Ilustrasi museum. (Sumber gambar: Jes Rodriguez/Unsplash)

Unsur Kolonialisme Perlu Dibersihkan dari Museum-Museum di Indonesia

29 November 2023   |   16:44 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Museum menjadi tempat yang sangat penting untuk menyimpan, melindungi, sekaligus menyebarkan pengetahuan sejarah bagi sebuah Bangsa. Namun, kebanyakan museum di Indonesia dinilai masih menampilkan narasi sejarah dari sudut pandang kolonial.

Oleh karena itu, diperlukan upaya dekolonisasi pada museum-museum di Tanah Air. Museolog dari Universitas Indonesia Ajeng Ayu Arainikasih mengatakan kebanyakan museum di Indonesia masih menampilkan narasi-narasi kolonial, yang hanya berkutat pada pengetahuan dan koleksi dari kerajaan-kerajaan, perkembangan kota, dan perjuangan dalam melawan penjajah.

Semua itu, biasanya hadir dengan sudut pandang narasi orang-orang yang berkuasa atau mereka yang berjuang di medan perang. Sebaliknya, cerita-cerita sejarah sosial yang berkaitan dengan manusia dan perkembangannya justru diabaikan.

"Bagaimana sejarah lokal, sejarah sosial, sejarah keluarga atau cerita personal yang selama ini enggak pernah ada di museum bisa dilihat. Kalau di luar negeri kisah-kisah itu biasanya diceritain. Jadi lebih humanis, lebih relevan dengan diri sendiri," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Museum Joang 45, Jakarta, Rabu (29/11/2023).

Baca juga: Membuka Lembaran Sejarah Jakarta lewat Pameran Jejak Memori Evolusi Museum Prasasti

Keberadaan museum sendiri sejatinya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kolonialisme. Menurut jurnal berjudul Decolonization within the Museum karya Lynn Maranda, museum merupakan sebuah fakta penjajahan. Struktur museum dan koleksi di dalamnya seringkali merupakan lambang dan sisa-sisa simbolik yang paling mudah diamati dari zaman kolonialisme.

Museum adalah produk kolonialisasi yang biasanya menjadi tempat pengklasifikasian benda-benda aneh dan tidak biasa yang sempat dijarah, lalu dikembalikan ke negeri terjajah. Kolonisasi dan mentalitas menghidupkan romantisasi benda-benda tersebut, seringkali mendasari pertumbuhan koleksi di museum hingga tak ayal kehadirannya berkaitan erat dengan praktik kolonilaisme.

Meski tak lagi ada di bawah rezim kolonialisme, pada perkembangannya museum juga acapkali hadir dengan narasi yang dikehendaki penguasa suatu negara. Koleksi benda dan narasi pengetahuan di dalamnya dihadirkan sesuai dengan framing yang diinginkan oleh pemerintah.

Ajeng mengatakan masih minimnya museum-museum di Indonesia dengan narasi yang lebih multiperspektif lantaran tidak tumbuhnya sejarah sosial yang berkembang pada 1970-an hingga 1980-an. Pasalnya, kala itu Indonesia masih dikuasai rezim orde baru sehingga narasi sejarah cenderung hanya berasal dari satu arah yakni pemerintah.

"Jadi sejarah sosial tidak pernah berkembang di museum-museum kita. Museum-museum di Indonesia adalah museum tanpa [cerita] manusia. Jadi narasinya banyak yang versi orde baru," katanya.


Namun, belakangan praktik dekolonisasi marak dilakukan oleh museum di berbagai belahan dunia. Dekolonisasi adalah upaya melepaskan diri dari sistem, ideologi, dan cara pandang kolonial yang represif. Dekolonisasi juga proses panjang yang perlu terus dilakukan, dan caranya pun berbeda-beda di setiap negara. 
 

