Seni dan Filantropi Butuh Harmonisasi
29 November 2023 |
13:14 WIB
Dalam hal kedermawanan, masyarakat Indonesia sebenarnya selalu mencetak tren positif dalam menggerakan energi berbagi. Untuk enam kali berturut-turut, Indonesia kembali mencatatkan namanya sebagai negara yang paling dermawan di dunia versi World Giving Index 2023.
Survei tersebut dilakukan oleh Charities Aid Foundation (CAF) setiap tahun. CAF World Giving Index menjadi salah satu survei amal terbesar di dunia dengan jutaan orang diwawancarai sejak 2009 lalu.
Namun, kebanyakan perusahaan maupun individu di Indonesia sejauh ini belum terlalu banyak mengalamatkan dana filantropinya ke sektor kesenian. Upaya merawat seni melalui dukungan filantropi pun dinilai masih sangat panjang.
Baca juga: Upaya Memanusiakan Mesin dalam Karya Seni Beauty is in the Eye of the Debugger
Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia Gusman Yahya mengatakan bahwa kegiatan seni masih belum terlalu diminati sebagai sebuah prioritas lembaga filantropi. Kegiatan seni bahkan tidak masuk ke dalam lima besarnya.
Menilik data Indonesia Phianthropy Outlook 2022, terdapat lima program prioritas yang rutin dijalankan oleh para lembaga filantropi di Indonesia sepanjang 2018-2020. Lima jenis kegiatan tersebut adalah pendidikan dengan skor 39,7 persen, pemberdayaan ekonomi (24,1), iklim dan lingkungan hidup (18,8), advokasi (17,4), dan kesehatan (17).
Kegiatan seni hanya memperoleh skor 4,9 persen dan membuatnya berada di posisi ke-12. Gusman berpandangan hal itu terjadi karena saat ini ada semacam fenomena para perusahaan ini sedang mengarahkan filantropinya ke hal-hal terkait Sustainable Development Goals atau SDGs.
Selain itu, ada ketertarikan yang mulai terlihat juga pada bidang lingkungan. Elemen-elemen ini membuat posisi lima besar selalu terkait dengan dua faktor tersebut.
“Kenapa bisa ada di posisi 12? Seni belum menjadi center of interest. Seni budaya bukan jadi mainstream pikiran filantropis dan masyarakat, Hal ini memang jadi tantangan,” ungkap Gusman dalam diskusi Dukungan Untuk Kesenian di Taman Ismail Marzuki, Selasa (28/11/2023).
Gusman menilai saat ini masih ada kurangnya kesadaran dari masyarakat atau filantropis terhadap pentingnya seni budaya dalam kehidupan masyarakat. Seni juga belum dilihat sebagai isu prioritas untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Ada beberapa penyebab yang memunculkan anggapan tersebut. Menurut Gusman, bisa jadi salah satunya adalah karena kurangnya literatur yang dapat dijadikan referensi untuk mendorong keterlibatan filantropi di sektor seni budaya.
Selain itu, permasalahan jejaring juga menjadi hal krusial. Komunikasi dan kolaborasi antara pegiat seni dan filantropi harus diperkuat sehingga tercipta satu pemahaman yang sama. Di sisi lain, dirinya menilai perlu adanya kebijakan pemerintah untuk membuat insentif agar filantropi dapat berkontribusi di bidang seni.
Gusman mengatakan permasalahan dorongan pemerintah terhadap insentif seperti pajak memang sudah ada, tapi masih kurang. Prosesnya rumit serta besarannya perlu dilakukan penyesuaian.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 36/2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 93/2010, pemerintah pusat memberikan insentif pajak bagi pihak swasta yang memberikan sumbangan sosial atau corporate social responsbility (CSR). Seni dan budaya menjadi salah satu bidang yang menjadi obyek CSR dalam peraturan tersebut.
TANTANGAN
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan seni budaya mesti bisa menempatkan posisi sebagai sektor yang bisa menjadi center of interest. Namun, memang saat ini masih memiliki beberapa tantangan.
Salah satunya adalah terkait penghitungan dampak dari kegiatan yang dilakukan. Menurutnya, pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan melihatnya sebagai sebuah investasi. Dalam investasi, tentu diharapkan di masa depan ada sebuah return atau pengembalian yang dirasakan. Jadi, filantropi bisa tertarik.
“Ketika investasi di sektor ini, nanti jadi apa? Tentu bukan uang yang kembali, tetapi apa sih pengembalian kultural atau sosialnya. Nah, ini juga jadi PR. Kita punya indeks pembangunan kebudayaan yang kurang lebih bisa mengukur inputnya sekian, apa outputnya. Tapi kita masih belum punya hitungan yang terperinci,” tegasnya.
Menurutnya, Masalah pengembalian kultural atau sosial di seni memang jadi tantangan. Sebab, kerap kali tidak semudah itu untuk diukur, apalagi dalam bentuk-bentuk angka.
Namun, Hilmar mengatakan ada beberapa kegiatan dari negara lain yang barang kali bisa jadi percontohan. Salah satunya ialah kegiatan After School Matters di Chicago. Sebuah kegiatan yang memacu anak-anak di sana untuk pentas, belajar menari, melukis, dan berbagai kesenian lain.
Dari kegiatan tersebut, rupanya anak-anak yang ikut program mendapatkan dampak yang baik setelah mengikuti acara itu. Mulai dari jadi lebih kreatif, inovatif, dan sebagainya.
“Nah, mereka ketemu hitungannya. Dari US$1 yang diinvestasikan, mereka dapat US$9 misalnya. Dalam artian, ketika anak jadi kreatif, mereka bisa dapat pekerjaan lebih baik, dan pada ujungnya mengurangi cost yang biasanya digunakan pemerintah ketika menangani masalah sosial. Nah, mekanisme itu kita belum punya,” imbuhnya.
Sementara itu, Manager Advokasi Koalisi Seni Indonesia Hafez Gumay mengatakan ketika berbicara kegiatan seni, memang terkadang sulit untuk mengukurnya dalam bentuk kualitatif. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Namun, jika berbicara dampak, efek dari kegiatan seni bagi masyarakat itu bukannya tidak ada. Hafez menyebut Koalisi Seni Indonesia beberapa tahun lalu sempat membuat riset yang memotret 10 contoh organisasi seni yang punya dampak nyata di masyarakat.
Akan tetapi, dampak tersebut dijabarkan dalam bentuk narasi kualitatif. Misalnya, dengan aktifnya organisasi seni di suatu wilayah, maka daerah tersebut tumbuh satu generasi yang toleransi hingga lebih menerima perubahan.
Dia menyatakan bahwa hal-hal itu mesti bisa lebih disosialisasikan dengan baik, termasuk oleh pegiat seni kepada filantropi atau dukungan sumber dana lain. Sebuah kegiatan seni, memang tidak bisa berjalan instan.
“Dampak seni ini bisa dilihat mungkin setelah satu generasi gitu. Misalnya, kadang ada yang suka bilang generasi sebelum 2000 itu lebih kuat ditempa oleh cobaan dibanding generasi setelah 2000. Ini bisa seperti stereotip," ujarnya.
Baca juga: Play by UOB Indonesia di Art Jakarta 2023, Ajang Kenalkan Seni ke Anak dengan Cara Menyenangkan
Menurutnya, interaksi sosial dan seni yang berkembang pada dua periode tersebut bisa saja memengaruhi generasi. Hal itu perlu diyakinkan pada sumber pendonor, jangan sampai ketika sadar melihat dampak itu ternyata sudah telat.
