Nyamuk Berwolbachia Diklaim Bisa Meringankan Beban BPJS Kesehatan, Ini Penjelasannya
26 November 2023 |
21:51 WIB
Penyebaran nyamuk berwolbachia tidak hanya sukses menurunkan angka kasus demam berdarah dengue (DBD), tetapi juga beban ekonomi di daerah pilot project. Pembiayaan untuk penanganan penyakit yang berisiko tinggi kematian ini berkurang, termasuk pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk kasus rawat inap.
Dari perhitungan disability-adjusted life years (DALY), beban dengue di negara tropis, termasuk Indonesia diperkirakan setara dengan beban penyakit infeksi lain seperti infeksi saluran pernafasan atas, hepatitis B, bahkan tuberkulosis. Estimasi beban ekonomi dengue yang diperkirakan dari biaya pengobatan pada 2015 sebesar Rp5,3 triliun setara dengan 3 persen APBN pada tahun tersebut dan hampir mendekati biaya untuk eliminasi malaria di Asia Pasifik pada 2015 yaitu sekitar Rp6,3 triliun.
Baca juga: Cukup Pakai Ember Kecil, Begini Pola Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Data pembiayaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) pada 2020 menunjukkan bahwa biaya untuk perawatan DBD di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) berkisar pada Rp883 juta sampai Rp3,7 miliar rupiah per bulannya. Sementara itu, Kementerian Kesehatan setidaknya menggelontorkan sekitar Rp20 miliar pertahun untuk penanganan DBD.
"Bukan hanya [menggunakan metode] wolbachia, tapi ada rapid tes, ada larvasida juga," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Anggota BPJS Watch Timboel Siregar menilai dengan penggunaan metode wolbachia, beban negara untuk membiayai pencegahan hingga penanggulangan penyakit ini bisa ditekan. Menurutnya, biaya penanganan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan bisa dipangkas hingga 50 persen.
"Kalau bisa dilakukan dengan sangat baik, ditambah dengan proses menguras, kemudian membersihkan lingkungan dan sebagainya, menurut saya bisa sampai 50-75 persen,” sebutnya.
Adi Utarini, peneliti teknologi wolbachia dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan selama 10 tahun masyarakat Yogyakarta hidup berdampingan dengan nyamuk ber-wolbachia, kasus DBD dapat ditekan hingga 77 persen dan angka rawat inap di rumah sakit turun 86 persen. Terbaru, upaya pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa bisa berkurang 83 persen.
Wanita bergelar profesor yang karib disapa Uut itu mengungkapkan upaya fogging yang biasanya dilakukan 200 kali, kini hanya 9 kali dalam sebulan. Jumlah tersebut menghemat biaya hingga Rp200 juta dan dananya bisa dialihkan untuk kegiatan lainnya.
Turunnya angka kasus rawat inap di rumah sakit pun mengurangi beban biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. “Sekitar 2017, di satu kabupaten bisa sampai Rp8-9 miliar hanya untuk dengue. Ini potensi penghematan yang besar,” tuturnya.
Uut menegaskan nyamuk berwolbachia bukan hasil rekayasa genetika. Wolbachia merupakan bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Sifat alami bakteri ini tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya.
Wolbachia ditemukan di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus secara alami. Sebanyak 50 persen serangga memiliki bakteri ini di dalam tubuhnya. Uniknya, wolbachia tidak memiliki sifat sebagai simbion atau tidak berdampak negatif pada inangnya. “Wolbachia bakteri alami, aman untuk manusia, hewan, dan lingkungan,” tuturnya.
Ahli serangga dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Damayanti Buchori mengungkapkan dalam penelitian wolbachia ini, tim telah mengidentifikasi kemungkinan 56 bahaya dalam jangka waktu 30 tahun. Dari 56 risiko itu tim peneliti kemudian berdiskusi dan menjadikannya 4 kelompok fokus, diantaranya lingkungan, sosiokultural dan ekonomi, efikasi manajemen nyamuk, dan kesehatan masyarakat.
Pada fokus lingkungan misalnya, ditelaah lebih jauh mengenai risiko apabila terjadi mutasi wolbachia maupun, perubahan komposisi nyamuk tersebut. Tim peneliti menakar bahaya dan konsekuensi apa saja yang bisa muncul hingga akhirnya keluar risiko yang bisa diabaikan dalam waktu 30 tahun.
“Penggunaan teknologi wolbachia, dampak negatifnya dapat diabaikan dalam waktu 30 tahun. Tetapi monitoring tetap dilakukan,” jelasnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan teknologi wolbachia sudah masuk ke dalam program strategi nasional untuk penanggulangan dengue 2021-2024, di samping strategi yang selama ini sudah berjalan. Setidaknya ada 5 kota plus Bali yang menjadi pilot project dari penyebaran nyamuk berwolbachia ini, di antaranya Kupang, Semarang, Bontang, Bandung, dan Jakarta Barat.
“Tiga kota sudah proses pelepasan nyamuk, Bandung dan Jakarta Barat dalam waktu dekat. Kami akan lanjutkan program ini, kalau berhasil, akan dilakukan secara nasional,” tegasnya.
