Upaya Memanusiakan Mesin dalam Karya Seni Beauty is in the Eye of the Debugger
29 November 2023 |
12:32 WIB
Sebuah layar kecil dengan dimensi 25 x 30 x 6 cm menampilkan visual yang berubah-ubah, mengikuti gerak orang-orang yang melewatinya. Karya itu berinteraksi dan menghasilkan gambar bergerak yang bervariasi dari setiap individu yang ada di depannya.
Karya dengan medium single-board computer, C++ code, 7-inch LCD screen, camera, dan acrylic itu berjudul Beauty is in the Eye of the Debugger karya seniman Eldwin Pradipta. Ini merupakan salah satu karya yang tampil dalam pameran Yesterday I Wrote the Future di Can's Gallery.
Baca juga: Ziarah Kekaryaan Oky Rey Montha dalam Pameran Tunggal Pilgrimage
Karya yang dibuat pada 2022 itu merupakan seni interaktif. Kamera yang tersemat di dalamnya bertindak sebagai sensor untuk mengirimkan pesan ke komputer. Lalu, data-data yang dikirimkan akan divisualisasikan.
Data-data itu dibuat grafik yang kerap mengalami perubahan. Karya yang merupakan seri terakhir dari sang seniman itu mencoba memanusiakan mesin. Eldwin menuturkan bahwa dia ingin memberi tahu kepada audiens tentang cara kerja mesin.
“Saya memetaforakan kamera sebagai mata manusia. Bedanya, ini representasi mesin melihat dunia,” ujarnya.
Sang seniman ingin menyampaikan pesan bahwa mesin tetaplah mesin betapa canggihnya itu, terlebih di dunia seni rupa. Seiring berkembang pesatnya kecerdasan buatan, machine learning, dan teknologi mutakhir lainnya, banyak orang merasa tersaingi oleh mesin.
Mereka memiliki kekhawatiran bahwa mesin akan mengambil pekerjaan yang selama ini dilakoni oleh manusia. Namun, Eldwin menyebut bahwa apresiasi terhadap karya tidak akan hanya berhenti pada mesin. Ada sosok pembuat di baliknya, yang juga bakal mendapat sorotan.
Baca juga: Cek 5 Kategori Koleksi Benda Bersejarah dalam Pameran Repatriasi di Galeri Nasional
Kurator pameran Yesterday I Wrote the Future, Sally Texania, menuturkan bahwa karya dari sang seniman menunjukkan perubahan-perubahan atau evolusi yang dapat terjadi pada saat ini dan masa yang akan datang dalam lanskap seni rupa.
Karya itu menunjukkan cara mesin membuat visual yang berbeda dengan manusia ketika menciptakan karya gambar atau lukisan. Mesin dalam karya Eldwin itu memproduksi gambar dengan menggunakan bahasa komputer ketika seseorang lewat di depannya.
Beauty is in the Eye of the Debugger juga memperlihatkan perubahan karya-karya yang dibuat oleh si empunya. Sebelum membuat karya seni interaktif tersebut, dia kerap menghasilkan karya gambar bergerak atau digital.
Seni interaktif itu juga jadi karya yang menunjukkan perkembangan lanjutan proliferasi perhelatan seni rupa hingga demokratisasi pasca-reformasi di Indonesia.
Karya itu merupakan bentuk eksplorasi identitas individu di tengah perubahan sosial dan politik, perhatian terhadap pengolahan objek temuan dan benda keseharian. Begitu juga soal eksperimentasi elemen visual yang tumbuh dari tegangan seni konvensional dan reproduksi digital, interaksi manusia dan teknologi serta pertanyaan akan konsekuensi dari perkembangannya, serta kembalinya minat pada nilai-nilai lokal.
Dengan menghadirkan spekulasi-spekulasi yang pernah ada atau yang sedang berlangsung, pameran ini mengajak penikmat seni untuk membayangkan sampai menciptakan prediksi lanjutan mengenai evolusi yang akan terjadi pada masa selanjutnya.
Yesterday I Wrote the Future juga menampilkan karya seniman Indonesia dan Korea Selatan dari generasi 1990-an hingga 2010-an, yang berkembang pada saat seni rupa kedua negara dipengaruhi globalisasi, internet, dan percepatan informasi.
Catatan-catatan perkembangan seni rupa Korea Selatan menunjukkan bahwa era 1990-an menjadi awal dari pergeseran paradigma ke arah postmodern, yang ketika itu seni berbasis ideologi bergeser ke perhatian akan keseharian.