Ilustrasi museum. (Sumber gambar: Jes Rodriguez/Unsplash)

Ilustrasi museum. (Sumber gambar: Elizabeth George/Unsplash)

Di Prancis misalnya, Presiden Emmanuel mengembalikan 26 koleksi Museum Quai Branly yang dijarah oleh Prancis ke negara asalnya, Republik Benin. Lalu, Rijksmuseum di Belanda telah mengakui sejarah kelam kolonialisme negerinya dengan mengadakan pameran Revolusi! Indonesia Independent pada awal tahun 2022.

Ada pula Museum Barbados di Kepulauan Karibia yang tidak lagi hanya menampilkan cerita tentang para pemilik perkebunan yang berbudaya Eropa. Museum itu kini menampilkan identitas plural masyarakat Barbados yang berakar dari perbudakan pada era kolonial.

Sementara di Indonesia, salah satu museum yang telah melakukan upaya dekolonisasi adalah Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian yang berlokasi di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Museum itu tak lagi hanya menampilkan banyak koleksi artefak yang mengotak-ngotakkan ras atau etnis tertentu, melainkan lebih menonjolkan aspek informasi dan pembelajaran. 

Museum yang Relevan
Ajeng mengatakan bahwa museum dapat menginspirasi pengunjungnya jika relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman saat ini. Oleh karena itu, agar narasi museum menjadi lebih relevan dengan zaman sekarang, lanjutnya, diperlukan adanya upaya dekolonisasi sudut pandang kolonial, serta reframing narasi sejarah ala Orde Baru.

Dia juga mengatakan koleksi yang ditampilkan di museum juga seharusnya bisa lebih dinamis mengikuti perkembangan pengetahuan saat ini. Koleksi museum tak hanya harus berhenti dengan hal-hal yang berkaitan dengan zaman kerajaan atau kolonialisme, tetapi bisa juga mengangkat pengetahuan sejarah pada era-era historis lainnya.

"Kalau tidak begitu, museum jadi tidak terasa relevan untuk masyarakat. Kalau semua tentang masa lalu dan tidak bicara tentang masa kini, bagaimana itu bisa relate dengan masyarakat," katanya.

Menurutnya, hal itu sejalan dengan definisi museum terbaru yang dikeluarkan oleh International Council of Museums (ICOM) pada Agustus 2022. Ada beberapa kata kunci yang perlu digarisbawahi agar museum lebih relevan dan menginspirasi, yakni accessible dan inklusif, mengakomodir keragaman, melibatkan masyarakat, menawarkan beragam pengalaman, dan berbagi pengetahuan.

Wujud ideal itu misalnya bisa diupayakan dengan menghadirkan ragam program menarik yang relevan, meski berakar pada narasi koleksi museum. Selain itu, lantaran anak-anak menjadi kalangan pengunjung terbesar, tata pamer juga harus bisa diakses oleh mereka dengan menyenangkan dan tidak membosankan.

Baca juga: Kenalan dengan Museum Semedo, Tempat Asyik Wisata Prasejarah di Tegal

Ajeng juga menilai museum sudah seharusnya bisa diakses 24 jam kapanpun dan di manapun. Dalam hal ini, pengelola bisa memanfaatkan kemajuan teknologi dengan membuat virtual tour. Tak hanya itu, dia menambahkan poin accessible pada museum juga berarti mengoptimalkan lima panca indera, sehingga selain dilihat, objek di museum idealnya bisa juga dicium hingga diraba.

Tak kalah penting, museum juga dipandang harus bisa diakses dengan mudah oleh para penyandang disabilitas baik fisik maupun mental, hingga menawarkan berbagai pengalaman untuk pendidikan, kegembiraan, dan refleksi. "Relevan itu harus datang dari pameran, program, dan koleksinya," terang Ajeng. 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Diangkat dari Kisah Nyata, Simak Sinopsis Film Panggonan Wingit

BERIKUTNYA

Tak Jadi Tayang di Bioskop, 24 Jam Bersama Gaspar Meluncur ke Netflix 14 Maret 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: