Review Novel Terbaru Karya Leila S. Chudori, Namaku Alam
01 December 2023 |
07:00 WIB
Anak-anak tahanan politik memiliki masa lalu kelam, terutama bagi mereka yang hidup dari keluarga berlabel anggota organisasi yang dihitamkan sejarah. Diskriminasi, perundungan, hingga pergulatan batin dialami sejak mereka kecil hingga dewasa. Istilah inner child yang terluka pun benar adanya.
Tak dipungkiri, bangsa ini memiliki sejarah kelam. Ada masa ketika setengah juta orang dibantai karena dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia. Memang saat ini semua sudah berdamai, namun jiwa-jiwa yang meratap dan merana itu masih ada.
Baca juga: Review Buku Kiat Menjadi Diktator, Cara Jitu Mikael Hem Menguliti Borok Para Despot Dunia
Suara-suara sayup inilah yang coba dikisahkan Leila Salikha Chudori dalam novel terbarunya, Namaku Alam. Meskipun cerita fiksi, novel ini merupakan ramuan kisah anak-anak tahanan politik 1965 yang sempat diwawancarainya.
Namaku alam bercerita tentang Segara Alam, salah satu karakter ciptaan Leila yang ada di buku Pulang. Ya, karya ini merupakan salah satu spin off dari novelnya yang terbit pada 2012.
Alam berhasil menarik perhatian pembaca karena memiliki gejolak kemarahan atas peristiwa pada masa lalu. Lelaki tinggi, berambut ikal, berkulit coklat gosong, berwajah kasar, dan bertubuh atletis itu hidup dengan menanggung dendam. Pada novel Namaku Alam, latar belakang sang karakter favorit pembaca Pulang itu dikupas tuntas.
Berlatar cerita 1965-1982, pembaca diajak menjenguk Alam pada masa kecil hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sejak kecil dia dicap sebagai anak pengkhianat bangsa karena ayahnya terlibat dengan sebuah organisasi seni yang dihitamkan dalam sejarah.
Stigma tersebut membuatnya menjadi sasaran perundungan dan diskriminasi di sekolah maupun lingkungannya. Namun Alam tidak diam saja dan membalas mereka dengan kekerasan dengan maksud membela diri. Alhasil, dia dicap sebagai anak yang temperamental dan ibunya kerap dipanggil ke sekolah karena kelakuannya itu.
Meskipun sering bertengkar dengan siswa lain, Alam memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan membuat pihak sekolah keberatan untuk mengeluarkannya. Terlebih, alam memiliki kemampuan photographic memory. Namun, ingatannya yang tajam ini justru menyiksanya.
Photographic memory yang membuat semua pengalaman masa kecil traumatis terekam jelas di kepalanya dan terus memperdalam perasaan dendam Alam. Terutama peristiwa kelam ketika langit berwarna hitam dengan garis ungu, lalu bulan bersembunyi di balik ranting pohon randu, sekumpulan burung nasar bertengger di pagar kawat sedang mencium aroma manusia yang nyaris jadi mayat bercampur bau mesiu.
Diiringi lolongan anjing berkepanjangan. Alam jelas mengingat empat orang berbaris rapi, masing-masing berdiri dengan senapan yang diarahkan kepada ayahnya. Hanya satu senapan berisi peluru mematikan, selebihnya, peluru karet.
Begitu pula ketika Alam ingat pertama kali dia ditodong senapan oleh seorang lelaki dewasa ketika masih berusia tiga tahun. Pertama kali sepupunya mencercanya sebagai anak ‘pengkhianat negara’, dan pertama kali Alam berkelahi dengan seorang anak pengusaha besar yang menguasai sekolah, serta pertama kali dia jatuh cinta. Pengalaman traumatis dan syahdu tentang Alam ini ditulis dan dirangkai Leila yang pastinya membuat mata pembaca membuka lembaran novel Namaku Alam hingga akhir.
Leila memang memiliki karakter kuat dalam setiap karya yang diciptakannya. Membenamkan bahasa intelek namun puitis, pasti selalu ada pesan kritis yang ingin disampaikan.
Sebagai sastrawan yang sempat menjadi wartawan, Leila tahu betul bagaimana merangkai sebuah peristiwa yang berlatarkan sejarah politik Indonesia. Pengalaman sebagai 'pencatat sejarah' perpolitikan di negeri ini, membuat Leila begitu lihai membawa pembaca seakan masuk ke dalam cerita yang dibuatnya.