Dia menegaskan bahwa pandangan ke arah tersebut penting digaungkan agar tercipta pemahaman yang serupa. Terlebih, dukungan terhadap seni ini rupanya punya dampak yang besar bagi kehidupan bermasyarakat maupun kebudayaan itu sendiri.
Editor: Fajar Sidik
Survei tersebut dilakukan oleh Charities Aid Foundation (CAF) setiap tahun. CAF World Giving Index menjadi salah satu survei amal terbesar di dunia dengan jutaan orang diwawancarai sejak 2009 lalu.
Namun, kebanyakan perusahaan maupun individu di Indonesia sejauh ini belum terlalu banyak mengalamatkan dana filantropinya ke sektor kesenian. Upaya merawat seni melalui dukungan filantropi pun dinilai masih sangat panjang.
Baca juga: Upaya Memanusiakan Mesin dalam Karya Seni Beauty is in the Eye of the Debugger
Direktur Eksekutif Perhimpunan Filantropi Indonesia Gusman Yahya mengatakan bahwa kegiatan seni masih belum terlalu diminati sebagai sebuah prioritas lembaga filantropi. Kegiatan seni bahkan tidak masuk ke dalam lima besarnya.
Menilik data Indonesia Phianthropy Outlook 2022, terdapat lima program prioritas yang rutin dijalankan oleh para lembaga filantropi di Indonesia sepanjang 2018-2020. Lima jenis kegiatan tersebut adalah pendidikan dengan skor 39,7 persen, pemberdayaan ekonomi (24,1), iklim dan lingkungan hidup (18,8), advokasi (17,4), dan kesehatan (17).
Kegiatan seni hanya memperoleh skor 4,9 persen dan membuatnya berada di posisi ke-12. Gusman berpandangan hal itu terjadi karena saat ini ada semacam fenomena para perusahaan ini sedang mengarahkan filantropinya ke hal-hal terkait Sustainable Development Goals atau SDGs.
Selain itu, ada ketertarikan yang mulai terlihat juga pada bidang lingkungan. Elemen-elemen ini membuat posisi lima besar selalu terkait dengan dua faktor tersebut.
“Kenapa bisa ada di posisi 12? Seni belum menjadi center of interest. Seni budaya bukan jadi mainstream pikiran filantropis dan masyarakat, Hal ini memang jadi tantangan,” ungkap Gusman dalam diskusi Dukungan Untuk Kesenian di Taman Ismail Marzuki, Selasa (28/11/2023).
Gusman menilai saat ini masih ada kurangnya kesadaran dari masyarakat atau filantropis terhadap pentingnya seni budaya dalam kehidupan masyarakat. Seni juga belum dilihat sebagai isu prioritas untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Ada beberapa penyebab yang memunculkan anggapan tersebut. Menurut Gusman, bisa jadi salah satunya adalah karena kurangnya literatur yang dapat dijadikan referensi untuk mendorong keterlibatan filantropi di sektor seni budaya.
Selain itu, permasalahan jejaring juga menjadi hal krusial. Komunikasi dan kolaborasi antara pegiat seni dan filantropi harus diperkuat sehingga tercipta satu pemahaman yang sama. Di sisi lain, dirinya menilai perlu adanya kebijakan pemerintah untuk membuat insentif agar filantropi dapat berkontribusi di bidang seni.
Gusman mengatakan permasalahan dorongan pemerintah terhadap insentif seperti pajak memang sudah ada, tapi masih kurang. Prosesnya rumit serta besarannya perlu dilakukan penyesuaian.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 36/2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 93/2010, pemerintah pusat memberikan insentif pajak bagi pihak swasta yang memberikan sumbangan sosial atau corporate social responsbility (CSR). Seni dan budaya menjadi salah satu bidang yang menjadi obyek CSR dalam peraturan tersebut.
TANTANGAN
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan seni budaya mesti bisa menempatkan posisi sebagai sektor yang bisa menjadi center of interest. Namun, memang saat ini masih memiliki beberapa tantangan.
