban tersebut.
Sementara itu, CEO & Principal Consultant Zapfinance Prita Hapsari Ghozie menjelaskan bahwa banyak yang lupa jika batas cicilan 30 persen tersebut sudah meliputi seluruh jenis utang yang harus ditutupi dari penghasilan bulanan.
“Batas utang 30 persen itu mencakup seluruh cicilan termasuk rumah misalnya. Jadi cicilan konsumtif seperti beli gadget dan sebagainya itu harusnya hanya 15 persennya saja dari porsi itu,” katanya.
Prita juga merespons terkait banyaknya keluhan gaji numpang lewat yang banyak melilit generasi masa kini. Menurutnya, sebaiknya cicilan atau pinjaman yang bersifat wajib diselesaikan dengan segera. Untuk itu, setiap orang sebaiknya membuat anggaran yang akan berfungsi membantu mengetahui plot atau peta keuangan ke depan. Misalnya, pos-pos pengeluaran apa saja yang dikhususkan dan menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.
Adapun pos pengeluaran sebaiknya dibagi dalam tiga kategori. Pertama, pos living yang berisi daftar pengeluaran yang bersifat kewajiban dan kebutuhan. Kedua, pos pengeluaran yang bersifat keinginan termasuk biaya hiburan. Ketiga, pos tabungan yang dapat segera disisihkan ketika awal menerima pendapatan.
Ketiga pos pengeluaran itu tetap berjalan meski nantinya seseorang mendapati kenaikan penghasilan. “Jadi jika suatu saat penghasilannya naik, jangan gegabah langsung menaikkan gaya hidup. Ingat untuk melunasi dulu cicilannya. Pastikan pos-pos utamanya cukup, baru nanti menaikkan gaya hidup,” kata Prita.
Cara Ngehack Cicilan
Ilustrasi perencanaan keuangan (Sumber gambar: Firmbee/Unsplash)
Jika persentase cicilan tak boleh melebihi 30 persen, lantas bagaimana jika seseorang telanjur memiliki cicilan di atas batas tersebut? Menurut Prita, diperlukan taktik khusus untuk mengeksekusi pengeluaran dengan tepat. Dia menyarankan untuk membuat daftar semua cicilan yang masih berjalan. “Artinya harus melakukan restrukturisasi,” katanya.
Prita mencontohkan, untuk cicilan rumah seseorang bisa mengajukan opsi ke bank untuk menurunkan cicilan dengan risiko penambahan durasi yang lebih panjang. “Solusi lainnya, banyak yang saat ini menawarkan alih KPR dengan opsi bunga lebih rendah,” katanya.
Baca juga: The Tinder Swindler - Berawal dari Match hingga Rela Ngutang Banyak demi Ayang
Khusus untuk cicilan yang bersifat konsumtif, mau tak mau seseorang harus menutupinya dengan mencairkan tabungan atau menjual barang terlebih dahulu untuk menyelesaikan cicilan. Namun, Prita mengingatkan agar cicilan konsumtif ini tidak sampai menyeret pada praktik gali lubang dan tutup lubang yang membuat utang makin menggunung.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.