Data Buku
Baca juga: Review Buku 1970 Sebuah Novel: Kelindan Sepak Bola dalam Pusaran Politik Brasil
Editor: Dika Irawan
Tak dipungkiri, bangsa ini memiliki sejarah kelam. Ada masa ketika setengah juta orang dibantai karena dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia. Memang saat ini semua sudah berdamai, namun jiwa-jiwa yang meratap dan merana itu masih ada.
Baca juga: Review Buku Kiat Menjadi Diktator, Cara Jitu Mikael Hem Menguliti Borok Para Despot Dunia
Suara-suara sayup inilah yang coba dikisahkan Leila Salikha Chudori dalam novel terbarunya, Namaku Alam. Meskipun cerita fiksi, novel ini merupakan ramuan kisah anak-anak tahanan politik 1965 yang sempat diwawancarainya.
Namaku alam bercerita tentang Segara Alam, salah satu karakter ciptaan Leila yang ada di buku Pulang. Ya, karya ini merupakan salah satu spin off dari novelnya yang terbit pada 2012.
Alam berhasil menarik perhatian pembaca karena memiliki gejolak kemarahan atas peristiwa pada masa lalu. Lelaki tinggi, berambut ikal, berkulit coklat gosong, berwajah kasar, dan bertubuh atletis itu hidup dengan menanggung dendam. Pada novel Namaku Alam, latar belakang sang karakter favorit pembaca Pulang itu dikupas tuntas.
Berlatar cerita 1965-1982, pembaca diajak menjenguk Alam pada masa kecil hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sejak kecil dia dicap sebagai anak pengkhianat bangsa karena ayahnya terlibat dengan sebuah organisasi seni yang dihitamkan dalam sejarah.
Novel Namaku Alam. (Foto: Desyinta Nuraini/Hypeabis.id)
Meskipun sering bertengkar dengan siswa lain, Alam memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan membuat pihak sekolah keberatan untuk mengeluarkannya. Terlebih, alam memiliki kemampuan photographic memory. Namun, ingatannya yang tajam ini justru menyiksanya.
Photographic memory yang membuat semua pengalaman masa kecil traumatis terekam jelas di kepalanya dan terus memperdalam perasaan dendam Alam. Terutama peristiwa kelam ketika langit berwarna hitam dengan garis ungu, lalu bulan bersembunyi di balik ranting pohon randu, sekumpulan burung nasar bertengger di pagar kawat sedang mencium aroma manusia yang nyaris jadi mayat bercampur bau mesiu.
Diiringi lolongan anjing berkepanjangan. Alam jelas mengingat empat orang berbaris rapi, masing-masing berdiri dengan senapan yang diarahkan kepada ayahnya. Hanya satu senapan berisi peluru mematikan, selebihnya, peluru karet.
Begitu pula ketika Alam ingat pertama kali dia ditodong senapan oleh seorang lelaki dewasa ketika masih berusia tiga tahun. Pertama kali sepupunya mencercanya sebagai anak ‘pengkhianat negara’, dan pertama kali Alam berkelahi dengan seorang anak pengusaha besar yang menguasai sekolah, serta pertama kali dia jatuh cinta. Pengalaman traumatis dan syahdu tentang Alam ini ditulis dan dirangkai Leila yang pastinya membuat mata pembaca membuka lembaran novel Namaku Alam hingga akhir.
Leila memang memiliki karakter kuat dalam setiap karya yang diciptakannya. Membenamkan bahasa intelek namun puitis, pasti selalu ada pesan kritis yang ingin disampaikan.
Sebagai sastrawan yang sempat menjadi wartawan, Leila tahu betul bagaimana merangkai sebuah peristiwa yang berlatarkan sejarah politik Indonesia. Pengalaman sebagai 'pencatat sejarah' perpolitikan di negeri ini, membuat Leila begitu lihai membawa pembaca seakan masuk ke dalam cerita yang dibuatnya.
Data Buku
- Judul: Namaku Alam
- Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
- Jumlah Halaman : 448
- Berat : 0,5 kg
- ISBN : 592302176
- Tanggal Terbit: 19 September, 2023
Baca juga: Review Buku 1970 Sebuah Novel: Kelindan Sepak Bola dalam Pusaran Politik Brasil
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.