Salah satunya adalah terkait penghitungan dampak dari kegiatan yang dilakukan. Menurutnya, pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan melihatnya sebagai sebuah investasi. Dalam investasi, tentu diharapkan di masa depan ada sebuah return atau pengembalian yang dirasakan. Jadi, filantropi bisa tertarik.
“Ketika investasi di sektor ini, nanti jadi apa? Tentu bukan uang yang kembali, tetapi apa sih pengembalian kultural atau sosialnya. Nah, ini juga jadi PR. Kita punya indeks pembangunan kebudayaan yang kurang lebih bisa mengukur inputnya sekian, apa outputnya. Tapi kita masih belum punya hitungan yang terperinci,” tegasnya.
Menurutnya, Masalah pengembalian kultural atau sosial di seni memang jadi tantangan. Sebab, kerap kali tidak semudah itu untuk diukur, apalagi dalam bentuk-bentuk angka.
Namun, Hilmar mengatakan ada beberapa kegiatan dari negara lain yang barang kali bisa jadi percontohan. Salah satunya ialah kegiatan After School Matters di Chicago. Sebuah kegiatan yang memacu anak-anak di sana untuk pentas, belajar menari, melukis, dan berbagai kesenian lain.
Dari kegiatan tersebut, rupanya anak-anak yang ikut program mendapatkan dampak yang baik setelah mengikuti acara itu. Mulai dari jadi lebih kreatif, inovatif, dan sebagainya.
“Nah, mereka ketemu hitungannya. Dari US$1 yang diinvestasikan, mereka dapat US$9 misalnya. Dalam artian, ketika anak jadi kreatif, mereka bisa dapat pekerjaan lebih baik, dan pada ujungnya mengurangi cost yang biasanya digunakan pemerintah ketika menangani masalah sosial. Nah, mekanisme itu kita belum punya,” imbuhnya.
Sementara itu, Manager Advokasi Koalisi Seni Indonesia Hafez Gumay mengatakan ketika berbicara kegiatan seni, memang terkadang sulit untuk mengukurnya dalam bentuk kualitatif. Hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Namun, jika berbicara dampak, efek dari kegiatan seni bagi masyarakat itu bukannya tidak ada. Hafez menyebut Koalisi Seni Indonesia beberapa tahun lalu sempat membuat riset yang memotret 10 contoh organisasi seni yang punya dampak nyata di masyarakat.
Akan tetapi, dampak tersebut dijabarkan dalam bentuk narasi kualitatif. Misalnya, dengan aktifnya organisasi seni di suatu wilayah, maka daerah tersebut tumbuh satu generasi yang toleransi hingga lebih menerima perubahan.
Dia menyatakan bahwa hal-hal itu mesti bisa lebih disosialisasikan dengan baik, termasuk oleh pegiat seni kepada filantropi atau dukungan sumber dana lain. Sebuah kegiatan seni, memang tidak bisa berjalan instan.
“Dampak seni ini bisa dilihat mungkin setelah satu generasi gitu. Misalnya, kadang ada yang suka bilang generasi sebelum 2000 itu lebih kuat ditempa oleh cobaan dibanding generasi setelah 2000. Ini bisa seperti stereotip," ujarnya.
Baca juga: Play by UOB Indonesia di Art Jakarta 2023, Ajang Kenalkan Seni ke Anak dengan Cara Menyenangkan
Menurutnya, interaksi sosial dan seni yang berkembang pada dua periode tersebut bisa saja memengaruhi generasi. Hal itu perlu diyakinkan pada sumber pendonor, jangan sampai ketika sadar melihat dampak itu ternyata sudah telat.
Dia menegaskan bahwa pandangan ke arah tersebut penting digaungkan agar tercipta pemahaman yang serupa. Terlebih, dukungan terhadap seni ini rupanya punya dampak yang besar bagi kehidupan bermasyarakat maupun kebudayaan itu sendiri.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.