“Terutama saat seniman Korea Selatan dengan latar pendidikan sekolah seni Amerika Serikat dan Eropa membawa perspektif ini pada tahun 1980-an dan 1990-an,” demikian pernyataan tertulis pengantar pameran.
Pada dekade ini, beberapa perubahan sosial terjadi secara simultan, yakni demokratisasi, pertumbuhan ekonomi pasca-olimpiade Seoul, serta peran pemerintah dalam mempromosikan seni dan teknologi sebagai bagian dari identitas masyarakat Korea Selatan. Hal-hal itu turut menjadi faktor yang memungkinkan seni media berkembang pesat.
Sebagai praktik artistik yang telah berjalan lebih dari 30 tahun, seni media Korea Selatan pada pameran ini menunjukkan ide-ide yang telah berkembang melampaui perhatian terhadap inovasi teknologi, di antaranya interpretasi seni klasik melalui pendekatan digital, pendalaman relasi manusia dan teknologi, penciptaan fiksi yang sarat dengan metafora akan kegelisahan dan emosi sehari-hari, hingga eksplorasi lapisan realitas yang tumbuh dari reproduksi digital.
Saat paradigma Korea Selatan akan seni media dan gagasan post modern berkembang melalui pengaruh diaspora, Indonesia mengalami internasionalisasi ketika perhelatan besar seni internasional mulai menyertakan perkembangan seni rupa Asia Tenggara.
Melalui perhelatan-perhelatan ini, interpretasi akan postmodern diadaptasi oleh seniman Indonesia salah satunya melalui kepercayaan akan kesetaraan media melalui penggunaan elemen desain, performans, seni media maupun kriya.
Pada penghujung dekade 90-an, tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru membawa atmosfer kebebasan berekspresi di mana seniman marak melakukan eksplorasi ekspresi individu yang memuat kritik tajam terhadap kuasa negara.
Masa yang dikenal dengan periode Reformasi ini mempengaruhi penggunaan seni media, khususnya video, yang dahulu dikontrol dengan ketat dan kini dapat dieksplorasi sebagai bagian dari ekspresi individu.
Meski begitu, pada 1990-an seni media belum menjadi unsur utama dalam karya dan baru marak di awal tahun 2000-an saat akses terhadap teknologi menjadi lebih mudah dan festival seni berbasis media mulai diinisiasi ruang-ruang independen.
Baca juga: Membuka Lembaran Sejarah Jakarta lewat Pameran Jejak Memori Evolusi Museum Prasasti
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Karya dengan medium single-board computer, C++ code, 7-inch LCD screen, camera, dan acrylic itu berjudul Beauty is in the Eye of the Debugger karya seniman Eldwin Pradipta. Ini merupakan salah satu karya yang tampil dalam pameran Yesterday I Wrote the Future di Can's Gallery.
Baca juga: Ziarah Kekaryaan Oky Rey Montha dalam Pameran Tunggal Pilgrimage
Karya yang dibuat pada 2022 itu merupakan seni interaktif. Kamera yang tersemat di dalamnya bertindak sebagai sensor untuk mengirimkan pesan ke komputer. Lalu, data-data yang dikirimkan akan divisualisasikan.
Data-data itu dibuat grafik yang kerap mengalami perubahan. Karya yang merupakan seri terakhir dari sang seniman itu mencoba memanusiakan mesin. Eldwin menuturkan bahwa dia ingin memberi tahu kepada audiens tentang cara kerja mesin.
“Saya memetaforakan kamera sebagai mata manusia. Bedanya, ini representasi mesin melihat dunia,” ujarnya.
Sang seniman ingin menyampaikan pesan bahwa mesin tetaplah mesin betapa canggihnya itu, terlebih di dunia seni rupa. Seiring berkembang pesatnya kecerdasan buatan, machine learning, dan teknologi mutakhir lainnya, banyak orang merasa tersaingi oleh mesin.
Mereka memiliki kekhawatiran bahwa mesin akan mengambil pekerjaan yang selama ini dilakoni oleh manusia. Namun, Eldwin menyebut bahwa apresiasi terhadap karya tidak akan hanya berhenti pada mesin. Ada sosok pembuat di baliknya, yang juga bakal mendapat sorotan.
Baca juga: Cek 5 Kategori Koleksi Benda Bersejarah dalam Pameran Repatriasi di Galeri Nasional
Kurator pameran Yesterday I Wrote the Future, Sally Texania, menuturkan bahwa karya dari sang seniman menunjukkan perubahan-perubahan atau evolusi yang dapat terjadi pada saat ini dan masa yang akan datang dalam lanskap seni rupa.