Baca juga: Menilik Pemanfaatan & Efektivitas Wolbachia untuk Penanggulangan DBD di Indonesia
Editor: Dika Irawan
Dari perhitungan disability-adjusted life years (DALY), beban dengue di negara tropis, termasuk Indonesia diperkirakan setara dengan beban penyakit infeksi lain seperti infeksi saluran pernafasan atas, hepatitis B, bahkan tuberkulosis. Estimasi beban ekonomi dengue yang diperkirakan dari biaya pengobatan pada 2015 sebesar Rp5,3 triliun setara dengan 3 persen APBN pada tahun tersebut dan hampir mendekati biaya untuk eliminasi malaria di Asia Pasifik pada 2015 yaitu sekitar Rp6,3 triliun.
Baca juga: Cukup Pakai Ember Kecil, Begini Pola Penyebaran Nyamuk Wolbachia
Data pembiayaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) pada 2020 menunjukkan bahwa biaya untuk perawatan DBD di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) berkisar pada Rp883 juta sampai Rp3,7 miliar rupiah per bulannya. Sementara itu, Kementerian Kesehatan setidaknya menggelontorkan sekitar Rp20 miliar pertahun untuk penanganan DBD.
"Bukan hanya [menggunakan metode] wolbachia, tapi ada rapid tes, ada larvasida juga," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Anggota BPJS Watch Timboel Siregar menilai dengan penggunaan metode wolbachia, beban negara untuk membiayai pencegahan hingga penanggulangan penyakit ini bisa ditekan. Menurutnya, biaya penanganan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan bisa dipangkas hingga 50 persen.
"Kalau bisa dilakukan dengan sangat baik, ditambah dengan proses menguras, kemudian membersihkan lingkungan dan sebagainya, menurut saya bisa sampai 50-75 persen,” sebutnya.
Adi Utarini, peneliti teknologi wolbachia dari Universitas Gadjah Mada mengungkapkan selama 10 tahun masyarakat Yogyakarta hidup berdampingan dengan nyamuk ber-wolbachia, kasus DBD dapat ditekan hingga 77 persen dan angka rawat inap di rumah sakit turun 86 persen. Terbaru, upaya pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa bisa berkurang 83 persen.
Wanita bergelar profesor yang karib disapa Uut itu mengungkapkan upaya fogging yang biasanya dilakukan 200 kali, kini hanya 9 kali dalam sebulan. Jumlah tersebut menghemat biaya hingga Rp200 juta dan dananya bisa dialihkan untuk kegiatan lainnya.
Turunnya angka kasus rawat inap di rumah sakit pun mengurangi beban biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. “Sekitar 2017, di satu kabupaten bisa sampai Rp8-9 miliar hanya untuk dengue. Ini potensi penghematan yang besar,” tuturnya.
Uut menegaskan nyamuk berwolbachia bukan hasil rekayasa genetika. Wolbachia merupakan bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Sifat alami bakteri ini tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya.
Wolbachia ditemukan di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus secara alami. Sebanyak 50 persen serangga memiliki bakteri ini di dalam tubuhnya. Uniknya, wolbachia tidak memiliki sifat sebagai simbion atau tidak berdampak negatif pada inangnya. “Wolbachia bakteri alami, aman untuk manusia, hewan, dan lingkungan,” tuturnya.
Ahli serangga dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Damayanti Buchori mengungkapkan dalam penelitian wolbachia ini, tim telah mengidentifikasi kemungkinan 56 bahaya dalam jangka waktu 30 tahun. Dari 56 risiko itu tim peneliti kemudian berdiskusi dan menjadikannya 4 kelompok fokus, diantaranya lingkungan, sosiokultural dan ekonomi, efikasi manajemen nyamuk, dan kesehatan masyarakat.
Pada fokus lingkungan misalnya, ditelaah lebih jauh mengenai risiko apabila terjadi mutasi wolbachia maupun, perubahan komposisi nyamuk tersebut. Tim peneliti menakar bahaya dan konsekuensi apa saja yang bisa muncul hingga akhirnya keluar risiko yang bisa diabaikan dalam waktu 30 tahun.
“Penggunaan teknologi wolbachia, dampak negatifnya dapat diabaikan dalam waktu 30 tahun. Tetapi monitoring tetap dilakukan,” jelasnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan teknologi wolbachia sudah masuk ke dalam program strategi nasional untuk penanggulangan dengue 2021-2024, di samping strategi yang selama ini sudah berjalan. Setidaknya ada 5 kota plus Bali yang menjadi pilot project dari penyebaran nyamuk berwolbachia ini, di antaranya Kupang, Semarang, Bontang, Bandung, dan Jakarta Barat.
“Tiga kota sudah proses pelepasan nyamuk, Bandung dan Jakarta Barat dalam waktu dekat. Kami akan lanjutkan program ini, kalau berhasil, akan dilakukan secara nasional,” tegasnya.
Baca juga: Menilik Pemanfaatan & Efektivitas Wolbachia untuk Penanggulangan DBD di Indonesia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.