Karya itu menunjukkan cara mesin membuat visual yang berbeda dengan manusia ketika menciptakan karya gambar atau lukisan. Mesin dalam karya Eldwin itu memproduksi gambar dengan menggunakan bahasa komputer ketika seseorang lewat di depannya.
Beauty is in the Eye of the Debugger juga memperlihatkan perubahan karya-karya yang dibuat oleh si empunya. Sebelum membuat karya seni interaktif tersebut, dia kerap menghasilkan karya gambar bergerak atau digital.
Seni interaktif itu juga jadi karya yang menunjukkan perkembangan lanjutan proliferasi perhelatan seni rupa hingga demokratisasi pasca-reformasi di Indonesia.
Karya itu merupakan bentuk eksplorasi identitas individu di tengah perubahan sosial dan politik, perhatian terhadap pengolahan objek temuan dan benda keseharian. Begitu juga soal eksperimentasi elemen visual yang tumbuh dari tegangan seni konvensional dan reproduksi digital, interaksi manusia dan teknologi serta pertanyaan akan konsekuensi dari perkembangannya, serta kembalinya minat pada nilai-nilai lokal.
Pameran Yesterday I Wrote the Future
Pameran Yesterday I wrote the Future secara keseluruhan tidak hanya menunjukan perkembangan praktik seni rupa dari 90-an hingga kini. Ini juga berfungsi sebagai pemantik kontemplasi yang lebih mendalam mengenai bagaimana beragam pengandaian serta pemikiran spekulatif berkontribusi terhadap jejaring gagasan yang membentuk masa depan.Dengan menghadirkan spekulasi-spekulasi yang pernah ada atau yang sedang berlangsung, pameran ini mengajak penikmat seni untuk membayangkan sampai menciptakan prediksi lanjutan mengenai evolusi yang akan terjadi pada masa selanjutnya.
Yesterday I Wrote the Future juga menampilkan karya seniman Indonesia dan Korea Selatan dari generasi 1990-an hingga 2010-an, yang berkembang pada saat seni rupa kedua negara dipengaruhi globalisasi, internet, dan percepatan informasi.
Catatan-catatan perkembangan seni rupa Korea Selatan menunjukkan bahwa era 1990-an menjadi awal dari pergeseran paradigma ke arah postmodern, yang ketika itu seni berbasis ideologi bergeser ke perhatian akan keseharian.
“Terutama saat seniman Korea Selatan dengan latar pendidikan sekolah seni Amerika Serikat dan Eropa membawa perspektif ini pada tahun 1980-an dan 1990-an,” demikian pernyataan tertulis pengantar pameran.
Karya di pameran Yesterday I Wrote the Future (Sumber foto: Hypeabis.id/Yudi Supriyanto)
Sebagai praktik artistik yang telah berjalan lebih dari 30 tahun, seni media Korea Selatan pada pameran ini menunjukkan ide-ide yang telah berkembang melampaui perhatian terhadap inovasi teknologi, di antaranya interpretasi seni klasik melalui pendekatan digital, pendalaman relasi manusia dan teknologi, penciptaan fiksi yang sarat dengan metafora akan kegelisahan dan emosi sehari-hari, hingga eksplorasi lapisan realitas yang tumbuh dari reproduksi digital.
Saat paradigma Korea Selatan akan seni media dan gagasan post modern berkembang melalui pengaruh diaspora, Indonesia mengalami internasionalisasi ketika perhelatan besar seni internasional mulai menyertakan perkembangan seni rupa Asia Tenggara.
Melalui perhelatan-perhelatan ini, interpretasi akan postmodern diadaptasi oleh seniman Indonesia salah satunya melalui kepercayaan akan kesetaraan media melalui penggunaan elemen desain, performans, seni media maupun kriya.
Pada penghujung dekade 90-an, tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru membawa atmosfer kebebasan berekspresi di mana seniman marak melakukan eksplorasi ekspresi individu yang memuat kritik tajam terhadap kuasa negara.
Masa yang dikenal dengan periode Reformasi ini mempengaruhi penggunaan seni media, khususnya video, yang dahulu dikontrol dengan ketat dan kini dapat dieksplorasi sebagai bagian dari ekspresi individu.
Meski begitu, pada 1990-an seni media belum menjadi unsur utama dalam karya dan baru marak di awal tahun 2000-an saat akses terhadap teknologi menjadi lebih mudah dan festival seni berbasis media mulai diinisiasi ruang-ruang independen.
Baca juga: Membuka Lembaran Sejarah Jakarta lewat Pameran Jejak Memori Evolusi Museum Prasasti
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.